Bab 2

2006 Words
Jakarta dengan segala kemacetan dan kesibukannya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi warganya. Mereka tidak akan heran lagi. Begitu juga dengan Diva. Ini adalah pertama kali dia menginjakkan kaki di ibu kota tanah air setelah sekian tahun lamanya tidak pernah pulang. Meski baru sekali tapi rasanya sudah sangat familiar. Tentu saja seperti itu, 'kan? Dia lahir dan dibesarkan di sini. Diva merentangkan kedua tangan lebar, menghirup udara ibu kota yang dirindukannya. Udara Jakarta begitu berbeda dengan New York. Meski sama-sama kota sibuk dan tidak pernah tidur, udara Jakarta memiliki arti lebih baginya. Dia merasa lebih nyaman. Diva menyetop sebuah taksi yang kebetulan memang singgah di depannya. Meminta sopir mengantar ke tempat yang disebutkannya. Sungguh, semua ini terasa tidak asing. Diva merasa dia sudah sering melewati setiap jalanan yang kini dilewatinya. Diva memijit pelipis saat taksi yang ditumpanginya melintas di depan sebuah gedung apartemen mewah. Samar sebuah bayangan berkelebat. Diva mengerutkan kening, pikirannya bertanya. Pernahkah dia mengunjungi gedung itu? Entahlah. Sampai taksi sudah melewati area gedung apartemen itu Diva masih mengamatinya. Berhenti begitu merasakan sedikit nyeri di lehernya, dia terlalu lama menoleh ke belakang. Taksi memasuki kawasan perumahan elit. Diva bertanya dalam hati, apakah orang tuanya tinggal di perumahan ini? Pantas saja Mama sering berkata ingin menghabiskan uang Papa. Ternyata keluarganya adalah keluarga berada. Kawasan perumahan ini sungguh tenang, tidak ada macet ataupun kendaraan berseliweran. Tidak seperti saat masih di jalan raya tadi. Kepalanya semakin berdenyut menyaksikan begitu banyaknya kendaraan memadati jalanan. Seolah semua kendaraan itu tumpah ruah di jalanan ibu kota. Sedikit mengerikan baginya karena di New York dia tidak pernah terjebak macet. Dia selalu menggunakan transportasi umum saat pergi dan pulang bekerja. Bukan karena tidak memiliki kendaraan pribadi. Dia memilikinya, sebuah SUV premium Lexus UX sudah menjadi penghuni garasinya sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, dia tidak pernah menggunakan mobil pribadi untuk bekerja. Dia lebih senang menggunakan fasilitas publik, salah satunya menggunakan alat transportasi umum. Lamunan Diva terhenti saat dirasa taksi yang ditumpanginya berhenti. Diva mengernyit melihat rumah yang disinggahi taksi ini. Benarkah ini rumahnya? Jujur, Diva sedikit tidak percaya. Rumah ini terlalu mewah untuk ditempati kedua orang tuanya. Maksudnya, kalau hanya mereka berdua. Namun, Diva tetap keluar dari taksi dan memasuki pintu gerbang yang entah kebetulan atau apa, tidak terkunci. Kepala Diva terasa berputar, beberapa bayangan masa lalu berkelebat di kepalanya. Seorang gadis kecil berlarian di halaman dengan membawa bola di tangannya. Hanya sedetik bayangan gadis kecil itu berubah menjadi bayangan seorang gadis remaja. Kali ini Diva dapat mengenalinya, gadis remaja itu adalah dirinya. Seorang gadis remaja mengenakan seragam sekolah sebuah sekolah tingkat atas bertaraf internasional. Diva memencet pangkal hidung merasakan cairan hangat mengalir turun. Cepat dia berlari, melewati halaman rumah yang cukup luas. Diva mengetuk pintu kuat, memencet bel beberapa kali karena pintu belum dibukakan juga. "Mama, ini Diva!" Akhirnya Diva memilih berteriak memanggil Mama. Dia rasanya sudah tidak dapat bertahan lagi. Kepalanya terasa semakin berdenyut dan berputar. Cairan panas di hidungnya juga semakin cepat mengalir, mereka seolah berlomba untuk keluar. "Mama!" Teriakan Diva melemah, begitu juga dengan gedorannya pada daun pintu berwarna hitam. Diva sudah mencapai batas. Beruntung pintu terbuka, sosok Della Wijaya bersama bik Sumi, asisten rumah tangganya berdiri di belakang pintu. Della sangat terkejut dengan kehadiran putri tunggalnya. Apalagi melihat kondisi Diva yang sangat berantakan. Della memekik tertahan melihat cairan kental berwarna merah merembes dari tangan Diva yang menutupi hidung. "Astaga, Diva! Kenapa sampe kayak gini?" Della bertanya histeris. Memapah Diva cepat memasuki rumah. "Telepon dokter, bik Sum!" perintahnya panik. "Telepon Bapak juga habis itu." "Siap, Bu!" Tergopoh bik Sumi menghampiri telepon yang berada di atas meja hias. Tangan tuanya gemetar memencet tombol-tombol yang terdapat pada benda itu. Sementara Della memapah Diva dengan dibantu pak Dudung dan satpam mereka, membawa Diva ke kamarnya sementara dokter belum tiba. Kamar yang dulu dipakai Diva saat dia masih remaja. Della tidak habis pikir kenapa putrinya pulang tanpa memberitahu. Diva tiba-tiba sudah berada di depan pintu rumah mereka. Astaga! Bagaimana mungkin dia bisa kecolongan? Apalagi sekarang keadaan Diva gawat. Ini sangat mengerikan. Sungguh, Della tidak ingin sesuatu terjadi pada putrinya. Inilah salah satu alasan kenapa dia tidak memperbolehkan Diva untuk pulang ke tanah air. Della tidak ingin hal buruk terjadi pada putri tunggalnya. Percayalah, tidak ada seorang Ibu pun yang ingin berpisah dari anaknya. Berpisah dari Diva adalah sebuah keputusan yang sangat berat. Dia harus meninggalkan Diva di negara orang sejak putrinya itu masih berusia remaja, dalam keadaan kehilangan ingatan. Namun, dia harus melakukannya, demi kebaikan Diva sendiri. Terlalu banyak hal yang membahayakan Diva di negaranya sendiri. Salah satunya adalah hal ini. Bukannya dia tidak ingin ingatan putrinya kembali, hanya saja dia juga tidak ingin Diva kenapa-kenapa. Dia ingin Diva mengingat semua masa lalunya secara perlahan. Lima menit kemudian, dokter Shahnaz, dokter keluarga yang dihubungi bik Sumi sudah tiba. Della membiarkan dokter seusia dengannya itu memeriksa Diva, semetara dirinya menunggu di dekat tempat tidur di mana Diva terbaring. Diva tadi pingsan begitu mereka tiba di kamar. "Gimana keadaan Diva, Dok?" tanya Della khawatir. Raut kecemasan begitu kentara di wajahnya yang masih terlihat cantik meski sudah berumur. Dokter Shahnaz Saraswati adalah dokter keluarga yang dulu menangani Diva saat perempuan itu kritis sepuluh tahun yang lalu. Dokter Shahnaz juga yang menyarankan Diva untuk dibawa ke luar negeri dan berobat di sana. Saat baru beberapa bulan dirawat di luar negeri, dokter Shahnaz selalu mendampingi Diva. Bagaimanapun Diva adalah pasiennya, dia harus terus memantau kondisinya. Sampai saat Diva dinyatakan koma oleh tim dokter di sana, dokter Shahnaz masih bertahan. Dia pulang kembali ke tanah air setelah beberapa bulan Diva masih belum sadar dari komanya. Dokter Shahnaz bukannya menyerah, dia terus memantau keadaan Diva dari tanah air. Dokter Shahnaz juga tahu keadaan Diva sekarang yang mengalami amnesia. Dokter Shahnaz menarik napas panjang sebelum menjawab. "Kita tahu penyebabnya, Della. Ada sebuah atau beberapa ingatan yang memaksa masuk ke otak Diva. Sepertinya ingatan masa kecil karena Diva melihat rumah ini." Della memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Sebenarnya sejak melihat darah yang mengalir menuruni hidung Diva, dia sudah merasakannya, tapi Della menahannya. Baginya, sakit kepala yang dirasakannya tidak seberapa dengan sakit yang dialami Diva. "Lalu, apa Diva nggak apa-apa?" Dokter Shahnaz mengangguk. "Untuk sementara Diva nggak apa-apa, mimisan dan pingsan reaksi yang masih bisa disebut wajar. Tapi, kalau kondisi Diva lebih parah sebaiknya bawa ke rumah sakit." "Astaga!" Della mengusap wajah. "Aku rekomendasikan salah satu teman aku. Dia juga seorang perempuan, namanya dokter Pratiwi. Dia seorang terapis juga psikiater, mungkin dia bisa membantu Diva." Della mengangguk. Saat ini dia sangat bingung, dan sangat membutuhkan seorang dokter terbaik untuk membantu kesembuhan putrinya. Della berharap semoga dokter yang direkomendasikan dokter Shahnaz cocok dengan Diva. *** Tergopoh pria itu memasuki rumahnya. Ia bahkan memerlukan bantuan sopirnya untuk membukakan pintu mobil. Ronny Wijaya juga memerlukan bantuan Sang Sopir untuk memapahnya masuk. Kabar mengejutkan dari asisten rumah tangganya membuatnya nyaris syok. Bagaimana mungkin putri tunggalnya berada di rumah? Sungguh, Diva sangat nekat, pulang ke tanah air tanpa memberitahu. Entah apa yang ada di dalam pikiran putrinya. Apakah Diva tidak tahu betapa mereka yang berada di sini selalu mengkhawatirkannya? Bukannya ia tak ingin berkumpul bersama putri tunggalnya kembali, ia hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Diva. Seperti kejadian ini, misalnya. Sungguh, ia tak dapat memaafkan dirinya sendiri kalau putrinya sampai kenapa-kenapa. "Gimana Diva, Ma?" tanya Ronny pada Della, bahkan ia belum mencapai lantai dua masih berusaha menaiki tangga. "Diva beneran pulang?" Della bergegas keluar kamar, semakin panik melihat suaminya yang dipapah oleh Pak Tono, sopir mereka. "Astaga, Papa!" Della memekik kaget. "Papa kenapa, Pa?" Ronny menggeleng pelan, berusaha menenangkan istrinya yang sudah menangis sekarang. Ronny membiarkan Della yang memapahnya menggantikan Pak Tono, dan membawanya langsung ke kamar putri mereka. "Astaga, Diva!" Ronny langsung menghampiri putrinya yang terbaring di tempat tidur dengan mata yang terpejam. Tangan besarnya menggenggam tangan Diva yang terasa dingin bersentuhan dengan tangannya. "Diva baik-baik aja, 'kan, Ma? Diva kenapa? Kok, bisa ada di rumah?" Della makin merasa sedih saja mendengar pertanyaan itu. Semua ini merupakan salahnya yang tidak selalu mengontrol keadaan putri mereka. Terakhir dia berhubungan dengan Diva adalah seminggu yang lalu, saat putrinya itu menghubunginya melalui panggilan suara. Saat itu sedang malam di sana, Diva begadang mengerjakan tugas dari kantornya. Oh iya astaga! Kenapa dia baru mengingatnya? Bukankah Diva bekerja di salah satu perusahaan ternama di New York? Kalau dia berada di sini, bagaimana dengan pekerjaannya? "Diva baik-baik aja, Pa," ucap Della menjawab pertanyaan beruntun suaminya. "Benar kayak gitu, 'kan, dokter?" Dia bertanya pada dokter Shahnaz yang masih berada di ruangan itu. Dokter Shahnaz mengangguk. "Diva mengalami sakit kepala dan mimisan saja, Ron. Itu sebuah reaksi yang wajar karena adanya satu atau beberapa ingatan yang memaksa masuk ke memori otaknya." Shahnaz menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh orang awam. "Nggak lama lagi dia bangun, kok," ucapnya tersenyum. Ada sedikit kelegaan di hati Ronny mendengar kata-kata Shahnaz, ia selalu memercayai perkataan sahabatnya ini. Meskipun begitu, ia tetap khawatir. Bagaimana kalau Diva tidak bangun lagi dan kembali koma? Sungguh, ia tak ingin kejadian sepuluh tahun yang lalu kembali terulang. Cukup sekali ia dan istrinya mengalami, tak ingin ia mengulangi. Saat itu adalah saat terburuk dalam hidup mereka. Nyaris kehilangan putri semata wayang, kemudian dia koma, dan ketika bangun kehilangan seluruh ingatannya. Adalah hal terburuk dan sangat menyakitkan bagi setiap orang tua tidak dikenali oleh anak mereka. Ditatap dengan tatapan seolah mereka adalah orang asing. Jangan sampai hal itu terjadi lagi. Shahnaz mengerti, dia paham apa yang dirasakan sepasang suami-istri itu. Setiap orang tua pasti memiliki kekhawatiran yang sama, tak ingin anak mereka kenapa-kenapa. Apalagi mereka sudah mengenal lama dan bersahabat. Dia juga khawatir pada Diva. Sejak kecil perempuan itu sudah keras kepala dan terbilang nekat. Diva selalu melakukan sesuatu yang dianggapnya benar. Sepertinya kali ini juga seperti itu. Mungkin dia menganggap kepulangannya ke tanah air bukanlah sesuatu yang salah, dia pasti menganggap semuanya benar, atau mungkin ada sesuatu yang membuatnya nekat pulang tanpa memberitahu. Sebagai sahabat kedua orang tua Diva, juga sebagai dokter pribadi keluarga mereka sekaligus dokter yang merawat Diva sejak dia melakukan mengalami pendarahan hebat sepuluh tahun yang lalu, dia merasa bertanggung jawab. Dia tidak akan pulang sebelum melihat Diva sadar dan membuka mata. "Gimana dengan kondisi kamu sendiri, Ron?" Shahnaz bertanya sebagai seorang sahabat. Dia juga mengkhawatirkan keadaan Della dan Ronny. Tadi Della sudah diberikannya resep untuk obat penenang. Mungkin saja ,'kan, Ronny juga memerlukannya. "Kamu kayaknya juga butuh obat untuk menenangkan diri. Aku kasih resep, ya?" tawarnya. "Atau sama aja resepnya kayak punya Della? Kayaknya kamu cuman perlu istirahat banyak, jangan terlalu dipikirkan dulu. Mengenai Diva, kalian bisa menuntunnya pelan-pelan. Kalau dia bertanya, jawab sejujurnya, tapi dengan lembut. Kalo nggak jujur takutnya nanti dia tambah parah." "Sama kayak Della aja, Naz," jawab Ronny tanpa menatap. Matanya terus tertuju pada wajah Diva yang pucat. Napas putrinya sangat teratur, sepertinya dia sedang tidur. "Va, kamu bangun dong, Sayang. Jangan bikin Papa sama Mama khawatir," pintanya. Della menyentuh bahu suaminya yang tampak luruh. Bahu tempatnya bersandar itu tak lagi kokoh seperti sebelumnya. Dia yakin, kabar kepulangan dan sakitnya putri mereka sangat mengejutkannya. Ronny juga tampak terpukul dengan apa yang terjadi pada Diva. Shahnaz menghampiri tempat tidur Diva. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu terlihat tenang dalam tidurnya. Dia seperti Putri Salju yang sedang menantikan ciuman pangerannya untuk membuatnya kembali terbangun. Shahnaz duduk di sisi kosong tempat tidur Diva, memeriksa denyut nadi dan suhu badannya yang normal. Senyum terukir di bibir Shahnaz, Diva hanya tidur, sebentar lagi dia pasti akan terjaga. Perkiraan Shahnaz benar, mata yang terpejam itu bergerak liar, beberapa detik kemudian terbuka perlahan. Diva sudah sadar. Yang pertama dilakukannya adalah mengedarkan pandangan ke sekeliling, memeriksa keadaan kamar, dan duduk dengan cepat. Tangannya terangkat memijit pelipis, pusing langsung menyergap karena gerakannya yang tiba-tiba. "Diva, kamu nggak apa-apa, Sayang?" Pertanyaan itu membuat Diva menatap orang yang bertanya. Papanya. Diva mengangguk, bibirnya mengulas senyum. "Papa?" Ronny memeluk putrinya. Lega yang luar biasa dirasakannya. Tak terbayang kalau seandainya Diva tidak bangun lagi dan kembali koma. Pasti akan menjadi sebuah pukulan yang sangat berat bagi keluarganya. Hanya mengingat masa kecilnya saja Diva sudah pingsan seperti tadi. Lalu, apa yang terjadi seandainya Diva bertemu pria itu? Arjuna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD