10. Dugaan

1094 Words
"Tumben kamu mau datang kerumah Mama Anggun." Gio membuka suaranya, saat jam istirahat dua anak kembar itu memilih menghabiskan waktu berdua di kantin. Sebetulnya tidak jarang sih mereka sering menghabiskan waktu bersama, hanya saja memang saat ini Gio lebih sering menghabiskan waktu bersama Resya. "Kenapa? Bukan urusan kamu!" jawab Rio ketus, Gio hanya tersenyum lalu menyeruput kuah bakso. Anak kembar tak selalu sama, mungkin garis wajah dan tubuh mereka sama tak ada bedanya. akan tetapi sifat dan sikap mereka sangatlah berbeda. "Aku tahu, tapi alasan apa yang membuat kamu ingin kesana?" tanyanya, mengingat akhir-akhir ini Rio sangat introvet dan menjaga jarak oleh siapapun, ia tak tahu alasan mendasar anak remaja itu berperilaku demikian, tetapi yang jelas pasti ada sesuatu yang membuat kembarannya itu berubah pikiran. Ya, meski begitu Gio senang mendapati kembarannya dan juga Mamanya, akhirnya keluarga kecil mereka kumpul kembali. "Mama." jawabnya singkat, namun mampu membuat Gio tersenyum senang. sekeras apapun Rio menolak bahkan kadang anak remaja itu sering egois tetap saja, ada sudut hati yang bisa diluluhkan. Gio mengangguk-anggukkan kepalanya, ia senang karena mengetahui Rio mulai sedikit lebih peduli kepada Mamanya. "Kamu harus selalu menjaga Mama Rio, karena aku gak bisa selalu ada buat beliau. Sebenarnya bisa-bisa saja aku membebani Mama tapi kamu tahu sendiri kan' banyak hal yang aku butuhkan." Rasanya Gio ingin selalu berkumpul dengan Mama dan juga adiknya. akan tetapi, ia masih punya keluarga dan bisnis yang harus diawasi. Ia juga tak mungkin membebani Mamanya dengan merawat dua anak nakal seorang diri. "Aku paham." sahutnya. Rio dan Gio memang kembar, mereka memiliki garis wajah yang sama hanya saja keduanya memiliki sifat yang berbeda. Entahlah, kembar tak selalu sama. Gio lebih ramah dan ceria sedangkan Rio lebih pendiam, ketus dan datar. Namun meski begitu mereka memiliki ikatan batin yang kuat. "Gio." "Hmm?" "Apa kamu pernah berpikir bahwa Mama mengandung kita tanpa Papa?" Gio seketika menghentikan suapannya, dan menatap Rio dengan tatapan bingung. "Maksud kamu?" "Ya, apa kamu pernah berpikir jika Mama adalah wanita malam?" "Rio! apa maksudmu? Darimana kamu mendaptakan pikiran itu!" bentak kembarannya, namun Rio masih memasang wajah datarnya. "Ya, sejak kecil bahkan kita tidak tahu Papa dimana? Dan masih hidup atau tidak." tuturnya, Gio sontak terdiam. "Bisa saja Papa pergi ke luar negeri dan memiliki kehidupan baru dengan seorang wanita." "Iya, aku tahu tapi pasti ada alasannya." Lagi-lagi perkataan Rio membuat Gio berpikir lebih keras. Memang ia tidak pernah bertanya kepada Mamanya mengenai keberadaan Papanya. Karena Gio menganggap tak ada yang lebih penting dan membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Namun, baru kali ini ia tertarik dengan pembahasan kembarannya. Apakah mungkin ia dan Rio adalah anak haram? Yang lahir karena hubungan gelap? "Apa kamu sudah bertanya dengan Mama?" Anggukan kepala Rio mengejutkan Gio. "Beliau menangis karena tuduhanku. Tapi jujur saja aku tidak merasa puas dengan jawaban Mama." "Bisa jadi mungkin terjadi sesuatu." "Entahlah, tapi bagaimana pun juga jika seperti itu kita harus bisa lebih menyayangi Mama. Karena beliau yang merawat kita sejak kecil." Gio setuju untuk hal itu, bagaimana pun juga Mamanya adalah pahlawan baginya pun Malaikat tak bersayap. "Jadi itu alasanmu ingin ke rumah Mama Anggun? Karena kamu merasa bersalah telah melukai hati Mama?" tebak Gio, yang diangguki Rio. "Setelah aku pikir-pikir juga tak bagus menyimpan dendam tanpa bukti. Mama mungkin mempunyai alasan ya tersendiri yang belum saatnya kita tahu." "Harusnya kamu sadar sejak kemarin. Bukan hanya bisa mendiami." "Terkadang diam adalah emas, daripada aku memberontak?" kalimat pembelaan itu membuat Gio memutar bola matanya malas. "Oh ya! Jangan lupakan nanti malam Rio." "Aku tidak akan lupa." "Baguslah." katanya. Gio dan Rio memang sering mengobrol seperti ini, tapi jarang sekali jika harus bercanda bersama. Seolah-olah keduanya mempunyai tembok pembatas yang menghalangi mereka untuk lebih dekat lagi. "Gak ada Iqbal, aku gak punya uang lagi.." lirih anak lelaki itu. "Halah! Jangan bohong Lo! Gue lihat Lo bolak-balik ke kantin." "Tapi uang aku habis." "Kasih atau gue...!" Ancam Iqbal hendak melayangkan bogeman. Anak lelaki itu menciut lalu berusaha merogoh saku celana. Iqbal dan teman-temannya nampak senang. "Jangan kasih!" seru Resya di temani Micel. Kelima cowok itu berbalik dan menatap Resya dan juga Micel dengan tatapan sengit. "Kalian lagi, suka banget jadi pahlawan kesiangan!" cibirnya, dan melangkah mendekati dua orang itu. "Ngapain Lo?" tanya Micel "Bukan urusan Lo!" Resya tersenyum meremehkan. "Katanya orang kaya. Mau jajan aja minta-minta!" sindirnya tajam. Iqbal melotot dengan tajam "Berani Lo ya sama gue." lalu melayangkan bogeman tapi Resya lebih dulu menepisnya. "Memangnya gue takut? sini Lo!" kata Resya tak takut sedikitpun. "Biar aku aja." kata Micel, tak ingin Resya terluka sedikitpun. Mereka saling menyerang satu sama lain, Resya pun tak ingin Micel melawan seorang diri, hingga pertengkaran dan pertarungan itu terjadi. "Hei!" sorak seorang lelaki yang berjalan menghampirinya. Anak-anak tersebut sontak saja menghentikan aksinya. "Apa-apaan ini? Apa yang kalian lakukan?" "Om yang ditaman?" pekik Resya, Erick memandang anak gadis itu lalu memilih tak peduli dan memandang kesemua lelaki nakal ini. "Kalian sedang apa dihalaman belakang sekolah ini? Apa sekolah ini untuk acara perkelahian?" tegur Erick, mereka semua menunduk kecuali Resya. "Pak, mereka yang duluan ingin memalak dia." tunjuk Resya kepada anak lelaki itu, Tatapan Erick berpindah ke anak itu sejenak. Lalu menatap anak-anak nakal itu lagi. "Astaga! Kalian preman-preman sekolah? Apa pak kepala sekolah tahu?" "Gak pak! Mereka selalu lolos pak." "Oke baik, kalian ikut saya." sontak saja anak-anak iblis itu mendongak hendak melayangkan protesnya. "Jangan pak, jangan semena-mena dong. Kita gak pengen malak mereka kok." "Bohong pak! Saya saksi mereka terus melakukan hal itu." terang Micel. "Apa itu benar?" tanya Erick kepada anak lelaki yang dipalak. Anak itu mengangguk. "Mereka meminta uang saya karena melihat saya bolak-balik kekantin." terangnya, Erick menatap mereka dengan tatapan tak percaya. "Kalau kalian gak punya jangan malak! apa kalian gak malu? Minta uang jajan keteman kalian sendiri? Sekarang tanpa terkecuali ikut saya." ajak Erick "Tapi pak.." "Gak ada tapi-tapian." Kedelapan anak itu memilih pasrah dan mengikuti Erick untuk menuju kantor dimana para guru berada. Mereka sebenarnya tak tahu siapa sih pria ini yang tiba-tiba datang mengintrupsi perkelahian mereka. Sedangkan Resya hanya mengikuti langkah Erick, dalam perjalanan menuju kantor anak gadis itu begitu menyukai garis wajah yang nampak terlihat familiar dikehidupannya. Tapi siapa? Resya sedang menebak-nebak barang kali menemukan jawaban. "Ada apa ini pak Erick?" tanya para guru yang sedang berada diruang guru. "Ini pak, Bu. Mereka ketahuan berkelahi di belakang sekolah." "Ya ampun, kalian ini benar-benar ya!" "Sekarang ikut guru BP dan keriangannya." pinta salah satu guru, mereka mengangguk dan berjalan keruangan itu. Ini untuk pertama kali bagi Resya harus masuk keruangan yang sering kali dianggap hanya murid-murid nakal saja yang masuk padahal jika dipikir dialah yang memberantas kenakalan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD