6. Mission Failed

1732 Words
Chester menggebrak mejanya. “Anak itu benar Estelle Lucretia, kan?” Seorang bawahannya berdiam diri sambil terus menunduk di hadapannya. “Benar, Tuan. Hanya dia yang tahu kematian Liliana selain kita. Saya juga sudah mengambil fotonya.” “Apa perempuan yang ada di kuburan dan yang mengejar kita adalah orang yang sama? Kau yakin akan itu?” tanya Chester. “Ya, saya sangat yakin. Saya sudah memastikan wajahnya,” jawab bawahannya. Chester menopang dagunya. “Kenapa ia senekat itu? Apa dia tidak ingat apa yang telah kita perbuat pada keluarganya?” “Bukankah itu alasannya dia mengikuti kita?” “Interesting.” Chester menegakkan punggungnya. “Sudah menjadi perempuan yang seperti apa kau, Estelle?” Terdengar suara ketukan pintu. Setelah itu, salah seorang bawahannya masuk ke ruangannya. “Tuan, kami mendapat petunjuk keberadaan Elliot Luciano!” serunya. Chester langsung bangkit dari kursinya. Ia tampak sangat bersemangat karena mendapat kabar itu. “Kalian tunggu apa lagi? Terus lacak dirinya dan tangkap dia hidup-hidup!” “Baik, Tuan,” jawab bawahannya itu lalu keluar lagi dari ruangannya. “Apa-apaan ini? Kenapa kakak beradik ini muncul secara bersamaan?” gumam Chester. *** Sebelum menjalankan misi, Estelle pergi ke markasnya lebih dahulu. Ia sudah memakai setelan lengkap dengan rapi. Mafianya memang memiliki peraturan untuk selalu memakai pakaian formal selama berada di sana. Estelle menempelkan brosnya ke tempat scan. Lalu, pintu utama markasnya terbuka. Beberapa penjaga di sana menyambutnya. Sebenarnya, Estelle cukup terkenal di White Mafia. Tidak banyak anggota mafia perempuan di sana. Sehingga, semua perempuan di sana pasti dikenal oleh semua anggota. Ditambah lagi, Estelle dikenal sebagai seorang pembunuh profesional. Saat berjalan menuju ruangan divisinya, Estelle berpapasan dengan seorang perempuan. Penampilannya sangatlah berbeda dengan Estelle. Perempuan itu memakai gaun hitam pendek tanpa lengan. Riasannya juga sangat mencolok. Suara sepatu haknya menggema di koridor. “Apa kau tidak punya sopan santun? Bukannya seharusnya kau menyapa yang lebih tua?” ucap perempuan itu. Estelle menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah perempuan tadi. “Selamat pagi, Wanita Tua.” Perempuan yang bernama Liona itu tidak menerima perkataan Estelle. Ia tidak menyangka bahwa Estelle mengejeknya semudah itu. Bahkan, tidak ada rasa bersalah di wajahnya. “Apa maksudmu?!” ujar Liona. “Jangan sombong dengan umurmu yang lebih banyak. Kau akan mati lebih dahulu,” jawab Estelle. “Tidak heran kau kurang ajar seperti ini. Kan, tidak punya orang tua,” balas Liona. “Kasihan, tidak ada yang mengajari sopan santun.” “Di luar siapa yang lebih tua, jangan lupa bahwa aku masih lebih senior darimu,” jawab Estelle dengan tegas. Estelle segera meninggalkan Liona. Sungguh, perkataan Liona membuat luka pada hatinya. Perempuan itu dengan mudahnya menyebut bahwa dirinya tidak memiliki orang tua. Padahal, Liona tidak tahu bagaimana hancurnya perasaan Estelle ketika kehilangan orang tuanya. Liona memang sering sekali berkelahi dengan Estelle. Kebanyakan, Liona yang memulai perkelahian itu. Ia seperti meremehkan Estelle yang masih berumur sangat muda. Berbeda dengan Liona, Estelle bahkan selalu menganggap diri Liona tidak ada. Ia tidak pernah ingin berbicara dengan Liona. Liona berada di divisi obat-obatan. Bukan, ia bukan seorang dokter ataupun perawat. Pekerjaannya adalah menjual obat yang ilegal. Ia juga memiliki berbagai macam racun. Sangat berbeda dengan Estelle yang seorang pembunuh. Estelle pergi ke ruangan divisinya. Di sana ada Greg yang sedang tidur di kursi depan komputer. Sepertinya temannya itu ketiduran setelah semalaman menggali informasi. Estelle menepuk bahu Greg. “Greg, hei!” Greg tampak terbangun dalam kondisi terkejut. Ia mengusap matanya. “Apa?” “Aku butuh bantuanmu,” kata Estelle. “Soal orang yang aku cari sejak dulu.” “Oh, kenapa? Apa kau sudah menemukan sesuatu?” “Namanya Chester. Bisakah kamu mencari informasi mengenai dirinya?” tanya Estelle. “Ya, akan aku usahakan. Tidak harus sekarang, kan?” “Kalau sekarang, tolong cek denah Hotel Eirst.” “Apa kau tidak lihat bahwa aku baru bangun tidur? Berilah aku waktu sebentar,” kata Greg. Estelle tidak menjawab perkataan Greg. Ia hanya menatap sinis rekan kerjanya itu. “Apa namanya? Hotel Eirst?” tanya Greg lalu mengetik banyak kode di komputernya. Ia tampak takut dengan tatapan dari Estelle. “Ya.” Setelah beberapa saat, muncul sebuah struktur 3D dari sebuah bangunan. Greg sudah mendapatkan datanya dengan sangat cepat. “Hotelnya masih baru. Keamanannya juga masih rendah. Masih sangat mudah untuk meretasnya,” jelas Greg. “Rutenya?” “Astaga,” keluh Greg. “Baru bangun tidur udah disuruh mikir.” “Rutenya?” ulang Estelle. “Banyak tempat yang tertutup di sekitar Hotel Eirst. Kau bisa menunggu di luar dan langsung membunuh target saat ia keluar dari hotel,” jawab Greg lalu menunjuk bagian samping dari bangunan hotel itu. “Sudut ini merupakan titik buta CCTV.” “Oke.” Estelle keluar dari ruangan divisinya. Kemudian, ia bergegas menuju lokasi target. *** Sekarang Estelle sudah berada di depan Hotel Eirst. Ia mengikuti arahan Greg. Ia berjalan menuju samping bangunan hotel. Ia mengeluarkan ponselnya sebentar untuk melihat foto targetnya lagi. Setelah melihat keberadaan targetnya, ia langsung memasang silencer pada pistolnya. Kemudian, ia mengokang senjatanya. Ia mengarahkannya ke kepala target. Estelle membulatkan matanya ketika peluru itu meleset. Targetnya pun sempat melihat ke arahnya. Namun, tidak berhasil melihat keberadaannya. Suasana di sekitar hotel pun ramai. Semua orang panik karena adanya peluru yang mengenai tembok bangunan itu. Meski sudah memakai silencer, suara tembakan itu masih terdengar. Estelle yang mengetahui itu langsung kabur dari sana. Namun, ia tidak berlari. Ia hanya berjalan seperti biasa untuk menghindari kecurigaan. Ia bisa mendengar banyak suara langkah kaki di belakangnya. Ia merasa menyesal karena tidak membawa kendaraan untuk kabur. Ia kira, semuanya akan berjalan sesuai rencana: semua orang fokus dengan kematian target sehingga tidak ada yang memberi perhatian kepadanya. Tidak ada yang tahu tembakannya akan meleset seperti ini. Selama berjalan, Estelle sibuk melihat ke atas. Ia memastikan tidak ada CCTV yang berhasil merekamnya. Ia juga sesekali melihat ke belakang. Estelle masuk ke sebuah gang sempit. Ia harus menghindari keramaian dulu untuk sekarang. Ia berlari menyusuri gang itu. Saat ia berlari, ia menjadi ingat dengan mimpinya tadi. Pandangan sekitarnya semakin gelap. Ia merasa sedang berlari di lorong tanpa ujung. Estelle berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia menambahkan kecepatan larinya. Ia menoleh ke belakang sebentar untuk memastikan keadaan. Ia menghela napas karena tidak ada orang yang berhasil mengejarnya. Setelah menyusuri gang sempit, Estelle kembali berjalan seperti biasa. Kakinya sedikit tidak nyaman untuk berlari karena ia memakai sepatu pantofel. Untung saja tidak ada orang yang melihatnya. Suara sirene polisi terdengar. Estelle yakin pasti pihak hotel menghubungi polisi. Ia juga yakin bahwa ia tidak akan ketahuan. Meski penyelidikan diadakan, semuanya akan sia-sia. Pihak hotel dan polisi hanya membuang waktu. Selama tidak ada kamera yang menangkap aksi Estelle, ia akan terus aman. Estelle berdiri di depan minimarket. Ia bahkan melihat mobil polisi yang melewati dirinya. Setelah menemukan taksi, ia memberhentikannya. Ia menaiki taksi untuk pulang ke rumahnya. Di taksi, Estelle mengeluarkan ponselnya. Ia mengirimkan pesan kepada Tuan Dan. Estelle Tuan Dan, misi gagal Tuan Dan Kembali ke markas sekarang Aku tunggu di ruanganku Membaca pesan itu, Estelle langsung bicara dengan sopir taksinya. “Pak, ke Kafe K.” “Baik.” Alamat yang aman untuk kembali ke markas adalah Kafe K. Kafe itu berada tidak jauh dari markasnya. Keberadaan markasnya memang harus dirahasiakan. Ia juga tidak mungkin membongkar identitasnya begitu saja. Estelle menyandarkan punggungnya di jok taksi. Ia berusaha merilekskan badannya. Sebelumnya, ia sudah sering menghampiri ruangan Tuan Dan. Namun, itu atas kemauannya sendiri. Jika Tuan Dan yang menyuruhnya, itu berarti Estelle sedang dalam masalah. *** Tuan Dan memberi Estelle secangkir teh. “Aku tidak pernah memanggilmu ke ruanganku jika tidak ada sesuatu yang serius.” “Maaf, Tuan Dan,” ucap Estelle. Di hadapan Estelle sudah ada seorang pria berusia tiga puluh akhir. Tampangnya ramah dan murah senyum. Pria itu sudah seperti ayahnya sendiri. Tuan Dan juga merupakan salah satu orang yang melatihnya sejak masih kecil. "Kau tidak pernah gagal, kan?" tanya Tuan Dan. “Aku sangat terkejut ketika kau mengirim pesan itu. 07 yang sudah sangat profesional dalam membunuh, gagal dalam misinya.” "Ini pertama kalinya," jawab Estelle. “Aku sangat kecewa dengan diriku sendiri.” "Pasti para polisi sedang mencari keberadaanmu," jawab Tuan Dan. “Tembakanku meleset. Tetapi, aku berhasil kabur dari sana. Aku tidak akan ketahuan,” jawab Estelle. “Jangan menganggap remeh polisi. Kau boleh mengatakan itu jika kau tidak meninggalkan bukti,” kata Tuan Dan. “Jangan lupa bahwa kau meninggalkan peluru di sana.” Estelle menunduk. “Maaf, Tuan Dan.” Tuan Dan masih tersenyum ke arah Estelle. Meski begitu, Estelle merasa sangat takut sekarang. Tuan Dan bisa berbicara dengan nada yang pelan dan lembut. Namun, perkataan yang diucapkan sangatlah menusuk. Itu yang membuat pria itu menakutkan. “07 yang hebat dalam menembak, meleset saat menembak target,” gumam Tuan Dan. “Lalu, bagaimana kau mengatasi hal ini?” “Aku akan mencoba lagi dan membunuhnya dengan pasti,” jawab Estelle. “Kau pikir, semuanya akan kembali seperti biasa? Karena kejadian ini, penjagaan diperketat. Polisi juga pasti sudah diutus untuk berjaga. Keadaannya tidak akan kembali lagi,” kata Tuan Dan. “Aku akan berusaha.” “Baiklah. Aku akan menunggu kabar darimu,” jawab Tuan Dan. "Ngomong-ngomong, Tuan Dan," panggil Estelle. "Ada apa?" "Apa Tuan pernah bertemu orang dengan penutup mata?" "Penutup mata? Banyak sekali orang yang memakai itu. Siapa yang kau maksud?" tanya Tuan Dan. "Aku ingin membunuh orang itu," kata Estelle. "Tapi, aku masih belum mengetahui identitasnya." "Untuk apa? Kau bahkan tidak mengenal siapa orang itu. Kenapa kau ingin membunuhnya?" tanya Tuan Dan. "Dia sudah membunuh keluargaku. Aku ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri,” jawab Estelle. "Apa keluargamu melakukan kesalahan? Kenapa ia membunuhnya?" Tuan Dan tidak tahu mengenai masa lalu Estelle. Estelle juga tidak memberitahu mengenai masa lalu dan ambisinya ke sembarang orang. Ia pun memutuskan untuk memberitahunya sekarang. "Aku juga tidak tahu alasannya," jawab Estelle. "Dia tidak membunuhnya secara langsung. Ia mempekerjakan banyak orang untuk membunuh keluargaku." "Kalau begitu, mungkin dia adalah orang yang memiliki kekuatan. Mungkin ia ketua sebuah gangster atau kelompok tertentu?" "Apa ada kemungkinan dia seorang mafia?" "Mungkin saja," jawab Tuan Dan. "Bagaimana jika bertanya kepada Tuan Robert? Ia kenal banyak mafia." "Aku sudah pernah bertanya padanya. Tapi, ia juga tidak yakin dengan siapa yang aku maksud," jawab Estelle. "Kau tadi bilang bahwa kau ingin membalas dendam?" "Ya." "Apapun keadaannya, lebih baik jangan balas dendam. Menurutku, balas dendam adalah perbuatan yang kekanak-kanakan. Itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kau hanya akan termakan emosi sendiri."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD