"Kita makan dulu sebentar disini, habis itu kita langsung pulang kok."
Bintang berdecak. Dia tidak mengerti mengapa dirinya harus menuruti keinginan merepotkan dari seorang wanita yang sebenarnya adalah brand ambassador yang akan membintangi salah satu produk dari perusahaan milik Bintang.
Ini benar-benar diluar dari kontrak kerja sama, namun Bintang masih harus iya iya saja saat diajak kemari untuk sekedar makan. Demi Tuhan! Mereka baru satu jam yang lalu menghabiskan waktu untuk makan di salah satu mall yang ramai, dan sekarang harus makan lagi?
"Saya masih ada jadwal meeting setelah ini. Jadi kamu bisa makan dengan tenang, saya yang akan bayar," kata Bintang masih berusaha untuk ramah.
Tapi wanita itu kemudian merengek, menggelayut di lengan Bintang hingga Bintang secara reflek menampik tangannya itu.
"Cuma sebentar aja kok, Mas Bintang. Aku enggak bisa makan sendirian, makanya temenin aku makan dulu ya?"
Memalingkan wajah, Bintang berdecak.
Dia benar-benar tidak suka dengan keadaan sekarang ini. Di kepalanya sudah terlintas banyak sekali caci maki untuk tim iklan yang memilih manusia satu ini untuk menjadi brand ambassador produk mereka.
"Sepuluh menit. Saya enggak punya banyak waktu lagi," kata Bintang.
Wanita itu langsung mengangguk dengan senang, menarik tangan Bintang seakan penolakan yang dilakukan Bintang sesaat lalu tidak berarti apapun baginya.
Dan Bintang yang sudah malas, akhirnya membiarkan saja wanita itu bergerak semaunya.
Ketika tiba saat memesan, Bintang rasanya benar-benar ingin meninggalkan wanita bernama Citra ini sendirian.
Bagaimana mungkin wanita itu hanya memesan satu porsi kue dan Lemon tea hangat padahal dia sangat bersikeras menyebutnya sebagai 'makan'.
Seakan tahu bahwa Bintang menyoroti apa yang dipesan olehnya, Citra tertawa pelan sambil menutupi mulutnya dengan tangan.
"Aku emang makannya sedikit-sedikit tapi sering, Mas. Mas Bintang mau pesan apa?"
Lekas Bintang menggeleng. Untuk menghindari obrolan yang tidak dia kehendaki dengan gadis di depannya itu, dia buru-buru mengeluarkan ponsel dan berpura-pura sibuk dengan benda canggih itu.
"Mas Bintang sering datang ke lokasi pemotretan enggak? Kalau iya, aku bakalan lebih semangat deh buat project kali ini."
Memasang senyuman kaku, Bintang benar-benar kesal sekali. Apakah tidak cukup dengan dirinya yang memegang ponsel dan memasang wajah serius? Bisakah gadis ini mengerti bahwa dirinya tidak ingin diajak bicara?
"Saya punya pekerjaan yang lain yang kadang harus saya selesaikan secepat mungkin. Jadi saya enggak punya waktu buat sekedar datang ke lokasi pemotretan," balas Bintang.
Citra mendesah kecewa. "Sayang banget ya? Kalau begitu, bisa kan ya sesekali aku datang ke kantornya Mas Bintang? Biar kita makin akrab."
Kening Bintang berkerut. Dia sudah memutuskan untuk menolak dengan tegas segala sikap flirting yang dilakukan oleh Citra. Bahkan di kepalanya sudah tersusun kata-kata yang sekiranya sopan namun tegas untuk memberikan batasan pada gadis di depannya itu.
Namun baru saja bibirnya terbuka seperempat, sebuah suara nyaring antara dua benda yang bertabrakan, terdengar hingga menarik perhatian hampir seluruh pengunjung.
Mata Bintang mencari-cari apa gerangan yang menyebabkan kegaduhan itu.
dan dia langsung terbelalak, berdiri dari duduknya dan bersiap mengejar Gaesha yang sesaat lalu baru saja menabrak salah satu meja yang ditempati pengunjung.
Benar. Gadis itu baru saja terjatuh dan kemudian langsung bangun lagi dalam waktu kurang dari lima detik. Dengan keadaan yang seperti itu, Gaesha bahkan langsung berlari keluar sambil menarik tangan salah seorang wanita yang Bintang tidak kenal siapa.
"Gege!" teriak Bintang keras.
Dia mengejar langkah Gaesha, meninggalkan Citra yang kebingungan di tempatnya.
Namun seakan selama ini Bintang tidak pernah mengenal Gaesha dengan baik, dia baru mengetahui fakta bahwa Gaesha adalah seorang pelari andal.
Gadis itu juga sangat pandai melarikan diri. Sudah ketiga kali Bintang kehilangan jejaknya setelah tanpa sengaja bertemu.
"Sebenernya dia tumbuh dengan makan apa selama ini? Kenapa jadi suka lari sih?" gerutu Bintang kesal.
Dalam hatinya dia bertekad, jika sekali lagi mereka bertemu, dia akan langsung menarik tangan gadis itu dsn mengikatnya di tiang agar Gaesha tidak bisa lagi melarikan diri.
Awas saja!
*
"Sumpah ya! Gue tuh udah capek banget sama tingkah laku lo yang belakangan ini aneh banget. Lo kenapa sih? Kenapa tiba-tiba ngajak gue lari kayak tadi? Pakai acara jatuh segala lagi. Lo enggak malu tadi? Mending lo cek medsos deh, takutnya sekarang muka lo udah ada di mana-mana karena tadi ada yang viral-in lo."
Gaesha berjongkok di samping mobil milik Didi, dia masih berusaha menetralkan napasnya yang terengah-engah karena habis berlari dari dalam restoran tadi.
"Aku memang harus lari kalau mau selamat. Kalau aku tetap di sana tadi, riwayat ku bakalan benar-benar tamat," katanya tersengal.
Didi berdecak. "Ya tapi karena apa? Lo dari kemarin selalu aja ngomong begitu. Siapa sih yang berusaha bikin riwayat lo tamat? Dan tolong jangan bawa-bawa gue, gue enggak kuat lari, Ca!"
Gaesha mendongak, memasang wajah bersalah saat bertatapan dengan Didi yang tampak kelelahan.
"Aku benar-benar minta maaf banget ya, Di. Tapi aku benar-benar enggak bisa buat ketemu sama dia. Aku..takut ditanya-tanya sama dia."
Didi menggeram marah. "Dia siapa?" tanyanya gemas.
Namun Gaesha tidak bisa menjawab tentang siapa dia yang dimaksud.
Dia merasa bahwa dunia kini sedang menghukum dirinya karena sudah meninggalkan Bintang selama belasan tahun. Pria itu pasti sangat membenci dirinya, mungkin ketika nanti mereka benar-benar berhadapan, Bintang akan mencaci makinya sekuat tenaga untuk menyalurkan amarah selama belasan tahun ini.
"Nanti...kalau udah waktunya, aku pasti bakal kasih tahu kamu," kata Gaesha pelan.
Didi berdecak, lelah karena sehabis berlari dan menghadapi tingkah Gaesha yang menyebalkan, dia akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam mobilnya lebih dulu.
Gaesha meringis, dia tahu betul bahwa Didi sangat kesal padanya sekarang.
Bahkan ketika di dalam mobil, temannya yang baik hati itu sama sekali tidak mengatakan apapun. Hanya diam dan fokus mengemudi sampai tiba di depan kontrakan kecil yang ditempati oleh Gaesha.
"Makasih karena udah traktir aku malam ini. Aku benar-benar minta maaf karena udah bikin kamu kesel karena aku enggak bisa cerita tentang hal yang tadi," ucap Gaesha sebelum turun dari mobil.
Mendengar ucapan Gaesha, Didi menghela napas pelan.
"Gue bukannya kesal sama lo, cuma gue enggak ngerti aja. Apa sampai detik ini gue masih belum bisa jadi teman yang benar-benar bisa lo percaya?"
Lekas Gaesha menggeleng.
"Bukan begitu, Di. Tapi ini bukan masalah yang mudah. Ini menyangkut aib aku, masa lalu aku. Aku percaya sepenuhnya sama kamu, hanya saja aku belum siap buat ceritain semuanya. Jadi kalau boleh minta waktu, tolong kamu sabar dulu sampai aku benar-benar siap. Ya, Di?"
Didi terdiam sejenak, kemudian setelah diam beberapa saat akhirnya gadis itu mengangguk dengan senyum kecil.
"Oke. Tapi lo harus janji kalau nanti lo udah siap, lo harus ceritain semuanya sama gue."
Gaesha langsung mengangguk tanpa ragu.
"Aku janji," katanya.
lalu Didi tertawa, membuka kunci di pintu mobilnya.
"Yaudah, sana masuk! Besok kita ketemu lagi setelah gue pulang kerja. Lo masih butuh setelan kerja dari gue kan?"
Terkikik tanpa tahu malu, Gaesha langsung mengangguk.
"Jelas dong! Kalau ada yang gratisan, kenapa juga aku harus beli dan habisin uang tabungan aku," balasnya dengan tawa keras.
Didi hanya bisa mendengus, dia lalu melambaikan tangan saat Gaesha sudah keluar dari mobil dan akan masuk ke dalam rumah kontrakannya.
"Makasih banyak ya, Didi sayang!"
Didi tertawa geli, lekas dia kembali menyalakan mobil setelah memastikan Gaesha masuk ke dalam rumahnya.
Sedangkan Gaesha justru berhenti di ambang pintu. Kepalanya mendongak ke arah langit, tersenyum sendu menatap bulan yang muncul dengan malu-malu.
"Tuan Bulan, tolong sampein ke Bintang kalau buat sekarang, aku belum siap ketemu sama dia. Aku...memang kangen banget sama dia. Beneran deh! Tapi aku bingung harus kasih jawaban apa kalau sampai Bintang tanya kemana aku selama ini dan kenapa enggak pernah hubungin dia. Jadi..."
Gaesha menarik napas, menghembuskan nya perlahan kemudian.
"Buat sekarang, biar Tuan Bulan aja yang sampein dulu ke Bintang permintaan maaf ku ya? Tuan Bulan mau kan bantu aku?"
Menunduk, Gaesha kemudian meremas dadanya.
Rasanya sakit sekali. Bertahun-tahun dia memendam rindu pada Bintang, terus mengkhawatirkan kehidupan pria itu. Sempat dia merasa lega saat mendengar Bintang kembali dijemput oleh keluarganya dan melihat bagaimana pria itu tumbuh sekarang, Gaesha tahu bahwa kehidupan Bintang lima ratus kali lipat lebih baik daripada hidupnya.
Pernah di dalam angannya, dia membayangkan bisa bertegur sapa dengan Bintang selayaknya teman lama saat bertemu. Namun dirinya yang pengecut justru tidak bisa melakukan hal itu.
Jangankan bertegur sapa, Gaesha bahkan tidak bisa menghadapi Bintang dengan berani. Dia terus melarikan diri, dihantui rasa bersalah karena belasan tahun menghilang tanpa kabar. Dirinya tidak siap jika kemudian yang dia dengar dari mulut Bintang adalah caci maki dan amarah yang akan menyakiti hatinya. Gaesha tidak siap.
Memasang senyum sendu, Gaesha kemudian masuk ke dalam rumah kontrakan kecilnya. Dia memastikan bahwa keadaan di depan rumah sudah aman sebelum kemudian mengunci pintu dari dalam rumah.
Rumah ini adalah rumah kecil yang jika ada hujan angin maka akan bocor dimana-mana, namun Gaesha teramat nyaman ada di dalamnya. seakan jika dia sudah ada di sini, maka tidak akan ada satu bahaya pun yang akan menghampiri nya.
setidaknya itu lah yang dirasakan oleh Gaesha setelah dia tiba di Jakarta.
Menaruh tas miliknya di gantungan, Gaesha kemudian beranjak mengambil pakaian tidur dan masuk ke dalam kamar mandi.
Dia membersihkan diri, hingga kemudian berbaring di atas kasur busa kecil yang dia beli dengan harga murah.
Membaca doa sebelum tidur, Gaesha kemudian berjumpa dengan mimpi yang kemudian akan dia lupakan jalan ceritanya ketika terbangun.
__