Bab 3

2056 Words
Sudah lebih dari sepuluh tahun, tapi ia masih belum dapat melupakannya. Mimpi buruk itu selalu datang berulang, bagai kaset rusak yang akan selalu memutar adegan yang sama. Adegan di mana ia kehilangan perempuan yang paling dicintainya. William Arjuna Dirgantara mengusap wajah kasar. Sama seperti malam-malam biasanya setelah mimpi itu datang, ia pasti terbangun dan tak pernah bisa lagi memejamkan mata. Kali ini pun sama, mimpi buruk itu membawa kantuknya pergi. membuat keinginannya untuk tidur sudah tidak ada lagi. Juna mengulurkan tangan ke arah nakas, meraih dua buah benda yang ada di sana. Jam digital dan sebuah pigura berukuran sedang dengan bingkai emas. Foto seorang gadis mengenakan seragam sekolah tersenyum manis menghiasi pigura itu. Juna meletakkannya di d*da, memeluk erat seolah memeluk gadis yang ada di dalam foto. Tak peduli dengan dadanya yang kembali terasa ditindih bongkahan batu besar, juga bulir-bulir bening yang menuruni sudut matanya yang terpejam, ia akan terus melakukannya sampai kerinduannya mereda. Hanya sedikit karena rasa rindunya tidak akan pernah reda sepenuhnya. Mata karamel itu terbuka, mengerjap beberapa kali memeras cairan hangat yang masih memenuhi matanya. Tangan kiri Juna yang memegang jam digital terangkat. Angka tiga tertera di layar jam itu. Ia mengembalikan jam ke atas nakas, berbaring miring sambil masih memeluk pigura erat. Usia dua puluh delapan tahun bukanlah usia yang bisa dibilang muda. Ia sudah dewasa, matang dan memiliki segalanya. Dilihat dari sudut mana pun seorang Arjuna tidak memiliki kekurangan. Itu jika dilihat dari luar. Di dalam, ia rapuh. Cinta masa remaja yang bagi sebagian orang dinilai sebagian orang tidak berarti karena hanya dianggap sebagai cinta monyet justru tak dapat dilupakannya. Ia masih terjebak dalam bayang-bayang cinta pertama yang tak akan pernah bisa dimilikinya. Kehadiran Eveline Romansa Wiraatmadja memang bisa membuatnya sedikit lupa. Hanya sedikit. Roma masih sangat kecil dan ia bukan seorang p*****l. Perasaannya pada gadis berusia sepuluh tahun itu hanya rasa sayang terhadap keponakan. Ia masih dan akan selalu mencintai wanitanya. Mungkin ia akan membawa cintanya sampai mati, seperti wanita yang dicintainya. Katakan saja ia cengeng, Juna tidak akan menyangkal. Helen, sahabatnya –Ibu Roma, juga selalu menyebutnya seperti itu. Juna cengeng. Dua kata itu yang selalu diucapkan Helen bila melihatnya menangis seperti sekarang. Namun, ia tetap tak peduli karena Helen akan memeluknya dan ikut menangis setelah mengucapkan kata-kata itu. "Be, aku kangen." Juna terisak. "Kamu kenapa ninggalin aku, Be? 'Kan, aku sayang banget sama kamu. Kamu jahat, Be!" Juna terus meracau dengan kata-kata yang sama seperti malam sebelumnya saat ia terbangun dari mimpi bersama gadisnya. Sepuluh tahun dan ia tetap sama. Bukan, ia tidak gila, tidak juga depresi. Ia hanya merasa sangat kehilangan dan masih belum dapat merelakan kepergian selamanya perempuan yang dicintainya. "Jangan tinggalin aku, Be. Kamu udah janji!" *** "Jangan tinggalin aku, Be. Kamu udah janji!" Mata cokelat Diva terbuka. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi itu kembali lagi, masih dengan suara dan panggilan yang sama. Be. Hanya saja kali ini kata-kata yang didengarnya berbeda. Diva menyingkirkan selimut yang menutupi lebih dati sepertiga bagian tubuhnya, duduk perlahan, dan mengusap wajah. Diva mengernyit, pipinya terasa basah. Apakah dia menangis? Keringat tidak mungkin sebasah ini, ini pasti air mata. Astaga! Apa yang sudah terjadi padanya? Dia menangis di dalam mimpi. Diva meraba dadanya yang terasa sesak, seolah ada bongkahan batu besar yang menindihnya. Jantungnya juga berdegup lebih cepat seperti saat dia baru saja berlari. Diva menggeleng pelan, mengakibatkan dua bulir bening menuruni pipinya. Rasa sesak di dadanya membuatnya menangis tanpa sadar. Entah apa yang terjadi, tapi dia yakin semua ini ada hubungannya dengan masa lalunya yang hilang. Suara pria di dalam mimpinya terdengar serak, Diva yakin pria itu menangis. Begitu juga dengannya, dia juga menangis, sampai sekarang. Diva menurunkan kaki, melangkah ke kamar mandi. Dia terhuyung, nyaris limbung. Mengalami mimpi yang menyedihkan dan menangis membuat kakinya menjadi selemas jelly. Diva terkejut melihat tangannya yang gemetar saat membuka pintu kamar mandi. Padahal tadi dia baik-baik saja, tidak ada getaran apa pun pada tubuhnya. Diva menggelengkan kepala pelan. Mimpinya kali ini berdampak tidak baik pada tubuhnya. Bahkan sampai sekarang dua masih menangis, air matanya tidak mau berhenti mengalir. Seakan kesedihan yang dirasakannya begitu dahsyat. Bukan kesedihan kamu, Va, tapi kesedihan cowok di mimpi kamu. Hatinya meralat. Namun, dadanya juga bergolak. Terasa sangat sakit mendengar suara pria itu yang mengiba. Apakah dia juga bersedih sama seperti pria di dalam mimpinya? Sekali lagi Diva menggeleng. Tangannya memutar keran, masih dengan gemetar. Diva membasuh muka, ada sedikit kelegaan di dadanya kala air dingin menyentuh kulit wajahnya. Batu besar itu mungkin bergeser. Diva mengembuskan napas melalui mulut, kepalanya terangkat menatap wajahnya dari pantulan cermin. Kulit wajahnya memerah karena baru saja menangis. Perlahan tangannya terulur ke arah cermin, menyentuh bayangan dirinya yang terpantul. Beberapa detik dia masih mengamati, sampai sekelebat bayangan diputar otaknya. Diva memegangi kepalanya yang berdenyut. Dia yakin baru saja melihat kepingan masa lalunya. Sepasang remaja mengenakan seragam sekolah. Dia mengenali yang perempuan, itu adalah dirinya. Lalu, siapa remaja laki-laki yang bersamanya? Apakah pria di dalam mimpi yang selalu memanggilnya dengan sebutan Be? Apa arti Be? Apa hubungan mereka? Wajah pemuda itu samar, dia tidak dapat melihatnya dengan jelas. Selalu seperti itu, seolah ada bagian dari otaknya yang tidak ingin mengingat pemuda itu. Diva menggeleng. Nyeri di kepalanya semakin menjadi. Dia harus segera keluar dari kamar mandi kalau tidak ingin pingsan di tempat ini. Dengan penuh perjuangan akhirnya Diva bisa mencapai tempat tidur. Dia tidak langsung berbaring, hanya duduk bersandar pada kepala ranjang. Dia takut akan benar-benar pingsan jika langsung berbaring. "Be!" Napas Diva tersengal, jantungnya memacu semakin cepat. Sampai-sampai dia takut pembuluh darahnya akan pecah karena detakan jantungnya yang menggila. Dua huruf itu sukses membuat pikirannya melayang ke mana-mana. Kata-kata pria di dalam mimpinya sekarang berseliweran, terus berulang di telinga. "Aku sayang kamu, Be. Jangan tinggalin aku. Kamu udah janji!" Astaga! Diva menggeleng kuat. Dia harus menghentikan suara itu jika tidak ingin menjadi benar-benar gila. Dia tidak ingin keputusannya pulang ke negaranya sendiri menjadi bumerang yang akan menyerangnya. . . . . . "Hitam kayak arang!" Juna mendelik. Ia sudah tahu siapa pemilik suara itu. Yang pasti bukan Arsyi Genero Wirata. Sahabatnya sejak SMP itu bukan seorang yang banyak bicara. Sejak dulu sampai sekarang Arsyi tetap urut kata. Hanya Kevin Januar yang boros kata-kata. Pria itu selalu mengomentari setiap penampilannya, sejak SMA tidak pernah berubah. Yang paling menyebalkan adalah Kevin bekerja sebagai sekretarisnya. Entah kenapa pria itu melamar pekerjaan di perusahaannya, padahal Ayah Kevin juga mempunyai perusahaan sendiri. Kevin menolak untuk memimpin perusahaan miliknya dan memilih bekerja padanya. Alasannya sangat konyol, Kevin tak ingin meninggalkannya seorang diri. Seolah ia anak kecil saja. "Pasti lu nggak tidur, 'kan, tadi malam?" Tebakan yang nyaris tepat. Bukan tidak tidur, ia hanya terbangun dan tidak bisa melanjutkan tidur lagi. Juna memutar bola mata. "Sok tau!" ketusnya. "Eh, gue bukan sok tau, ya, Jun, tapi gue emang beneran tau." Kevin tidak mau kalah. Ia duduk di kursi tamu di depan Juna tanpa permisi. "Mata lu kayak mata panda lagi. Apa coba kalo lu nggak tidur?" Juna menarik napas, mengembuskannya perlahan. "Gue bukannya nggak tidur, Vin, cuman kebangun aja terus nggak bisa tidur lagi," jawabnya. Ia menyandarkan punggung pada kursi kebesarannya. Mendongak dan memejamkan mata. "Habis mimpi lagi?" Kali ini tebakan Kevin tepat. Juna mengangguk sebagai jawaban. "Udah gue duga." Kevin menggeleng tak kentara. Inilah sebabnya ia tidak meninggalkan Juna. Pria ini memerlukan seorang teman yang sudah mengetahui semua masalahnya. Ia bekerja di sini agar Juna bisa berbagi masalah pribadinya kapan saja. Selain karena Arsyi yang meminta karena pria itu tidak bisa terus berada di sisi Juna. Arsyi memiliki keluarga dan perusahaan sendiri yang harus dia pimpin. Sementara dirinya masih membujang sampai sekarang. Nora masih belum menerima ajakannya untuk melangkah ke pelaminan. Status mereka masih bertunangan sejak tiga tahun yang lalu. "Jadwal gue hari ini ada yang penting nggak, Vin?" tanya Juna tanpa menatap, ia masih dalam posisi yang sama dan mata yang terpejam. "Kalo nggak penting-penting amat mending lu pending aja. Gue lagi nggak mood." "Dibilang penting, sih, nggak. Dibilang nggak penting, tapi penting. Gimana, dong, Jun?" Kevin meringis, meletakkan tablet berisi jadwal Juna untuk seharian ini ke atas meja, mendorongnya lebih dekat agar Juna mudah menjangkaunya. Persahabatan yang terjalin sejak lebih sepuluh tahun yang laku membuat Kevin tidak segan-segan berbicara pada Juna. Ia menghilangkan sebutan 'Pak' saat mereka berdua saja seperti sekarang ini, dan berbicara dengan gaya bahasa yang lebih santai. Namun, ia akan mengubah gaya bahasanya menjadi formal bila di depan orang banyak. Ia bisa menyesuaikan diri di setiap keadaan. Itulah alasan kenapa Juna mempertahankan Kevin sebagai sekretarisnya sampai sekarang. Pekerjaan Kevin selalu rapi tak kalah dari sekretaris perempuan. Lagipula, Juna merasa tidak nyaman dengan para wanita itu yang bekerja hanya agar bisa mendekatinya. Kevin bukan hanya sekretaris, tetapi juga merangkap sebagai asisten pribadi. Tidak heran kalau Kevin kadang menginap di apartemennya, apalagi bila pekerjaan yang harus mereka selesaikan saat itu juga. "Lu pending aja semuanya, Vin!" pinta Juna. Posisi duduknya sudah tegak. Kedua tangannya terlipat di meja. "Daripada ntar gue ngancurin semuanya. Kecuali lu mau gantiin gue." Kevin memutar bola mata. Selalu seperti ini, tapi ia tidak pernah menolak. Tak masalah baginya menggantikan Juna, ia sudah sering melakukannya, dan tak pernah mengecewakan bos-nya yang sedang galau. Juna selalu puas dengan hasil rapat yang dihadirinya. "Lu nggak keberatan, 'kan?" Juna kembali bertanya. "Lagian cuman makan siang. Malas gue ketemu klien cewek." Sekali lagi Kevin memutar bola mata. "Bukannya lu emang ogah ke mana-mana kalo lagi galau kayak gini?" balasnya terkekeh tanpa suara. Hanya bahunya saja yang bergerak-gerak menandakan ia sedang tertawa. Juna tidak menghiraukan, ia hanya mengangkat bahu sebagai tanggapan. Kevin benar, pria itu sudah sangat mengenalnya. Ia akan terus seperti ini seharian ini –malas untuk beraktivitas– efek dari mimpinya tadi malam. Sebenarnya mimpinya bukan mimpi buruk, melainkan mimpi indah. Namun, justru mimpi itu juga yang membuatnya kembali teringat saat-saat mereka masih bersama, saat gadisnya masih berada di sisinya. Juna mengepalkan tangan kuat. Kepergian Diva yang mendadak sampai sekarang masih belum dapat diteimanya. Diva tewas karena overdosis obat tidur. Gadisnya tertekan, sedang ada masalah yang sangat berat, dan bodohnya ia tidak menyadari hal itu. Ia baru mengetahui setelah Arsyi memberitahu jika Diva mendapatkan teror dan ancaman dari seseorang yang sampai sekarang masih belum diketahui identitasnya. Seseorang yang masih dicarinya. Ia tidak akan melepaskan orang itu bila menemukannya. Seorang pembunuh harus mendapatkan ganjaran setimpal. "Gue nggak galau, Vin," bantah Juna malas. "Gue lagi sedih." Ia kembali bersandar, tangan terangkat mengusap wajah kasar. Bayangan wajah pucat Diva saat di rumah sakit sepuluh tahun yang lalu kembali hadir, membuat dadanya kembali sesak. Juna menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan melalui mulut. Ia harus melupakan kenangan itu saat ini, saat ia harus bekerja dan memerlukan fokus. Kevin meringis. Ia salah ucap lagi. Beruntung Juna tak pernah marah padanya jika mereka membahas masalah pribadi pria itu. Sebaliknya, Juna akan bersikap tegas dan tak segan menghukumnya jika ia salah dalam pekerjaan. Benar-benar seorang yang profesional, bukan? Sungguh, ia bangga pada pria di depannya ini. Kevin mengangguk. "Siap, Bos. Salah ngomong gue tadi." "Hn." *** Matahari sudah tinggi, tapi tubuh dalam selimut itu masih terlelap. Bahkan Diva tidak terganggu oleh sinar matahari yang jatuh tepat menerpa wajahnya, dari gorden yang dibuka olehnya. Della menggeleng pelan, menghampiri tempat tidur putrinya, duduk di sisi kosong tempat tidur. Tangannya terulur mengusap pucuk kepala Diva. "Diva, Sayang, bangun, yuk. Udah siang." Della selalu membangunkan Diva dengan membujuknya. Tak pernah lagi dia berteriak dari ruang makan hanya untuk membuat putrinya terjaga. Terkadang hal itu sangat dirindukannya. Sudah hampir dua minggu Diva kembali bersama mereka, dan putrinya tidak menunjukkan kondisi yang buruk. Diva justru semakin membaik. Della tersenyum melihat cara tidur Diva. Perempuan di balik selimut ini sudah dewasa, tetapi cara tidurnya tak berubah, tetap seperti saat dia masih balita. Waktu begitu cepat berlalu, sekarang putri kecilnya sudah berusia dua puluh delapan tahun, dan masih belum mengingat apa-apa. Diva hanya mengandalkan insting dan perasaan sehingga mengakui mereka sebagai keluarga. Di samping semua bukti yang ditunjukkannya. "Diva, ayo, dong, bangun. Malu sama matahari, ntar kamu nggak dicium lagi." Della selalu menggunakan kata-kata itu untuk membangunkan Diva sejak putrinya masih kecil. Diva sangat sensitif dengan kata matahari. Mata Diva yang terpejam bergerak gelisah. Suara yang ditangkap indra pendengarannya bukanlah suara Sang Mama, melainkan suara seorang pria yang sudah begitu akrab di telinganya. Suara pria di mimpinya. "Be, ayo, bangun, udah siang juga. Kalo nggak mau bangun, aku cium nih!" Mata Diva terbuka, menatap heran pada Mama yang duduk di sisinya. "Mama?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD