1. Calon target

860 Words
"Lo gila, ya, Lan? Masa si Meta disuruh  macarin anak SMA? Yang bener aja lo?" Maudy  memberi komentar lebih dulu, sementara Meta, masih terpelongo, tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. "Iya, Lan. Yang bener aja, deh!" Fei ikutan bersuara. "Apa nggak terlalu muda, ya? Kenapa nggak si Arkan aja? Kan, lumayan tuh tampangnya?" Mendengar Fei menyebut nama Arkan, rekan kerja mereka di kantor yang agak lembek, Maudy refleks memasang ekspresi jijik. "Nggak Arkan juga kali, Fei! Dia kan, melambai..." "Iya, sih..." "Ini urusan gue sama si Meta, ya, jadi kalian nggak usah ikut campur, okey?" Lani lantas menoleh pada Meta yang masih bengong. "Gimana, Met? Mau, nggak?" "Tunggu, deh! Kenapa cuma si Meta?" Lani mendelik pada Maudy. "Karena, si Meta belum pernah menang taruhan yang kita buat. Gue udah. Fei juga udah. Nah! Lo juga. Tinggal lo nih, Met, yang belum pernah..." Fei dan Maudy mengangguk, mulai setuju. Tahun lalu, Fei pernah menang taruhan yang dibuat Maudy. Fei ditantang untuk memacari seorang mahasiswa. Dan, bukan Fei namanya kalau tidak bisa menarik perhatian lawan jenisnya. Fei berhasil, dan ia mendapatkan barang-barang berharga milik para sahabatnya. Namun, entah mengapa, sejak taruhan itu, Fei menolak taruhan yang berikutnya. Ketika ditanya kenapa, Fei beralasan kalau taruhan itu konyol, omong kosong, dan bodoh. "Iya, Lani bener, sih. Tapi, kenapa lo mikirnya ke anak SMA, sih, Lan? Lo sengaja ya mau ngerjain si Meta?" Lani terkekeh. "Ya nggak masalah, dong? Di luar sana tuh, ya, banyak kok tante-tante yang pacaran sama berondong! Nenek-nenek pacaran sama cogan-cogan. Iya, nggak?" Meta mendengus, jijik. "Masa anak SMA, sih? Emangnya ada yang mau sama gue?" Maudy seketika menoleh menatap Meta dengan curiga. "Lo mau, Met?" "Kayak si Meta berani aja," cetus Lani, sengaja meremehkan. Mendengar kalimat itu, Meta langsung tersinggung. "Lo sepele sama gue?" katanya ketus, meski sebenarnya Meta tidak benar-benar marah. Lani tersenyum menyebalkan. "Memangnya lo mau terima tantangan gue?" Meta membuka mulutnya sedikit, bersiap melontarkan jawaban. Namun, sebelum melakukannya, ia bergantian melihat Fei dan Maudy, yang juga menatapnya, penasaran. "Anak SMA itu rata-rata umurnya belasan tahun, loh, Met! Sementara, elo... udah dua puluh empat! Pikirin lagi, deh?" saran Fei, berusaha membantu. Maudy mengangguk, sepenuhnya setuju. "Iya, lagian kalau macarin anak sekolah, mau dapat apaan coba?" Ketika Maudy berkata demikian, semua mata memandangnya penuh tanya. Cepat-cepat Maudy meluruskan maksudnya, "Gini, gini, kalau pacaran sama orang yang udah punya penghasilan sendiri, minimal kan dia bisa beliin kita pulsa gitu buat internetan? Atau, ngajak kita ngedate, shopping, ya gitu deh. Iya nggak? Iya, dong? Percuma, kan, punya pacar kalau nggak bisa dimanfaatkan?" Pernyataan Maudy memang ada benarnya. Bagaimanapun, memacari anak sekolahan, tidak ada gunanya. Mereka harus sekolah dan belajar setiap hari. Mereka mungkin tidak memiliki cukup uang untuk mengajak pacarnya dinner atau apa pun itu. Lagipula, anak SMA? Yang benar saja. "Tuh, Maudy bener. Pacaran sama anak SMA kayaknya nggak banget, deh. Mereka kan masih anak-anak...," seru Fei lagi. Sebagai seorang sahabat, Fei berupaya untuk membantu Meta, sebelum apa yang dulu pernah dirasakannya, juga dirasakan oleh Meta. Bagaimanapun juga, akibat taruhan itu, ia pernah mematahkan dua hati sekaligus. "Ya ampun, Fei, serius amat sih, lo? Memangnya, si Meta mau jadian sampe kapan juga sama tuh bocah? Cuma main-main doang nggak salah, kali? Anak SMA, kan, cintanya juga cinta monyet, mana ada serius-seriusnya." Lani menimpali. "Tetap aja, anak SMA manusia juga, punya perasaan. Tau rasanya sakit hati." "Apaan, kayak lo nggak pernah ngerasain jadi anak sekolah aja, deh," ujar Lani, sedikit kesal pada Fei yang sejak tadi menyela ucapannya. Padahal, Lani sudah bilang kalau ia dan Maudy tidak usah ikut campur. "Oke!" Meta tiba-tiba berdiri dengan wajah sumringah. "Karena Si Gila ini udah janji mau beliin tas baru buat gue, kayaknya nggak ada salahnya buat terima tantangannya!" Fei mendesah, agak kecewa. "Serius? Meta, lo mau macarin anak SMA mana coba? Tampang-tampang kayak lo itu ketahuan banget umurnya berapaan." Bukannya menjawab pertanyaan Maudy, Meta justru berlari ke arah cermin besar di samping jendela dan mematut diri di sana. "Apa gue udah kelihatan kayak ibu-ibu, ya?" tanyanya, lebih kepada diri sendiri. "Hahaha, iya, kayak ibu-ibu punya anak lima!" "Kurang ajar lo, Lan! Masa iya gue setua itu?" "Ya enggak, lah! Bercanda, kali. Jadi, gimana? Lo setuju, nih? Gue kasih waktu sebulan, deh!" Meta tertawa sombong. "Oke! Siapa takut?" "Eh, kalo si Meta gagal, gimana, Lan?" Lani tersenyum mencurigakan. "Iya, ya? Kayaknya si Meta juga pasti gagal. Hmm, nanti deh gue pikirin di rumah." Meta memutar bola mata jengkel ke arah Lani, lalu berkata dengan percaya diri, "Lihat aja nanti, gue pasti bisa. Lagian, cowok mana yang bisa nolak gue?" "Ciyeee, jomblo bisa sombong jugaaa." "Sialan!" Di ujung kasur, Fei memilih diam, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Ia tahu, bicara sekarang pun tidak ada gunanya. Meta sudah memutuskan untuk menerima tantangan Lani. Karena Meta adalah Meta, ia pasti melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. "Gue penasaran, bocah mana coba yang mau sama cewek nggak waras kayak si Meta?" Pertanyaan Maudy, dijawab Meta dengan mata berbinar-binar, seolah menyimpan sejuta harapan, "Tuhan pasti udah nyiapin satu berondong lucu buat gue. Lihat aja." Melihat Meta yang begitu ekspresif, mau tak mau, Lani melemparkan bantal ke arahnya seraya berseru, "Mukanya tolong ya biasa aja, jijik gue lihatnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD