Bab 88 - Kisah Cinta Mool dan Botet

2210 Words
Mool kembali mengantarkan makanan untuk Galen Botet di sore hari setelah pulang sekolah. Ini sudah pengantaran yang kesekian kali setelah terjadinya kecelakaan yang tidak diduga di awal pertemuan mereka. Entah mengapa, ketika Chef. Rugin, ibunya, menyuruhnya untuk mengantarkan makanan kepada Galen, dengan sigap ia selalu bersemangat mengantarnya. Ia bahkan berdiri dengan sabar di ruang dapur sebelum masakan untuk Galen siap. Ia senyum-senyum sendiri sewaktu membayangkan kejutan yang akan dilihatnya dari Galen. Ia pernah melihatnya mengumpat karena kesal oleh teman-teman satu timnya, ia pernah melihat Galen yang menangis karena kakinya yang tidak memakai sepatu dan ada benda tajam di tanah yang menusuk kakinya hingga berdarah. Ia juga pernah marah-marah dengan bunga mataharinya karena tak juga berbunga padahal seharusnya sudah berbunga. Ia suka melihat tingkah Galen yang sedikit keluar dari jalur normalnya para lelaki. Chef. Rugin melihat anaknya itu tersenyum sendiri.   “Mool, kau jatuh cinta?” Ucap Ibunya yang sedang menggodanya. “Apa yang ibu katakan. Tidak ada yang terjadi denganku.” Balas Mool. Chef. Rugin langsung mengangkat tangannya, “Kau mau berbohong dengan ibumu sendiri?”  Mool mencoba melindungi diri dengan menutupi wajahnya.  “Ini aja belum selesai, kamu udah nunggu disini!” Kata Chef. Rugin lalu masuk kembali kedalam dapur.  “Bilang sama si Galen itu, sudah saatnya dia bersosialisasi. Ini adalah usia untuk mencari pasangan dan menikah.” Kata Chef. Rugin sambil menyusun lauk pauk untuk dibawa Mool kepada Galen.  Mool mendekatkan dirinya agar bisa mendengar dengan jelas.  “Apa ibu bilang?” Tanya Mool. Kembali reaksi sang ibu dengan mengangkat tangannya. “Aigoo, Aigoo..” Di dalam hati ibunya itu, agar ia lebih cepat dalam menyiapkan bekal itu sehingga anaknya itu tidak akan banyak tanya.  “Gak ada,” teriak Chef. Rugin. Mool mengerutkan wajahnya. Setelah beberapa menit, bekal itu pun siap. “Udah, ini bawa,” kata Chef. Rugin menyodorkan rantangan itu agar cepat diambil Mool.  Mool mengambil payung karena melihat hari akan hujan. Bukan hanya langit yang mengatakan akan hujan, ICE-nya sendiri pun juga mengingatkannya. Ia pun pergi sebelum mengganti seragam sekolahnya. Di perjalanan pergi ia berjumpa Chery. Ia menyapa Chery dan mengetahui bahwa Chery akan pergi ke ruang lab mereka untuk melanjutkan diskusi.  “Datanglah ke kantin jika sudah selesai.” Ucap Mool. Chery membuat isyarat ‘oke’ kepadanya sambil berjalan dan membuatnya menabrak seorang pria.  “Ouch,’ kata Chery dan pria itu terjatuh ke tanah. Anehnya bukan Chery yang terjatuh, malah si pria yang terjatuh. “Will?” Ucap Chery. “Maaf,” ucap Will dan hidungnya berdarah. Kejadian itu dilihat oleh ketiga temannya yang ada di belakang. Mereka yang langsung melihat hidung Will berdarah langsung membawanya segera ke rumah sakit sekolah. Chery merasa bersalah dan melihat cincin di tangannya. “Aku tidak memakai cincin itu juga. Kenapa hidungnya berdarah?” Tanya Chery kepada dirinya seraya melihat teman-temannya yang dengan cepat menggendongnya untuk dibawa ke rumah sakit.  Mool melihat itu dan tersenyum saja. Ia hanya berpikir bahwa fans Chery akan bertambah banyak. Ia melanjutkan perjalanannya dan melihat Galen Botet sedang memanen biji matahari raksasanya yang sebesar jempol. Mool diam-diam mengendap dan berdiri di belakang Galen. Ia ingin mengejutkannya dengan kedatangannya - meski sebenarnya mereka tidak dekat. Galen botet botet menggantung bunga Matahari untuk di keringkan. Bunga-bunga yang sudah kering akan ia kuliti dan mengambil biji kuacinya. Beberapa kali ia terlihat memastikan kelembaban dari bunga Matahari apakah sudah layak untuk dipanen atau belum. Karena bunga Matahari yang ditanamnya adalah bunga Matahari raksasa, membuat proses pengeringan semakin lama. Ia juga takut siapa tahu hujan akan mengguyur Bumi sebentar lagi.  Tiba-tiba, Mool berteriak dengan suara keras hingga biji bunga Matahari yang dikeringkan Galen tercampak mengenai atap lab lalu terjatuh kembali menimpa kepala Galen. Ia tak sempat menghindar karena Mool menghalanginya.  “Ouch,” Kata Galen. Ia merasa kepalanya seperti dihantam batu sebesar kepalan tangan. Tubuhnya seperti tanaman yang bergoyang karena hembusan angin. Matanya seperti pusaran di air yang tenang. Ia tak sanggup menahan kakinya karena kepalanya yang terasa pusing. Mool membantunya, dengan memegang pinggangnya.  “Kau tidak apa-apa?” Tanyanya. Galen tidak menjawab, dan merasa sedikit tidak nyaman karena Mool menyentuh tubuhnya. Mool membantunya untuk duduk di lantai, agar bajunya tidak kotor karena terjatuh di tanah.  “Kau bisa duduk disini.” Kata Mool. Ia meletakkan makanannya di dalam lab meja, lalu berbalik melihat kondisi Galen. Sekitar lima menit, Galen sudah tampak lebih baik. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, ingin memastikan bahwa kepalanya sudah tidak se-pening tadi. Ia menjauh dari Mool dan menatapnya seperti tatapan seorang pencuri.  “Apakah aku seperti ingin menyakitimu?” Kata Mool sedih. “Bukan. Maaf, kita terlalu dekat.” Kata Galen.  “Kau tidak masalah dengan perawakanku?” Tanya Galen. Karena Mool tidak tampak seperti gadis lain yang merasa jijik melihatnya. “Aku melihat kau baik-baik saja.” Kata Mool. “Tetapi, aku punya kondisi yang berbeda dari orang lain. Aku memiliki Sindrom Marfan. Kondisi itu membuat tulang-tulangku terlihat aneh.” Jelas Galen. Ia ingin agar Mool menjaga jarak darinya ketika mengantar makanannya. “Apakah itu menular?” Tanya Mool tersenyum. Ia merasa Galen terlalu banyak berpikir. “Bukan begitu. Itu tidak menular sebenarnya!” Kata Galen menggaruk kepalanya. “Kalau begitu tidak masalah bukan? Lagian kamu kan keturunan istimewa, kondisi itu istimewa untuk mu.” Kata Mool. Mendengar perkataan Mool membuat Galen tertegun tak mengatakan apapun. Ia menatap wajah Mool dan merasa sebuah sinar keluar dari kulitnya dan ia memakai mahkota melingkari kepalanya. Rambutnya terkibas angin tinggi menambah kecantikannya dan senyumannya seperti pedang yang mencabik-cabik jantungnya. Matanya hampir keluar karena menatap Mool. “Kau terkena shock singkat lagi?” Tanya Mool sambil memastikannya bisa mengedipkan mata. Karena sudah beberapa detik matanya sepertinya tidak berkedip sama sekali. Karena tidak juga mampan, Mool mengambil cara kekerasan. Ia langsung berdiri dan memukul punggung Galen dengan kuat hingga tersadarkan.  Galen pun batuk dan merasa bahwa tingkahnya diluar akal sehat. Ia bingung saja, karena tidak pernah melihat seorang wanita sebegitu syok-nya. “Maaf,” kata Galen. “Kau sudah merasa baikkan?” “Aku baik-baik saja, aku hanya seperti melihat cahaya keluar dari..” “Ha? Maksudnya?”  “Lupakan, sepertinya aku menghayal saja gara-gara terjatuh tadi.” “Aku meletakkan makananmu di dalam ruangan itu. Kamu bisa makan nanti,” kata Mool. Ia penasaran dengan apa yang dikerjakan Galen sebelumnya. “Apa yang kau kerjakan tadi?” “Kau mau melihatnya?” “Tentu.” Galen pun berdiri. Ia menjelaskan bahwa biji mataharinya sudah bisa dipanen. Ia sedang menjemurnya dan saat Mool datang dan mengejutkannya, adalah saat dimana ia akan memanen bijinya dengan mengerat. Mool pun minta maaf karena mengacaukannya.  Galen mencari bunga Mataharinya yang tadi tercampak. Ia memperlihatkannya kepada Mool. Situasi menjadi berubah, dan kini giliran Galen yang membantu Mool. Ia memperlihatkan biji kering itu dan Mool pun pingsan. Dengan cepat Galen menangkap Mool dan membawanya masuk ke dalam lab. Payung yang dibawa Mool tertimpanya dan menjadi rusak. Diambilnya lagi payung itu dan masuk ke dalam. Tiba-tiba hujan deras mengguyur lab mereka.  ‘Dia sangat cantik.’ Bisik Galen dalam hati. Hatinya sekarang sudah terpatri oleh paku milik Mool. Ia kemudian mencoba menyadarkan diri. “Apa yang kulakukan?” Tanyanya. Galen bingung kenapa Mool bisa tiba-tiba pingsan. Ia mencari obat-obatan di lemari lab tetapi tidak menemukan apapun. “Bajuku cukup bau, mungkin ini bisa membantunya sadar.” Ucap Galen. Ia membuka bajunya, dan memberikannya ke hidung Mool. Lucunya, Mool sadar dan mendapati Galen telanjang d**a.  “Apa yang kau lakukan?” Kata Mool dengan takut dan menjauhi Galen. “BUKAN.. BUKAN SEPERTI ITU!” kata Galen. Dengan cepat ia mengambil baju yang berada di tubuh Mool lalu memakainya. Ia tersenyum karena mengingat bau tubuhnya bisa membuat orang pingsan menjadi sadar. “Maaf, kau kenapa pingsan? Aku hanya menunjukkan ini!” Kata Galen memperlihatkan bunga Mataharinya. Mool pun berteriak dan menutup mata, “Stop! Jangan!”  Tiba-tiba Galen pun berteriak juga, “TIDAK!” Mool tertegun mengapa mereka saling berteriak.  Galen melihat ke luar. Ia melihat bunga matahari milik-nya yang sudah kering, terkena air hujan. Wajahnya tampak sangat sedih.  “Maaf, pasti kau lupa karena aku.” Kata Mool. Ia melihat payungnya, dan payung hitam itu ternyata rusak. Ia harus menunggu sampai hujan reda baru bisa pulang. Dilihatnya jam, menunjuk pukul 6.45 PM. Ia merasa beruntung karena belum jam malam sekolah.  “Aku sudah lama menunggu ini.” Kata Galen. “Tenang lah, masih ada waktu.” Ucap santai Mool.  Galen menatapnya dengan tajam. “Maaf.. maaf.. itu hanya kesalahan dalam memilih kata.” Ucap Mool lagi. “Untuk satu bunga ini masih ada.” Kata Galen menunjuk pada bunga Matahari kering yang ada di tangannya.  “Kenapa kau pingsan tadi?” Tanya Galen melihat ke wajah Mool. Ia melihat wajahnya tampak baik-baik saja. Ia hanya penasaran, apakah ada unsur kesengajaan. “Aku mengidap, Trypophobia yang membuat jantungku berdegup kencang dan keringat dingin bercucuran sewaktu melihat pola yang berulang-ulang seperti itu.” Tunjuk Mool.  “Oh, phobia. Maaf, aku tidak tahu bahwa kau mengidap hal seperti itu. Biasanya tidak separah itu, kenapa bisa langsung pingsan?” Ucap Galen. Tentu ia merasa apa yang terjadi dengan Mool bukan lagi tahap awal. Mungkin itu sudah termasuk parah.  “Itu seharusnya diobati.” Kata Galen. Kemudian Galen melihat bunga Matahari yang ada di tangannya. Diambilnya satu dan memeriksa isi dalamnya. Biji Bunga itu sebesar kelingkingnya.  “Bunga itu sangat besar. Ini memang biji yang sangat besar.” Ucap Mool yang mendekatinya ke meja penelitiannya.  “Seharusnya ada biji di dalam, tetapi ini tidak ada.” Kata Galen. Ia merasa gagal melakukan proyeknya.  “Apakah sebelumnya bunga yang ditanam sebesar ini?” Tanya Mool. Galen menjelaskan, “Awalnya tidak sebesar ini. Lalu kami membuatnya menjadi lebih besar seperti yang kau lihat. Diameter biji ini hanya 35 centimeter. Tidak ikut kelopak ya, hanya biji tengahnya. Tetapi, target kami adalah membuat biji bunga ini menjadi lebih besar hingga satu meter.”  “Itu sangat besar. Sudah bisa sebesar bunga rafflesia nantinya.” Kata Mool. “Tapi, masalahnya adalah, jika sebesar ini, biji yang di dalam bunga yang nantinya jadi kuaci, tidak memiliki isi. Kami sudah mencoba segala macam cara, tetapi masih belum ketemu. Untung saja, yang diluar terkena hujan itu, bukanlah benih yang bagus.” Ucap Galen membelakangi meja penelitiannya dan bersandari di situ. “Ya, setiap proyek pasti membutuhkan usaha lebih.” Kata Mool. “Pencapaian kami bukanlah sampai disitu saja. Ketika bunga ini membesar, biji-bijinya akan menyatu menjadi kepingan biji-biji yang banyak. Jadi kita hanya tinggal memecahkan sebagian dari biji dan semua biji akan bisa dimakan secara langsung.” Jelas Galen. “Wow, itu ide hebat. Tetapi sulit untuk dicapai. Aku pernah membaca artikel bahwa biji Matahari tidak ada bisa dikarenakan penyerbukan, hama, atau varietas si bunga matahari itu sendiri. Mungkin kau juga perlu mengecek tanahnya.” Saran Mool “Itu tampak cocok.” Kata Galen. Wajahnya berseri karena belum pernah ia berdiskusi sedekat ini dengan seorang wanita. “Dimana anggotamu yang lain?” Tanya Mool. Galen tampak gagok. Ia tidak tahu harus menjawab apa. “Mereka sudah pergi,” ucap Galen. “Seharusnya mereka membantumu mengerjakan ini.” Ucap Mool lagi, ia tampak emosi. “Aku bisa memberikan pelajaran kepada mereka.” Ucapnya lagi. “Bukan, bukan begitu. Lagian siapa yang tahan melihat rupaku terlalu lama?” Kata Galen mengerutkan mulutnya. “Kau tidaklah jelek, kau cukup ganteng.” Kata Mool tiba-tiba. Kata-kata itu membuatnya terkejut. Pipi Galen memerah dan ia memalingkan wajahnya dari Mool. Sepertinya Mool salah dalam menggunakan kata-kata. Jantung Galen berdegup kencang seakan ingin pingsan. “Apa aku salah mengucapkannya?” Tanya Mool tanpa rasa bersalah. “Hm..? Tidak ada yang salah,” ucap Galen yang sedikit ragu menatap mata wanita itu. “Bagaimana dengan penelitian kalian?” Tanya Galen. “Kami meneliti tentang makanan yang bisa dimakan dengan mudah. Makanan yang kecil tetapi dapat bertahan dalam beberapa minggu.” Ucap Mool, dan terhenti. Ia melihat Galen tidak sabar untuk berkomentar.  “Itu lebih sangat tidak mungkin. Bagaimana bisa? Apakah itu bermanfaat?” Ucap Galen, yang sekarang mengambil kursi untuk Mool.  “Ini ada kursi,” kata Galen. Mool berjalan sambil menerangkannya, “Ya, dunia ini cepat atau lambat pasti akan semakin menua. Kita bisa saja kekurangan makanan. Dengan adanya penemuan itu, kita tidak akan takut kehabisan bahan makanan.” Jelasnya dengan lambat. “Itu akan membuat lambung kita berhenti bekerja, karena makanan kecil hanya bisa dicerna dalam hitungan detik. Serasa tidak mungkin.” Kata Galen, ia ingin mengetahui lebih banyak. “Kami masih meneliti. Mungkin kapsul yang ada di dalam akan mengembang seraya waktu berjalan. Ia akan mengembang dan membesar ketika waktunya jam malam, dan lambung akan mulai bekerja.” Jelas Mool. “Itu akan sangat hebat.” Jam sudah menunjukkan jam tujuh malam lewat dua puluh menit.  “Jam malam sebentar lagi berbunyi. Hujan juga sudah redah, sebaiknya kita pergi.” Kata Galen. “Kau benar.” Mereka membereskan meja, Galen teringat bahwa ia lupa memakan makanannya. “Aku akan bawa makanan ini, dan akan memakannya di Asrama saja.” “Baiklah, sampai jumpa besok.” Ucap Mool dan pergi.  Galen melihatnya berlari dan tertegun lagi.  “Dia cantik dan baik.” Ucapannya yang tidak disadarinya.  “Hei, apa yang kau katakan,” menepuk mulutnya.  Ia berfokus pada meja penelitiannya. Membereskan barang-barangnya sebentar lalu mengunci pintu Lab. Ia tersenyum sepanjang berjalan dari asrama. “Ini hari yang indah.” Ucapnya.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD