22. Mamanya Berduaan?

1008 Words
Siapa yang tak senang, jika sebelumnya pertemanan ditentang itu kini bisa dijalani secara terbuka. Resya bahkan tak takut lagi jika ingin bertemu dengan Gio, tantenya bahkan sudah paham bentuk pertemanan mereka bukanlah yang menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia. Melody cukup salut dengan apa yang ponakannya itu lakukan. Bahkan cukup mendukung jika itu adalah hal yang baik. Namun sayangnya, setelah kejadian itu Resya dan teman-temannya (anak gang) tidak ingin melanjutkan persatuan mereka lagi karena akan menganggu fokus kakak kelas dalam menghadapi ujian sekolah. Kini Gio, Rio, dan juga Resya tengah menikmati junk food di supermarket. Mereka menghabiskan hari weekend untuk berjalan-jalan melihat-lihat dan juga membeli yang ingin dibeli. "Lalu Elma bagaimana?" tanya Resya, ia ingin sekali bertemu kakak kelas itu. "Secepatnya kita harus menjelaskan pada orang tuanya seperti apa kelakuan Elma. Bukan hal sepele loh, Wendy sampai memiliki traumatis." terang Gio, Rio setuju. Resya hanya menghela napasnya lelah. "Apa gak sebaiknya serahkan pada pihak yang berwajib? Yang terpenting kita sudah menangani ini kan? Ingat loh kalian gak boleh terlalu sibuk, karena sebentar lagi kalian akan lulus." terang Resya mencoba mengingatkan. Dua saudara kembar itu saling pandang. "Kamu benar juga, baiklah jika begitu nanti aku atur." "Sip." "Oh ya, aku masih penasaran kenapa tiba-tiba Tante Melody mengizinkanmu?" Resya justru hanya senyum-senyum kegirangan, membuat Rio merasa risih. "Karena kejadian kemarin, beliau mengizinkanku untuk berteman dengan kalian." terangnya, Gio tersenyum senang. Berbeda dengan Rio yang mendesah sebal "Padahal aku lebih suka jika tantemu melarang kami berteman." tuturnya jujur tanpa rasa bersalah, Resya hanya cemberut. Ia sudah terbiasa sih dengan sikap Rio yang tak menyukainya, tapi tak ingin menambah pikirannya Resya mengabaikan sikap lelaki itu. "Oh ya, kalian tunggu sebentar ya? Aku ingin ke kamar kecil dulu." pamit Gio, keduanya mengangguk. "Aku heran, kenapa kamu suka sekali sih mendekati Gio?" setelah kembarannya pergi, Lelaki itu langsung melayangkan pertanyaannya. Resya menatap Rio tak paham. "Kenapa memangnya? Kami berteman sejak dulu." "Tapi karena kamu, Gio sering pergi dan menghabiskan waktunya untuk hal yang tak berguna." Mendengar hal itu mata Resya melotot. Apa Rio tak paham bahwa ini adalah bentuk menghargai momen? Bukannya justru hal yang tak berguna. Resya mengepalkan tangannya kesal, menatap anak remaja itu sungguh membuatnya tak mood untuk makan. Ternyata kembar belum tentu memiliki sifat dan sikap yang sama ya. Gio dan Rio adalah contoh yang nyata, hanya wajah mereka saja yang sama tapi kelakuan sangat berbeda. Dan Resya lebih nyaman bersama Gio, sifatnya yang humble, ramah, dan loyal membuat Resya benar-benar lebih nyaman. Berbeda dengan Rio, yang pelit, suka ngatur dan juga pendiam. Sangat-sangat membuat Resya tak nyaman dengan lelaki dihadapannya ini. "Tapi Gio merasa aman-aman saja, kenapa kamu yang merasa direpotkan?" sindirnya sarkas "Tentu saja, Gio itu saudara aku dan aku berperan untuk masa depannya." "Memangnya seburuk itu ya aku untuk Gio?" tanyanya, Rio tanpa ragu mengangguk membuat Resya syok. "Kalau kamu gak suka denganku boleh deh, tapi jangan sangkut pautkan hubunganku dengan Gio!" hardiknya. "Kamu tahu, semenjak gio mengenalmu dia sering menghambur-hamburkan uangnya untuk hal yang gak guna." terangnya "Tapi kan' aku gak pernah meminta." "Tapi kan' kamu selalu menerimanya." "Kamu kenapa sih Rio? Sepertinya punya dendam kesumat denganku!" geramnya, Resya bahkan sampai berdiri hendak pergi. "Jelas, itu kamu tahu. Besok-besok tolong lebih peka lagi." Cibirnya, Resya hanya bisa mengepalkan tangan lalu pergi meninggalkan Rio yang tersenyum menang. Bisa-bisanya Rio dengan gampangnya berpikir seperti itu, padahal Resya memiliki perasaan yang harus Rio jaga, tapi mungkin pada dasarnya memang lelaki itu tak memiliki perasaan. Resya kemudian berinisiatif untuk berjalan-jalan melihat-lihat sekitar, memanjakan mata dan menenangkan pikirannya. Tapi, baru saja ia meninggalkan restoran itu ponselnya bergetar Resya segera meraih dan melihat Gio yang memanggilnya. "Kamu dimana? Kenapa pergi?" Helaan napas itu seolah menjadi jawaban. "Rio membuatku kesal." laparnya "Ya ampun, kamu sudah paham kan bagaimana sifatnya? Sekarang kamu ada dimana? Biar aku menyusul mu." "Aku masih ada didekat restoran kok." jawabnya. "Oke, tunggu ya." "Hmmm." sahut Resya, jujur saja moodnya tengah tak baik-baik saja karena Rio. Entahlah akan sampai kapan mereka seperti kucing dan tikus. Tak lama Gio dan Rio menghampirinya, tentu saja gadis itu memasang wajah tanpa minat. Kenapa sih, Gio selalu membawa Rio? Resya sih tahu jika mereka adalah lelaki kembar tapi, lelaki itu juga yang membuat mood dan edisi jalan-jalan mereka jadi tak baik. "Kita beli minuman ya?" tawar Gio, Resya menggeleng. Sebenarnya ia haus tapi mengingat cibiran Rio barusan membuatnya sadar. Melihat penolakan itu, Gio merasa ada yang aneh. "Why?" "Because of him." mata Laras menunjuk kearah Rio, lelaki itu pura-pura tak peka dan justru melihat kearah lain. Gio yang paham lalu menarik Resya untuk merapatkan tubuhnya dengan dirinya. "Rio, sebaiknya kamu pergi saja. Aku ingin berkencan dengan Resya." Rio memutar bola matanya jengah, "Kenapa sih kamu selalu menghabiskan waktu dengan dia? Kenapa gak berkumpul dengan keluarga kita?" "Besok saja ya? Kamu pergi, aku lagi benar-benar gak pengen diganggu dengan Resya." Rio menghela napasnya pasrah, lalu pergi meninggalkan Gio dan Resya setengah minat. Dalam perjalanan menuju parkiran, Rio melihat seorang wanita yang sangat tak asing dalam pandangannya. Siapa lagi jika bukan Mamanya. Jarak lima belas meter darinya, Mamanya itu tengah bergandengan tangan dengan seorang pria? Siapa pria itu? Mengapa Rio tak pernah melihat pria itu sebelumnya? Apakah itu pacar Mamanya? Tapi mengapa Rio merasa tak suka melihatnya. Atau jangan-jangan itu adalah Papanya? Yang selama ini wanita itu tutup-tutupi dari Rio? Ingin sekali anak lelaki itu menghampiri, tapi tak tahu harus bersikap seperti apa. Lagipula, belum waktunya ia memergoki dua orang dewasa itu. Namun melihat Mamanya yang berdekatan dengan seorang pria membuat Rio merasa tak nyaman, ada yang aneh dan tak biasa dalam pandangannya. Apalagi Mamanya harus berhati-hati dalam memilih pendamping hidup. Sebagai seorang anak, tentu saja Rio merasa senang jika Mamanya itu memiliki pendamping hidup tapi ia juga tak senang apabila semuanya berjalan terlalu terburu-buru. Seharusnya jika memang Mamanya memiliki teman dekat atau hendak berkencan. Apakah tidak lebih etis jika Mamanya menceritakan semuanya kepada anak-anaknya lebih dulu? Karena apapun itu pria tersebut juga harus sayang dengannya dan juga Gio. Tapi sudahlah, mungkin sesampainya dirumah Rio akan mengintrogasi Mamanya. Lelaki itu kemudian pergi menuju parkiran untuk menghampiri mobilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD