Bab 2

1981 Words
Tak hentinya Rika tertawa mendengar cerita Sani tentang kejadian tadi siang. Erina yang duduk di kursinya hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Mau sampai kapan kamu ketawa?" tanya Erina kesal. Rika mengusap air mata yang keluar dari ujung matanya dengan punggung tangannya. "Kamu harus lebih berhati-hati lagi kalo ngomong. Untung aja yang tadi datang bukan kerabat pemilik restoran." Erina berdecak kesal. "Aku tidak tau kalo bapak tadi ternyata temannya Pak Bimo, pemilik restoran ini." gerutu Erika. Rika bangkit berdiri dari kursinya dan menghampiri Erina yang kini sedang memberengut kesal dan juga takut jika ia di marahi oleh Pak Bimo karena tidak sopan pada pengunjung restoran. "Ya sudah nanti aku bantu ikut bicara ke Pak Bimo." Rika menepuk bahu Erina dan tersenyum kecil. Erina teringat kejadian tadi siang, setelah membawa bapak tadi ke ruangannya. Ia langsung memperlihatkan hasil rekaman CCTV. Namun tidak ada reaksi dari bapak tersebut, ia malah berkacak pinggang dan seolah tidak merasa bersalah. "Jadi sudah terbukti Pak, pelayan kami tidak bersalah." kata Erina akhirnya karena bapak tersebut tidak mengeluarkan suara. "Saya nggak peduli pokoknya kalian harus tetap ganti rugi. Sepatu saya yang sangat mahal jadi kotor karena keteledoran pelayan ini." tunjuk bapak tersebut pada Sani yang kini sedang menunduk. Erina bertaruh, jika sekarang Sani pasti akan menangis. Karena sejujurnya ia pun takut dengan pria yang berada di hadapannya ini. Dengan wajah garang ia terus menunjuk dan melotot saat berbicara. "Tapi Pak ini bukan sepenuhnya salah kami. Disini kami memiliki bukti." Pria paruh baya mengibaskan sebelah tangannya. "Pokoknya kalian salah dan harus ganti rugi. Kalo nggak becus jangan kerja disini, bikin malu yang punya restoran." setelah mengatakan itu pria paruh baya membalikan badannya dan berjalan untuk keluar dari ruangan. "Sepatu beli di pasar aja belagu." gerutu Erina pelan. Padahal Erina mengucapkannya dengan sangat pelan. Namun pria itu yang hampir sampai pintu langsung membalikan badannya dan menatap tajam pada Erina. "Kurang ajar. Saya akan laporkan kamu ke pemilik restoran ini. Kamu tidak tau kalo saya teman atasan kamu?" bentak pria itu lalu keluar meninggalkan ruangan dengan bantingan pintu yang keras. "Ngelamun lagi?" tanya Rika. Erina mengerjapkan mata seketika lamunannya langsung buyar. Ia mengusap wajahnya lalu berdiri dan menatap wajah Rika. "Aku mau ke toilet dulu." Rika mengangguk. "Nanti aku traktir makanan enak." serunya. *** Erina masih bisa bernafas lega. Karena pemilik restoran yang akan memarahinya habis-habisan hari ini sedang pergi karena urusan mendadak selama beberapa hari. Nasibnya masih bisa terselamatkan, tapi entah apa yang akan terjadi setelah Pak Bimo pulang. Posisi asisten manajer yang baru satu bulan di dapatkannya sepertinya harus langsung di ganti. Beruntung jika turun jabatan menjadi pelayan atau menjadi kasir kembali. Tapi jadi masalah besar jika ia harus di pecat tanpa pesangon sepeser pun. Memikirkannya saja membuat Erina bergidik ngeri. Selama ini ia harus menjadi tulang punggung keluarga, karena ayahnya sudah tidak bisa bekerja karena kecelakaan yang menimpanya empat tahun lalu dan membuat ayah Erina harus duduk di kursi roda. Meskipun kini sudah ada kemajuan dengan sedikit bisa berdiri berkat terapi yang baru-baru ini dilakukan. Sedangkan ibunya hanya bisa bekerja serabutan membantu tetangga yang kebetulan membutuhkan tenaganya. Karena tidak mungkin bagi ibu meninggalkan ayah sendirian di rumah. Beberapa kali ayah dan ibunya mencoba membuka usaha, namun selalu kegagalan dan kerugian yang mereka alami. Membuat mereka terpaksa meminjam uang pada lintah darat. Setiap bulan bunga dari pinjaman selalu naik tanpa ada pemberitahuan sebelumnya pada keluarga Erina, alhasil membuat hutang yang di cicil oleh Erina dari gaji bekerja di restoran tidak pernah lunas. Impiannya pun yang ingin melanjutkan kuliah pupus sudah karena tidak ada biaya. Mau tidak mau Erina harus mempertahankan pekerjaannya di restoran. Demi dirinya dan juga kedua orangtuanya. Erina mendesah panjang dan melirik pada Rika yang sedang memainkan ponselnya. Seakan teringat sesuatu, Erina langsung menepuk keningnya. "Ah sial!! Aku baru ingat ada janji hari ini." seru Erina dan langsung berdiri mengumpulkan barangnya yang tergeletak di atas meja yang akan di masukan ke dalam tas tangannya. Rika mendongak. "Janji dengan siapa?" Erina berjongkok membuka lemari bawah dan mengambil tas tangannya. "Biasa. Orang yang di kenalkan ibuku." Rika menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Erina bangkit dan memasukan semua barangnya ke dalam tas tangannya. "Semoga kali ini berhasil." Seru Rika sambil terkekeh. Erina hanya memutar kedua bola matanya dan berjalan cepat keluar meninggalkan ruangannya. Sudah tak terhitung Erina menceritakan pada Rika tentang ibunya yang begitu sangat bersemangat mengenalkannya dengan beberapa laki-laki, dari mulai anak temannya sampai dari meminta bantuan dari jasa biro perjodohan. Ia tidak paham dengan zaman yang sudah modern ini, ibunya masih bisa datang ke tempat seperti itu dengan kondisi keuangan mereka yang sedang tidak stabil. Erina mengehembuskan nafas dengan kesal setiap mengingat hal tersebut. Ibunya berjanji ini yang terakhir untuk menjodohkannya. Ia langsung mempercepat langkahnya menuju tempat janjian yang tidak jauh dari tempat kerjanya agar pertemuan ini selesai dengan cepat dan ia bisa segera pulang ke rumah untuk beristirahat. Restoran ini cukup ramai karena sebentar lagi akan memasuki jam makan malam. Erina yang baru memasuki restoran langsung mengedarkan pandangannya, mencari sosok laki-laki yang sudah menunggunya hampir setengah jam. Ia merasa sedikit bersalah karena keterlambatannya. Bukan suatu nilai yang bagus jika pertemuan pertama ia terlambat. Sejujurnya ia bukan orang yang suka terlambat atau bahkan ingkar janji. Namun lupa adalah sifat alami manusia, terlebih masalah yang terjadi di tempat kerjanya membuatnya semakin lupa dengan janji tersebut. Getaran pada ponselnya menghentikan aktivitasnya. Ia lalu merogoh ponsel di dalam tas tangannya dan mengangkat panggilan masuk. "Halo. Ya saya sudah sampai. Baiklah." Panggilan berakhir, Erina memasukan kembali ponsel ke dalam tasnya. Lalu pandangannya tertuju pada meja yang berada di tengah ruangan. Seorang laki-laki yang duduk sendirian di tengah meja melambaikan tangan ke arah Erina sambil tersenyum ramah. Itu dia orangnya, pikir Erina. Ia lalu berjalan mendekat ke arah meja laki-laki tersebut. "Maaf saya terlambat." ucap Erina setelah duduk di hadapan laki-laki tersebut. Ia mengangguk lalu mengulurkan tangan. "Saya Riza." "Erina." Erina menerima uluran tangan Riza dan melepasnya setelah beberapa detik. Dari wajah dan penampilannya, Erina bisa memberikan nilai tujuh puluh lima dari seratus. Riza cukup tampan dari semua laki-laki yang sudah ibu kenalkan padanya. Dari jas hitam, kemeja putih dan dasi yang rapi sepertinya Riza adalah pekerja kantoran atau mungkin dia hanya berpenampilan rapi untuk hari ini? Setelah puas menilai, Erina lalu menerima buku menu yang di berikan seorang pelayan padanya. Setelah menyebutkan pesanan mereka berdua pelayan lalu pergi meninggalkan Erina dan Riza berdua. Riza berdehem pelan. "Kamu kerja dimana?" "Aku kerja di restoran dekat daerah sini." jawab Erina sambil tersenyum. Riza manggut-manggut. "Kamu berapa bersaudara?" "Aku anak tunggal." Riza manggut-manggut kembali. Mungkin sudah menjadi kebiasaannya, setelah mendengar jawaban ia selalu menganggut-anggutkan kepalanya. Tepat pada saat Riza ingin membuka mulut untuk bertanya kembali. Seorang pelayan datang dan membawakan pesanan. Setelah mengucapkan terima kasih pelayan lalu pergi. Riza menyesap kopi pesanannya dan Erina meraih gelas berisi jus di hadapannya. Tenggorokannya sangat kering, ia tidak ingat terakhir kali minum. Terlalu banyak pikiran membuatnya lupa akan segalanya. Beberapa menit tidak ada yang membuka suara diantara mereka berdua. Erina melirik sekilas pada Riza dan ternyata ia sedang memperhatikannya sambil tersenyum. Riza menyimpan gelasnya lalu menautkan jari-jarinya di atas meja dan berkata. "Aku anak sulung dari dua bersaudara." Erina mengangguk kecil lalu menyimpan jusnya di atas meja. "Tanggung jawabku lebih besar dari pada adikku. Orangtuaku sangat lembut dan juga baik. Mereka sudah bekerja keras selama ini membesarkan kami." Riza tersenyum samar. "Oh begitu?" jawab Erina sekenanya. "Rencananya aku ingin mencari wanita yang bisa fokus untuk mengurus rumah dan tidak bekerja." Erina manggut-manggut mendengarkan dengan seksama. "dan aku juga ingin yang menjadi istriku bisa fokus untuk mengurus kedua orangtuaku. Aku ingin membahagiakan orangtuaku di masa tuanya." Erina meraih gelas jusnya dan meminumnya sampai tersisa setengah. Riza memiliki sifat yang baik, tapi entah mengapa membuat Erina tidak nyaman setelah mengatakan ingin memiliki istri yang tidak bekerja. "Maaf sebelumnya. Aku dengar ayahmu mengalami kecelakaan?" Erina mengangguk pelan. "Ya. Empat tahun yang lalu." "Aku dengar ibu kamu tidak bekerja?" Erina mengangguk kembali. "Ya karena harus menjaga ayah. Tapi kadang sesekali bekerja membantu tetangga." "Bekerja seperti apa?" tanya Riza dengan mata yang di sipitkan. "Menjaga anak tetangga atau mencuci pakaian, padahal aku sudah melarangnya karena aku tidak mau ibuku terlalu kelelahan." Erina tidak malu jika ia harus jujur tentang ibunya yang bekerja membantu para tetangganya. Selama pekerjaan itu halal dan juga menghasilkan uang. Riza mengusap dagunya dengan sebelah tangan. "Apakah kamu punya rencana untuk mengurus keluargamu?" Erina mengangkat kedua alis tidak mengerti mengapa Riza bertanya hal yang sudah ia ketahui jawabannya. Melihat Erina yang tidak menjawab, Riza langsung menambahkan. "Aku bukannya tidak suka kamu, justru sepertinya aku jatuh cinta pada pandangan pertama." ucap Riza sambil tersenyum malu. "Bagaimana ya? Kamu juga tau kalo aku anak semata wayang dan aku juga ingin merawat kedua orangtuaku. Aku juga masih ingin bekerja karena belum lama ini baru naik jabatan." Erina bangkit berdiri lalu tersenyum yang di paksakan. "maaf sepertinya kita tidak berjodoh, semoga kamu mendapatkan wanita yang lebih baik dan sesuai keinginanmu." Erina bersiap untuk pergi, namun Riza langsung ikut berdiri dan memanggil namanya. "Tunggu, jangan langsung menyimpulkan seperti itu. tolong di pertimbangkan kembali. Kamu juga tau, jika wanita yang sudah menikah itu bukan lagi tanggung jawab kedua orangtuanya. Dan juga wanita tidak bisa jika mengurus orangtuanya selamanya." jeda beberapa detik untuk Riza menarik nafas. "Apalagi ayah kamu tidak bisa berjalan. Apakah mereka tidak memilki persiapan untuk masa tua? Padahal mereka punya anak perempuan." Kemarahan Erina sudah tidak bisa di tahannya. Baru berkenalan kurang dari satu jam, ia sudah berani bicara seenaknya tentang keluarganya. "Walau kurang setuju, jika kamu mau mengurus mereka aku akan mempertimbangkan untuk tinggal di dekat rumah orangtua kamu dan..." "Hei!! Tadinya aku ingin mengakhiri dengan baik tapi ucapanmu keterlaluan," Erina mendengus kesal. "Seenaknya menghina keluargaku, jika kamu pikir keluargamu paling berharga, harusnya kamu juga tau keluarga orang lain juga sama berharganya." bentak Erina. Riza tersentak kaget dan Erina menyukai hal itu. Seharusnya dari awal Riza berpikir dulu sebelum berbicara. Tapi sepertinya otaknya berada di dengkul, jadi dia hanya bisa berbicara seenaknya. "Kamu pikir hanya orangtuamu saja yang telah bekerja keras untuk membesarkan anaknya? Memangnya di dunia ini hanya kamu anak yang ingin berbakti pada orangtuanya?" cerca Erina kesal. "kalo kamu ingin berbakti pada orangtuamu, lakukan saja sendiri, sialan!!" seru Erina. Riza langsung terduduk kembali di kursinya sambil menunduk, samar-samar wajahnya terlihat merah mungkin karena malu. Beberapa orang kini mulai melihat ke arah mejanya karena penasaran, Erina sudah tidak peduli jika dirinya menjadi pusat perhatian di restoran ini. Kekesalannya sudah tidak dapat ia tahan pada manusia satu ini yang kini ternyata sudah mendongak dan sedang menatapnya dengan takut. Setelah memberi tatapan membunuh pada Riza, Erina memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Sebelum pergi, Erina merogoh tas tangannya dan mengeluarkan uang berwarna biru satu lembar dan menyimpannya di atas meja dengan kasar. "Ini uang untuk membayar minumanku." Setelah mengucapkan kalimat itu, Erina benar-benar pergi meninggalkan restoran tersebut sambil menggerutu. Penilaian tujuh puluh lima yang tadi ia di berikan pada Riza, langsung minus seratus. Luarnya saja yang bagus dan rapi tapi sifat dan otaknya ternyata tidak sebagus dengan penampilannya, pikir Erina. "Harusnya aku memaki lelaki tadi lebih kasar." gerutunya. Erina membuka pintu kaca besar restoran dan mendesah panjang saat melihat diluar ternyata sedang gerimis. Sambil mendengus Erina lalu berlari ke minimarket yang letaknya di seberang restoran ini untuk membeli payung. Setelah mendapatkan payung, Erina lalu berjalan pelan ke halte bis untuk pulang. Namun sebelum sampai di halte ia melihat seorang ibu paruh baya dan anak perempuannya yang berusia sekitar tujuh tahun sedang kehujanan di pinggir trotoar. Sambil tersenyum samar Erina langsung menghampiri mereka dan memberikan payung yang baru saja di belinya pada ibu paruh baya. "Ibu bisa pakai payung saya." kata Erina sambil tersenyum ramah. Ibu tadi mengerutkan kening lalu memegang lengan anaknya dengan posesif. "Saya bukan orang jahat. Ini silahkan ambil, Bu." Erina lalu memberikan payung dan ibu tersebut menerimanya dengan ragu. "Terima kasih kakak cantik." Kata anak perempuan sambil tersenyum lebar. "Sama-sama." Erina melambaikan tangan lalu berlari kecil ke arah halte yang jaraknya sudah tidak terlalu jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD