Part 01

1118 Words
Jelen mendesah kasar menatap uang yang berada di tangannya, uang yang didapatkannya hari ini hanya cukup untuk membeli roti dan minuman. Hidup di Manhattan bukanlah hal yang mudah. Di sini semua serba mahal dan untuk menyewa sebuah apartemen saja dirinya belum bisa. Selama ini, Jelen hanya tinggal di sebuah rumah tua yang ditempati oleh beberapa anak jalanan. Dirinya merasa sangat miris sekali. Hidupnya dahulu penuh berkecukupan, namun semenjak orangtuanya telah tiada semua itu hilang tanpa tersisa sama sekali. Kini, dirinya harus hidup dijalanan, mencari makan dengan mengamen, dan dia harus bertahan tidur dengan banyak anak jalanan. "Jelen! Cepatlah!" Jelen menoleh ke arah Revon—temannya yang sama profesi dengannya. Revon juga anak jalanan tanpa rumah dan mereka sama-sama mengamen. "Tunggu sebentar." Jelen berlari mendekati Revon, memasukkan uang yang dihasilkan olehnya tadi ke dalam saku celana dan tersenyum pada Revon. Mereka akan ke supermarket terdekat membeli roti dan air minum untuk mengganjal perut mereka sampai besok siang. "Seandainya kita jadi orang kaya, pasti kita tak perlu membeli roti dua bungkus lagi dan sebotol minuman," ucap Revon berandai-andai menatap apartemen mewah yang berada di depan matanya. Jelen tertawa mendengar ucapan dari Revon. Temannya ini selalu berkhayal menjadi orang kaya dan kadang dia akan berkhayal membeli makanan selain roti. Padahal pendepatan mereka sehari-hari hanya cukup untuk beli roti dan air minum. Jelen pernah mendengar, kalau di Indonesia negara asal ibunya, mungkin dirinya tak akan sengsara seperti ini. Karena di Indonesia biaya hidupnya tak terlalu mahal dan Jelen bisa menjadi pelayan. Pelayan di sini saja dibutuhkan pengalaman, bagaimana dirinya mau berpengalaman, ijazahnya saja sudah habis terbakar saat rumahnya terbakar dan ikut serta kedua orangtuanya. Jelen hanya seorang gadis gelandangan, berharap dari hasil mengamen dirinya akan mendapatkan uang lebih. "Kau jangan banyak berkhayal! Mana mungkin kita menjadi orang kaya. Kau tahu? Kita sepertinya sudah ditakdirkan menjadi gelandangan selamanya," ucap Jelen. Revon menangguk lesuh. Benar kata Jelen, kalau dirinya dan Jelen tak akan pernah menjadi orang kaya. Malahan dia akan menjadi orang miskin selamanya. "Jelen, kau itu cantik. Kau bisa menjadi model atau kau bisa mendapatkab pekerjaan yang menghasilkan duit banyak." Revon menatap wajah cantik Jelen, dengan wajah cantik Jelen pasti wanita itu bisa mendapatkan pekerjaan yang uangnya banyak. Jelen menggeleng, "aku tidak ingin menjadi model. Kau tahu sendiri, kalau menjadi model itu susah dan nanti banyak yang berfantasi pada tubuhku. Kalau pekerjaan lain yang banyak menghasilkan uang, paling jual diri. Aku tidak mau menjual tubuhku!" Sampai kapan pun Jelen tak akan mau menjual tubuhnya. Keperawanan adalah harta satu-satunya yang dimiliki olehnya, apakah ia harus kehilangannya juga? Tentu saja tidak. Walau bagaimanapun susahnya kehidupan Jelen, ia tidak akan menjadi p*****r. "Kau tidak usah marah. Aku hanya menyarankan agar kau mencari pekerjaan yang lebih layak lagi," kata Revon membuka pintu supermarket. Jelen hanya mengangguk tak menanggapi ucapan Revon. Jelen mengambil roti dan satu botol minuman, selalu ini menjadi makanan sehari-harinya tak ada yang lain. Jelen mengeluarkan uang yang dibaginya dengan Revon tadi, ia menyerahkan seluruh uangnya ada kasir dan mendesah kasar. Lagi dan lagi, dirinya tak memegang uang sepersenpun. "Uangnya pas 10,24 dolar," ucap sang kasir menghitung uang yang diberikan oleh Jelen barusan. Jelen mengangguk, uangnya memang pas. Malahan sangat pas-pasan. Di kantongnya sudah tak ada uang lagi, dan selama lima tahun ini. Dirinya harus menahan keinginan membeli makanan lain atau sebuah baju. Ia masih bisa memaki baju sumbangan dari orang-orang kaya yang tidak membutuhkan pakaian itu lagi. "Jelen, aku sangat bosan memakan roti setiap hari. Besok kita membeli makanan lain saja, aku dengar kalau di kota kita akan mendapatkan uang yang banyak dari mengamen," oceh Revon sembari memakan roti. Jelen melihat pada Revon dan mengangguk, dirinya juga sudah ingin memakan makanan yang lain dari roti. Setiap hari memakan roti membuatnya kurang gizi. Ia ingin mencoba memakan makanan cepat saji, pizza, dan lainnya. "Baik, kita ke kota besok pagi. Aku juga dengar kalau di kota penghasilan pengamen lebih besar dari hasik kita di sini," ucap Jelen. "Oke, aku juga sudah menghubungi temanku untuk menumpang menginap di rumahnya selama beberapa hari," ujar Revon. "Kau menghubunginya memakai apa? Kau punya uang untuk membayar telepon umum?" tanya Jelen pada Revon. Uangnya dan uang Revon pas-pasan, hanya cukup membeli roti dan sebotol minuman setiap harinya. "Aku kemarin hanya membeli roti satu bungkus. Selebihnya aku jadikan untuk membayar telepon umum, kau tahu sendiri, aku ingin pendapatan melebihi ini. Aku ingin ada peningkatan, setidaknya kita bisa sewa apartemen nantinya," jawab Revon kembali berkhayal bisa menyewa apartemen dengan Jelen. Revon kasihan pada Jelen, wanita itu harus tidur bercampur tiap malamnya. Revon yang notabennya adalah lelaki, merasa getar-getir kalau sewaktu-waktu hal-hal buruk terjadi pada Jelen. "Kau kelaparan semalaman? Aku tahu kau tidak akan cukup memakan satu bungkus roti," ucap Jelen merasa iba pada Revon. Revon menggeleng, "aku tidak masalah memakan satu bungkus roti. Aku ingin kita maju Jelen, aku tidak ingin kau tidur bercampur lagi dengan lelaki. Kau itu perempuan! Aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri." Jelen berkaca-kaca menatap pada Revon, ia sangat menyayangi Revon yang selalu mementingkan dirinya. Ia selama ini hanya menyusahkan pria itu. "Revon, kau sangat baik. Aku harap kau akan mendapatkan istri yang kaya nantinya," ucap Jelen membuat Revon tertawa. "Aku tidak masalah dengan istri kaya atau tidak. Aku malah berdoa kau medapatkan suami yang kaya, dan aku bisa bekerja dengan suamimu itu." Jelen memukul pundak Revon, setiap kali Revon akan berkhayal disaat itu pula Jelen merasa kalau semuanya tak akan terkabul. "Kau bercanda? Mana ada yang mau dengan gadis yang mengamen tiap harinya dan rumah saja tidak punya." "Mana tahu pengusaha terkaya di Manhattan sudah buta dan memilihmu." "Kau mengada-ngada. Para pengusaha itu pasti memilih istri yang sama derajatnya dengan mereka." "Tidak semua pria memandang materi. Suatu hari nanti, kau akan mendapatkan suami yang sangat kaya. Kau itu cantik, hanya perlu poles sedikit saja, kau akan menjadi seorang cinderella." Jelen tertawa mendengar gurauan dari Revon, ia menggeleng dan tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Revon. "Aku tidak percaya. Aku akan terus hidup miskin." "Kau tunggu saja Nona, nanti ada seorang pria tampan, bermata tajam, dan dengan gagahnya mengatakan. 'Aku ingin kau menjadi istriku. Aku tidak menerima penolakanmu' seperti yang ada di novel-novel. Aku tidak sabar menanti saat itu akan datang." Jelen memegang perutnya, tak tahan dengan lelucon yang dibuat oleh Revon. Mana ada pria yang mau dengannya. Dia hanya gadis miskin dan tidak mempunyai apa-apa. Rumah saja dia tak punya. Revon mendelik pada Jelen yang menertawakan dirinya. Ia berbicara serius malah ditertawakan. "Kau boleh tertawa sekarang. Nanti kalau pria itu datang, aku akan menertawakan dirimu balik." "Ya, ya, terserah dirimu saja. Aku tidak percaya dengan apa yang kau ucapkan," ucap Jelen memakan rotinya dengan lahap. Mana mungkin ada pria yang mau dengannya. Melihat dirinya seperti ini saja pasti membuat para pria ilfeel padanya. Ada-ada saja Revon. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD