3. Namanya Aby

1428 Words
"Ma, Jingga mana, Ma?" tanya Meta kepada Mamanya setibanya ia di rumah. Plis, Meta benar-benar berharap bisa bicara dengan anak itu sekarang. Soalnya, tadi Lani bilang, kalau ia gagal, Lani meminta hadiah sepasang sepatu cantik untuk acara pernikahannya besok. Yang harganya, bikin Meta kelabakan. Dasar licik! Kurang ajar! Meta pun tidak berhenti memaki-maki sahabatnya itu dalam hati. Apa-apaan itu, sepatu harganya sepuluh jutaan? Dipikirnya, Meta banyak duit apa? Gajinya saja tidak sampai segitu! "Bukannya uang tabungan lo udah mau lima puluhan, Met? Masa beliin sepatu harganya segitu aja lo nggak mau. Demi sahabat lo, Metaaa!" Begitu kata Lani tadi siang padanya. Meta benar-benar menyesal pernah cerita soal jumlah tabungannya dengan Lani. Sialan! "Baru aja pergi sama temennya. Kenapa, Mbak?" sahut Mamanya yang saat itu sedang asyik menonton acara gosip di televisi. Bahu Meta yang tadinya tegak, perlahan terkulai lemas, "Yaaah, ke mana, Ma?" Ratih mengangkat bahu, dan menengok Meta sekilas, "Nggak tahu, ya. Paling juga main-main ke rumah temennya. Memangnya kenapa, sih? Kok, tumben kamu nyariin dia? Biasanya nggak pernah...." "Ada deh, hehehe." Meta tertawa, kemudian memutar tubuh, hendak menuju kamar. Namun, tiba-tiba, ia teringat sesuatu, yang langsung ia suarakan, "Eh, Mama punya nomer HP-nya Jingga, nggak?" "Loh, memangnya kamu nggak punya nomernya?" "Enggak," jawab Meta, sejujurnya. "Loh, kok bisa?" Ratih menengok Meta cukup lama dengan kening berkerut-kerut, keheranan. "Sebenarnya, aku tuh punya, Ma. Tapi, kayaknya dia udah ganti nomer baru. Tadi, aku juga udah coba telepon, terus tulalit." "Sekarang kan ada LINE, BBM, atau apa gitu. Hubungi lewat situ aja kan bisa...." "Kemarin udah sempat punya, terus nggak tahu kenapa aku diblokir sama dia. Anak Mama yang satu itu kan aneh." Apa yang dikatakan Meta, benar adanya. Dulu, ketika media sosial mulai populer, baik Meta maupun Jingga, tidak ada yang mau ketinggalan. Mereka sempat berteman di f******k, dan Meta, sering banget mengomentari setiap status atau kiriman yang dibuat Jingga. Tapi, suatu hari, tiba-tiba Meta tidak bisa menemukan nama Jingga di daftar temannya. Ketika ia tanya langsung ke orangnya, dengan ketus dan muka juteknya, Jingga bilang : "Aku tuh nggak suka, ya, Mbak komentarin status-status aku! Norak tahu, nggak?" Iya, cuma gara-gara itu, Meta langsung diblokir dari pertemanannya. Kurang ajar memang tuh bocah! Udah alay, songong lagi! Dasar ababil! Lagipula, suruh siapa buat status isinya galau semua. Kan, Meta jadi kepo. Ia juga pengen tahu dong untuk siapa status-status itu ditujukan. Hah! Dasar bocah! Gitu aja ngambek. "Ada-ada aja, deh, kalian. Ya udah, tuh nomernya ada di HP Mama," ucap Ratih, seraya menunjuk benda petak berwarna putih di atas meja. Serta-merta, Meta berlari kecil untuk mengambil HP tersebut. "Aku bawa dulu, ya, Ma!" serunya riang lalu pergi ke kamarnya. Setibanya di kamar, Meta segera menyalin nomor HP Jingga ke ponselnya. Dan, satu menit berikutnya, ia langsung menelepon adiknya itu. "Halo, assalamualaikum? Ini siapa?" Suara khas remaja Jingga, menyahut di ujung sana. "Halo, Jingga? Ini, Mbak." "Mbak Meta?" "Iyaaa. Eh, kamu lagi di mana, Ngga?" "Lagi di rumah Tiara. Kenapa, Mbak? Sejak kapan Mbak punya nomerku? Tumben, nelepon?" "Banyak nanya lu, bocah! Cepetan pulangnya. Ada yang mau Mbak omongin!" "Iya, nanti malem, abis isya." Meta melirik jam dinding di kamarnya yang menunjukkan pukul lima lewat. "Lama banget? Mau ngapain, sih?" "Kepo. Bye!" "Halo? Eh, bocah, kok dimatiin, sih? Astagfirullah! Punya adik satu, tapi nyebelin minta ampun! Hais!" kata Meta, jengkel. **** Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi Jingga belum juga pulang. Andai saja dia tahu kalau Meta, kakaknya yang cantik luar biasa itu sudah menunggunya sejak tadi di teras rumah, ditemani nyamuk-nyamuk sialan. Mana sih tuh bocah? Kalau udah main sama temannya, lupa sama waktu! Meta berhenti mengomel sewaktu dilihatnya Jingga bersama motornya memasuki halaman rumah. Alhamdulillah! Akhirnyaaaa! "Ngapain aja kamu di rumah Tiara? Kok, baru pulang?" cetus Meta tak sabar. "Main, lah. Kenapa sih, Mbak, dari tadi pagi kerjanya kepoin aku terus?" kata Jingga seraya masuk ke rumah. Meta mengikuti langkah remaja berambut sebahu itu menuju kamarnya, lalu berseru pelan, "Kan, tadi Mbak udah bilang, kalau ada yang mau diomongin." Jingga tidak langsung merespon. Ia lebih memilih melakukan hal lain ketimbang menanggapi kakaknya yang galak itu. Seperti pura-pura sibuk mengecek ponsel, keluar-masuk ke toilet yang memang ada di dalam kamar, merapikan tempat tidur yang sudah rapi, lalu membuka laptop. Meta mengamatinya dengan kesal. "Jingga?" "Hem?" Sekarang, cewek itu sudah asyik dengan media soalnya, **. Dan sepertinya ia sedang tidak mau diganggu. Astaga! Aku nggak bisa diginiin! Meta membatin. "Kamu kok jahat banget sih sama Mbak? Asal kamu tahu, ya, Mbak itu udah nungguin kamu dari tadi, sampe digigitin nyamuk pula. Tapi, pulang-pulang kamu malah cuekin, Mbak." Jingga menoleh pada Meta dengan muka bingung. "Ya ampun, Mbak. Kalau mau ngomong, ya udah ngomong aja. Kan, aku dengerin juga," katanya, seperti tidak punya salah. Meta menyipitkan matanya sedikit, gemas. "Oke." "Mau ngomongin apa, sih, emangnya?" "Ituuu," Meta nyengir, "kasih tahu Mbak dong, siapa aja temen cowok di sekolah kamu yang cakep?" Jingga kembali fokus pada layar laptop. "Buat apa?" "Ada deh. Oke. Oke?" Jingga kembali menoleh, dan kali ini tatapan matanya mencurigai. "Nggak bisa. Aku harus tahu!" ucapnya, lugas dan jelas. Sialan! "Tapi, nggak boleh kasih tahu mama, ya?" "Oke." Meta mengangguk lalu mengatakan maksudnya secara gamblang, seolah tanpa beban, "Mau Mbak jadikan pacar." "Hah?!" Lima menit kemudian, masih di kamar Jingga yang kecil namun nyaman dan enak dipandang mata... "Plis, bantuin Mbak, ya? Nanti, Mbak kasih uang jajan yang banyak deh," seru Meta, mulai mengiming-imingi. "Enggak! Mbak Meta kan udah tua, masa mau sih pacaran sama cowok seumuran aku?" "Heh, emangnya gue udah setua apa sih?" Meta sewot lagi. Susah banget sih membujuk Jingga! Meta harus gimana lagi, coba? Jingga melengos, namun tidak termakan rayuan Meta. "Nanti, kalau Mbak beneren cinta sama cowok itu, gimana?" "Ih, nggak mungkin lah, Say. Kan, cuma buat taruhan aja. Habis jadian seminggu, putusin udah!" "Itu jahat banget, Mbak!" "Terpaksa, tahu! Plis, pliiis, kali iniii aja. Mau, ya, ya, yaaa?" Jingga diam sebentar, bingung harus mengatakan apa. Tetapi, melihat Meta memelas seperti ini, Jingga jadi kasihan. Mungkin tidak ada salahnya juga kalau ia menolong sedikiiit saja, meskipun keputusannya ini tidak benar. "Ya udah," katanya, nyaris seperti bisikan. Meta mengangkat alisnya, bingung. "Ya udah, apa?" Jingga menatapnya dengan malas, kemudian menjawab cepat, "Ya udah, aku bantu. Tapi, cuma kasih tahu orangnya aja, soal PDKT aku nggak mau ikut campur. Gimana?" Wajah Meta terlihat begitu cerah dan berseri-seri. "Oke, oke!" katanya, antusias. Jingga kembali duduk di depan laptop untuk melihat akun ** miliknya. Ia mengetikkan sebuah nama di kolom pencarian, meng-klik nama teratas dengan cepat, dan dalam hitungan detik, sebuah akun muncul beserta deretan foto yang menarik perhatian Meta. Seorang cowok, beralis tebal dan rapi, hidungnya mancung, dan rambutnya sedikit berantakan. Mungkin disengaja, supaya ketika difoto terlihat keren. Senyumnya pelit. Di beberapa foto, ia memakai tindik di telinga kirinya. Gaya berpakaiannya simpel, tapi berkesan dia orang yang fashionable. "Ini?" "Bukan, salah pencet, nih!" Jingga hendak membuka tab baru, namun tangan Meta mencegahnya. "Ini siapa? Temen kamu?" "Iya, tapi bukan dia yang mau aku cari. Aku punya temen, namanya Albani, dulu dia pernah suka sama guru Bahasa Indonesia kami, padahal tuh guru udah tua. Ya kali aja dia mau sama Mbak. Kayaknya dia doyan yang umurnya beda jauh gitu," jelas Jingga. Meta menyimak, namun tidak begitu fokus. Pandangannya terlalu asik melihat-lihat foto cowok itu. Keren, misterius. Dan, tolong, kenapa cowok ini tipenya banget. "Kalau ini, siapa?" Jingga melihat foto itu dengan malas. "Namanya Alby. Tapi, lebih sering dipanggil Aby. Cogan-nya sekolahan, tapi agak songong." "Banyak yang naksir, nggak?" "Hem, banyak banget. Padahal anaknya nakal, suka sok paling berkuasa gitu. Nyebelin gitu, lah!" "Ehm... dia jomblo, kan, ya?" "Kayaknya, sih, gitu. Kenapa? Eh!" Jingga menengok Meta dengan pandangan curiga. "Plis, jangan bilang--" "Plissss, bantuin Mbak jadian sama dia dooong?" "HAH?!" "Dia cakep banget, gilaaa. Kenalin, ya, plis, plis?" Tidak tahu kenapa, Meta merasa seperti kembali ke masa remaja, di mana ketika melihat cowok cakep sedikit saja, langsung heboh. "Aduuuh! Jangan dia deh, Mbak! Nggak mungkin banget! Aby itu anaknya susah dijangkau gituuu! Susah banget deketin dia!" "Masa, sih?" Jingga meng-klik sebuah foto yang berisi gambar lima orang anak remaja. Dua di antaranya perempuan. Di foto itu, mereka berdiri sambil berangkulan. "Ini temen-temennya. Mereka ke mana-mana selalu bareng. Di sekolah, mereka itu populer. Pokoknya, mereka tuh kayak milih-milih temen, gitu." "Oooh." "Mereka itu aneh, susah ditebak, ribet, dan serius, nyebelin!" tutur Jingga. Meta mungkin tidak melihat ke mana arah mata Jingga tertuju ketika ia mengatakan itu, atau pesan tersirat apa yang ada di baliknya. Karena selagi Jingga bicara tadi, matanya begitu serius mengamati gambar wajah remaja bernama Alby itu. "Ya udah, cari yang lain deh," katanya kemudian. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD