2. Teman Jingga

1319 Words
Semalamam, Meta hampir-hampir tidak bisa tidur karena memikirkan tantangan Lani, sahabatnya yang kurang waras itu. Memacari anak SMA, memang bukan ide bagus, lebih tepatnya, ide gila! Ya ampun! Yang benar saja? Meta lalu membayangkan dirinya bergandengan tangan dengan remaja 18 tahun di tengah keramaian. Apa kata orang nantinya? Meta pasti dikira tante-tante girang atau semacamnya. Lebih bagus kalau Meta dianggap kakaknya. Tapi tidak mungkin seorang kakak menggandeng tangan adiknya dengan mesra, bukan? Mungkin, Fei memang benar, macarin anak yang masih sekolah itu, nggak banget. Bukan hanya karena perbedaan umur yang cukup jauh, secara fisik pun pasti akan kelihatan mencolok. Meta dengan wajah dewasanya, dan si cowok SMA dengan wajah remajanya. Meta menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa mulai sama tidak warasnya dengan Lani. Tapi... mengingat tas kesayangannya yang kini sudah jadi milik Maudy, pikiran Meta kembali segar. Setidaknya, kalau ia mendapatkan tas itu, kan lumayan bisa mengurangi sakit hatinya atas kalah taruhan dengan Maudy  waktu itu. Tapi lagi, bagaimana caranya ia bisa bertemu atau kenal dengan cowok SMA? Siapa yang mau membantunya? Lani sudah bilang bahwa ini adalah urusan mereka berdua, jadi Fei dan Maudy, tidak mungkin ikut campur. Karena ini adalah tantangannya, untuknya sendiri. Meta, Meta, anak SMA itu banyak banget tau. Lo cuma butuh satu! Satu! "Mbak? Ngelamunin apa, sih, sampe ileran gitu?" Suara Jingga yang cukup keras, berhasil membuyarkan lamunan Meta. Pandangan perempuan berambut ikal panjang itu lalu beralih pada Jingga yang sudah mengenakan seragam sekolahnya. Seragam putih abu-abu. Seragam anak SMA. Ya! Ya! Itu dia! JINGGA! "Jingga, kamu sekarang kelas berapa, sih?" tanya Meta, tiba-tiba begitu semangat. Jingga mengernyit, agak heran. Sebelum menjawab, ia menarik kursi kayu di sebelah Meta lalu duduk dan mulai menjelajahi seluruh hidangan di meja makan dengan tangannya. "Kelas dua belas," sahutnya. Meta tampak berpikir sejenak, kemudian berujar pelan, "Kelas dua belas itu, kelas berapa, ya?" Jingga mendengus. "Ya ampun, Mbak, masa itu aja nggak tahu? Kelas tiga!" "Tolong, ya, harap maklum. Jaman Mbak dulu nggak kayak sekarang. Dulu itu yang ada, kelas satu sampe kelas tiga!" "Terus? Tumben Mbak nanya-nanya aku kelas berapa? Biasanya, nggak pernah." Meta menyunggingkan senyum misterius. "Hehehe, kok gitu sih jawabnya. Memangnya nggak boleh, ya, seorang kakak perhatian sama adiknya?" Jingga menoleh menatap Meta dengan kening berkerut-kerut. "Aneh aja, kayak ada maunya gitu." Meta langsung menggebrak meja tanpa sadar. "Nah! Itu kamu tahu!" "Hah?" "Coba cerita, di sekolah kamu, banyak cowok cakepnya, nggak?" "Ya, banyaklah!" Meta terlihat semakin kesenangan, dan sederet pertanyaan pun keluar dari mulutnya, "Miapah? Kamu kenal? Siapa aja namanya? Punya IG, LINE, atau alamat apanya, nggak?" "Kok, Mbak pengen tahu? Kenapa?" tanya Jingga seraya mulai menyantap sarapannya. Nasi goreng ayam favoritnya. "Pengen tahu aja, memangnya nggak boleh?" "Pada ngomongin apa, sih? Kok, serius banget kayaknya?" Seorang wanita paruh baya, datang dengan membawa secangkir teh manis panas. Ia menunjukkan seulas senyum lembut kepada Meta dan Jingga, kemudian duduk di kursi tunggal meja makan. Wajahnya masih tampak cantik, di usianya yang tidak lagi muda. Beliau ibunda mereka, Ratih namanya. "Ini, loh, Ma, Mbak Meta tumben kepoin aku." "Kepo soal apa, Mbak?" Meta tahu ia tidak harus menjawabnya. Bisa-bisa, Mama curiga nanti. Jadi, ia segera mengalihkan pembicaraan, "Ma, Meta berangkat dulu, ya! Jingga mau bareng, nggak?" "Nggak. Kan, aku bawa motor sendiri." Meta mengangguk, agak kecewa. Padahal, kalau Jingga mau pergi dengannya, Meta mau tanya-tanya lagi soal temen-temen cowok di sekolahnya. Tapi, tidak masalah. Masih banyak waktu. Nanti malam, dia akan kepoin Jingga habis-habisan. Karena, soal urusan berondong, hanya Jingga yang bisa menolongnya saat ini. Sepeninggal Meta, suasana ruang makan menjadi sunyi. Yang terdengar hanyalah suara piring dan sendok yang sedang digunakan Jingga. Sementara Ratih, duduk diam dengan kening berkerut samar, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Ma?" Akhirnya, Jingga bersuara, setelah menyadari sikap mamanya yang tidak seperti biasa. Biasanya, Mama akan bertanya banyak hal tentang sekolahnya, atau bercerita tentang papa mereka yang masih ada kunjungan kerja di luar kota. "Ya?" Perlahan, Jingga menaruh sendoknya ke piring , kemudian bertanya dengan penuh perhatian, "Mama kenapa?" "Jingga...," ujar Ratih, tampak ragu-ragu, "kalau kita jodohkan Mbak Meta dengan Bang Arian, kira-kira... dia mau nggak, ya?" Mata Jingga yang sipit, membeliak seketika, "Hah? Mama mau jodohin Mbak Meta?" Ratih mengangguk. "Sama Bang Ian yang tetangga kita dulu itu?" "Iya, iya, kamu masih ingat, ya?" Ratih bertanya penuh semangat. "Yang sering berantem sama Mbak Meta dulu, itu, kan?" "Iya." Jingga tertawa mendengus. "Berani taruhan, Mbak Meta pasti nggak mau!" "Kenapa kamu yakin banget?" "Soalnya, Mbak Meta pernah bilang sama aku, kalau dia benciiiii banget sama Bang Ian!" "Ah, itu dia! Benci bisa jadi cinta!" seru Ratih sembari bangkit. "Mama mau telepon dia dulu. Katanya, dia baru pulang dari London. Terus, ya, katanya dia makin ganteng, sudah punya bisnis sendiri. Dan yang paling penting, katanya dia masih lajang. Oh, ya, kamu jangan bilang apa-apa dulu sama Mbak Meta, ini masih rahasia, loh!" kata Ratih panjang lebar, sampai-sampai Jingga terpelongo dibuatnya. **** "Tumben lo jelek. Kenapa tuh muka, kok kusut?" tanya Fei ketika ia dan Meta bertemu di toilet kantor. Meta memandangi wajahnya di cermin dengan malas. "Nggak apa-apa. Kurang tidur aja semalam." Fei mengangguk dan tersenyum. "Met?" panggilnya, "apa nggak sebaiknya, ya, lo batalin aja taruhan lo sama si Lani?" Meta melirik Fei lewat cermin di depan mereka. Sambil menyisiri rambut cokelatnya dengan jari, Meta menyahut, "Memangnya kenapa?" "Meta, plis, kita semua tahu anak SMA itu masih kecil. Lo tahu, lah, maksud gue." "Iya, gue tahu. Tapi, kan cuma buat main-main, Fei. Nggak mungkin, lah, gue pacaran serius sama bocah. Lo mikirnya kejauhan, deh." Fei mendecakkan lidah, kemudian menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu apakah di toilet ini ada orang lain selain mereka. Kan, kacau, kalau sampai ada yang nguping. Bisa jadi bahan gosip baru nanti si Meta. Fei melihat satu dari enam pintu bilik tertutup, namun, tidak menunjukkan tanda-tanda adanya orang di dalam sana. Bagus, jadi Fei bisa bicara dengan leluasa sekarang. "Meta, kita ngomongin yang buruknya dulu, deh. Kalau nanti, elo beneren suka sama cowok SMA itu, gimana?" Meta tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Perkataan Fei barusan, benar-benar menggelikan. "Yang bener aja, Fei! Nggak mungkin, lah!" "Meta, cinta nggak kenal umur." "Setuju! Tapi, nggak mungkin gue bisa suka atau apa tadi lo bilang? Cinta? Sama anak SMA? NO! Nggak banget!" Meta mengibas-kibaskan sebelah tangannya tepat di depan wajah dengan ekspresi jijik. Fei menunjukkan sebuah senyuman yang penuh makna. "Ya udah, terserah lo aja. Gue cuma kasihan aja sama siapa yang nanti jadi korban dari taruhan bodoh kalian itu." Fei lalu mengembuskan napas panjang, "Yang namanya hati, punya siapa pun itu, mau anak kecil, atau orang dewasa, kalau dimainin, tetap aja sakit." Melihat Fei begitu serius dengan kata-katanya, Meta justru tertawa, merasa lucu. "Ma-acih udah perhatian ma akuh. Tayaaang deh ama Mama Feiiii," ujar Meta dengan suara yang sengaja dimanis-maniskan. "Dasar gila. Orang serius, juga!" "Hihihi." "Gue duluan, ya!" Fei beranjak lebih dulu keluar dari toilet, meninggalkan Meta sendiri. "Taruhan lagi?" Suara itu terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu salah satu bilik yang tadi tertutup. Meta tidak perlu menoleh untuk memastikan kalau orang itu adalah Manda. Sosoknya yang tinggi dan berkulit kuning langsat sudah terlihat jelas di cermin. "Eh, ada Mbak Manda. Habis ngapain, Mbak?" tanya Meta, pura-pura tidak tahu kalau perempuan berkacamata itu sengaja menguping pembicaraannya dan Fei. Ya ampun, memalukan sekali, sih, kerjaannya. Meta menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir. "Saya heran sama kalian, kenapa suka sekali mempermainkan perasaan orang lain," katanya, sembari tersenyum. Senyum yang benar-benar dipaksakan. Meta memolesi bibirnya dengan lipstik berwarna merah muda sebelum berkata, "Kayaknya Mbak harus ganti pernyataan, deh. Soalnya, aku jadi bingung mau bilang apa." Kemudian, melalui cermin, Meta bisa melihat Manda memutar bola matanya dengan jengah. Bodo amat dah lu, pikir Meta. "Saya lagi ngebayangin kamu jalan sama anak SMA. Kayaknya sih, sah-sah aja, ya. Kan, kamu orangnya agak kekanakan juga." "Ah, Mbak Manda bisa aja. Aku kan jadi malu," seru Meta sambil memasang wajah sok imutnya. Melihat lawan bicaranya senang-senang saja, tampak tidak terganggu apalagi tersinggung, Manda segera angkat kaki. "Cewek-cewek aneh," ucapnya sambil lalu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD