3. Runaway

1994 Words
2008 Terdengar suara ketukan dari pintu utama kediaman Carlos. Salah satu bodyguard di rumah Carlos membuka pintu rumah untuk tamu itu. Matanya membesar–yang ia sambut adalah sebuah pistol. Bodyguard itu langsung mencoba membela diri. Namun, ia kalah jumlah. Ia mendapat tembakan dari arah lain. Mendengar suara tembakan, sang pemilik rumah pun muncul. “Chester?” tanya Carlos. “Yo, Carlos,” sapa Chester. “Ternyata di sini persembunyianmu.” Chester tersenyum lebar. Ia memakai perban tebal mengitari dahi hingga mata kanannya. Luka dari serangan Daniel mengakibatkan cedera yang besar untuk Chester. Bahkan, ia kehilangan salah satu penglihatannya. Ia harus memakai penutup mata untuk seumur hidupnya. “Sulit sekali mencari tempat tinggalmu. Aku sampai harus menghabiskan waktu selama satu bulan hanya untuk itu,” kata Chester. “Ini semua karena Daniel sialan itu tidak memberitahuku.” “Kerja bagus, kurasa? Padahal rumah ini adalah rumah yang paling sulit dijangkau. Mungkin aku harus memberimu tepuk tangan?” kata Carlos dengan santai. “Jangan berlagak sombong seperti itu. Kau akan menyesal.” Carlos menyisipkan tangannya ke dalam jasnya. Kemudian, ia mengeluarkan pistol dari sana. Ia membuka tempat peluru untuk memastikan ada peluru di dalamnya–sekaligus memberi ancaman kepada Chester. Setelah itu, ia mengokang pistolnya dan mengarahkannya ke depan. “Oho, kau tidak sabaran, ya?” Chester terkekeh. “Padahal ada yang ingin kuperlihatkan padamu.” “Jangan banyak bicara. Apa kau tidak tahu bahwa aku sudah menyerahkan semua dokumen dan data tentangmu ke pihak berwajib?” tanya Carlos. “Mendengarmu berbohong padaku seperti ini, membuatku lega. Itu menunjukkan bahwa kau takut padaku sekarang.” Chester tertawa. “Bukankah itu alasanmu bersembunyi di rumah mewah tengah hutan seperti ini?” Carlos menatap Chester tajam. Sedangkan Chester memberi tanda pada salah satu bawahannya untuk membawakan sesuatu. Bawahannya itu memberikan beberapa lembar foto padanya. Chester memperlihatkan foto yang ia pegang satu per satu pada Carlos. Foto pertama menunjukkan Daniel yang sedang berlari dari kejaran Beast Mafia. Foto kedua menunjukkan Daniel yang sudah diikat di kursi. Foto ketiga adalah foto dari wajah Daniel yang memiliki banyak luka. Foto keempat memperlihatkan Daniel yang sudah terjatuh dari kursi dengan bersimbah darah. Carlos membulatkan matanya ketika melihat apa yang ada di depannya. Tangannya melemas hingga pistolnya terlepas. Ia terus menatap satu per satu foto di sana secara bergantian–seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat. “Hadiah untukmu,” kata Chester sambil memberikan sebuah kotak cincin. Carlos merebut kotak cincin itu dengan kasar dari Chester. Ia langsung membuka kotak itu. Cincin yang sangat ia kenal berada di sana. Mata Carlos berkaca-kaca melihatnya. Ia tahu jelas bahwa cincin itu adalah milik Daniel. Carlos adalah orang yang memberikan cincin itu kepadanya. Daniel juga sengaja memodifikasi cincin itu sehingga memiliki ujung yang tajam. Cincin ini bisa menjadi senjata di waktu yang mendesak, kata Daniel waktu itu. “Ah, cincin itu berhasil membuat wajahku seperti ini.” Chester menunjuk perban di wajahnya. “Semoga kau menyimpannya dengan baik.” “Chest–” “Tetapi, bagaimana, ya? Meski dia membuat wajahku seperti ini, aku berhasil membuatnya menjadi seperti ini.” Chester menunjuk foto keempat Daniel lalu tertawa. “Kenapa kau melakukan ini kepada Daniel? Ia tidak bersalah.” Setelah menahan emosi, hanya kalimat itu yang berhasil keluar dari mulut Carlos. Ia tahu bahwa ia tidak sebaiknya memancing Chester lagi. Carlos berusaha menahan mulutnya supaya tidak mengutuk pria di depannya. “Kenapa kau bersembunyi? Jika kau berada di tempat tinggalmu seperti biasa, aku tidak perlu meneror Daniel dan menghabisi nyawanya seperti ini. Daniel adalah orang yang sangat setia. Hingga akhir napasnya pun, ia tidak memberitahu di mana kau berada.” Carlos memakai cincin milik Daniel lalu berusaha menonjok wajah Chester. Sayangnya, serangannya berhasil ditahan oleh Chester. “Serangan yang sama tidak akan mempan kepadaku.” “Kau sudah menemukan persembunyianku. Sekarang, apa maumu?” tanya Carlos. “Take it slow, Carl. Aku seorang tamu. Bukannya kau harusnya menjamuku dahulu?” Carlos mengangguk lemah. Ia memerintahkan pembantunya untuk mengambilkan dua gelas teh melati untuk dirinya dan Chester. Dengan cepat, sebuah nampan sudah berada di depan mereka. Carlos dan Chester masing-masing mengambil satu gelas. “Jika beracun, kau akan mengalami nasib yang sama dengan Daniel,” kata Chester. Carlos mengangguk. “Anggap saja rumah sendiri.” Chester memerhatikan sekeliling rumah Carlos. Kemudian, ia berhenti di depan foto keluarga milik Carlos. "Kenapa foto keluargamu masih sama seperti tujuh tahun yang lalu? Estelle dan Elliot pasti sudah besar sekarang.” Chester sibuk mengelilingi rumah Carlos. Sedangkan pemilik rumah itu tidak bisa melakukan apapun kecuali mengikuti tamunya. Di satu sudut rumahnya, Carlos berhasil melihat keberadaan putrinya. “Ayah,” panggil Estelle yang mengintip dari balik tembok. Carlos dan Chester menoleh di waktu yang bersamaan. Namun, tatapan yang mereka berikan kepada perempuan kecil itu berbeda. Carlos menatapnya dengan tatapan mengusir. Ia tidak ingin anaknya terlibat dengan masalah ini. Sedangkan, Chester menatapnya dengan hangat. Senyuman juga mengembang di wajahnya. Berbagai rencana muncul di pikirannya. “Estelle sejak kapan ada di situ?” tanya Chester ramah. “Sejak Elle dengar ada suara yang kencang,” jawab Estelle dengan polosnya. Anak kecil memang tidak bisa berbohong. “Suara kencang? Suara tembakan tadi?” Chester menoleh ke arah Carlos sebentar. Kemudian, ia kembali menatap Estelle. “Estelle dengar semua pembicaraan paman dan ayah?” “Elle dengar,” jawab Estelle dengan cepat. Chester menyeruput teh melati yang ia bawa sejak tadi. Kemudian, ia tersenyum ke arah Carlos. “Estelle sudah bertumbuh dengan baik. Ia menjadi anak perempuan yang manis. Apa karena menuruni wajah ibunya?” “Estelle, kembali ke kamar,” perintah Carlos singkat lalu mengantar Estelle masuk ke kamarnya. “Kapan Paman Daniel kembali?” tanya Estelle. “Elle sudah lama tidak bertemu Paman Daniel.” Chester menghampiri Estelle. Tanpa diduga, ia menunjukkan foto dari wajah Daniel yang sudah dipenuhi darah. “Ini Paman Daniel. Dia sudah pergi jauh dari sini. Apa Estelle mau ikut dengannya?” “Apa yang kau lakukan?!” teriak Carlos lalu mendorong Chester menjauh dari putrinya. Estelle yang sudah melihat foto itu langsung berlari menuju kamarnya. Ia ketakutan dengan foto yang ditunjukkan Chester. Daniel adalah orang yang sering menemaninya jika ayah dan ibunya sedang sibuk. Melihat keadaannya yang buruk seperti itu, Estelle hanya bisa menangis. “Chester!” seru Carlos. “Apa kau gila?” “Melihat keberadaan Estelle di sini, berarti istrimu ada di sini juga,” kata Chester. “Paling tidak, ada tiga orang yang akan mati di sini.” “Jangan libatkan mereka. Tinggalkan mereka. Kau hanya berurusan denganku,” kata Carlos. “What a great dad!” seru Chester. “Jika kau ingin melakukan sesuatu yang beresiko, sebaiknya kau pikirkan lebih dahulu. Lihat sekarang, keluargamu terancam.” “Apa maumu?” “Sedikit, hanya dua hal. Berikan mafiamu kepadaku, kembalikan semua dokumen dan uang yang kau curi dariku. Mudah, bukan?” “Dengan begitu, kau akan menghilang dari penglihatanku?” tanya Carlos yang dijawab anggukan dari Chester. “Jangan berpikir untuk kabur lagi. Bawahanku akan memantaumu di sini. Jika kau melakukan pergerakan mencurigakan...” Chester mengeluarkan jari telunjuk dan jempolnya – menirukan bentuk pistol. “Dor! Kau akan mati.” *** “Estelle, sedang apa?” tanya ibunya. “Ibu!” Estelle menghampiri ibunya dan memeluknya. “Paman Daniel di mana? Paman Daniel tidak apa-apa, kan?” Ibunya tersenyum. Ia tidak menjawab pertanyaan Estelle. “Untuk sementara, kamu tidur di kamar yang lain, ya?” “Kenapa?” tanya Estelle. Mata ibunya berkaca-kaca. “Ibu sepertinya akan pergi jauh. Ibu ingin menyampaikan ini semua sebelum ibu pergi.” Sebuah tanda tanya tergambar pada wajah Estelle yang masih kecil. Sejak tadi, ia tidak mengerti mengapa ibunya bicara seperti ini. “Kamu pernah dengar suara yang sangat kencang di rumah ini, kan?” tanya ibunya. “Ya.” “Jika kamu mendengarnya lagi, kamu harus segera kabur dari sini. Keluar dari rumah ini. Jangan pedulikan apa yang sedang terjadi di rumah. Kamu cukup keluar dari sini dan mencari bantuan,” kata ibunya. “Mengerti?” “Iya.” “Maaf, Ibu tidak bisa menjelaskan semuanya kepadamu. Jika kamu sudah dewasa, mungkin kamu akan mengerti. Untuk saat ini, kamu cukup pergi yang jauh. Hindari pria itu–pria dengan penutup mata di bagian kanan.” Tangan Estelle tremor saat mendengarnya. Saat ibunya menyebut pria dengan penutup mata, Estelle langsung teringat dengan pria yang belum lama ini datang ke rumahnya. Ia ingat sekali foto yang pria itu tunjukkan. “Pa-Paman Daniel...” Ibu menggenggam tangan Estelle. “Tidak apa-apa. Selama kamu tidak menemuinya, dia tidak akan menyakitimu.” Mereka berdua keluar dari kamar itu lalu berjalan menuju dapur. Di antara tembok keramik dapur, ada sebuah bagian yang berlapis besi. Ibunya mendorong papan besi itu. “Kamarmu di sini.” Terlihat sebuah ruangan yang cukup luas di sana. Seluruh temboknya adalah besi. Dibanding sebuah kamar, ruangan itu lebih seperti sebuah kurungan. Namun, tidak ada ruangan lain yang seaman ruangan ini untuk bersembunyi. Di ruangan itu sudah ada ranjang dan sebuah lemari kosong yang dipersiapkan ibunya sebelumnya. “Ibu akan memindahkan beberapa barangmu ke sini. Kamu tidak apa-apa, kan, tidur di sini?” Estelle mengangguk. “Iya, Bu.” Ibu meninggalkan Estelle sendirian di ruangan itu. Estelle mencoba berbaring di ranjang barunya. Untung saja, Estelle sudah cukup berpikir dewasa dibanding anak yang seumuran dengannya. Sehingga, ia sama sekali tidak merengek ataupun melawan. *** Estelle terbangun karena suara tembakan. Ia masih ingat semua pesan dari ibunya. Ia pun bangun dan segera membuka pintu kamarnya. Saat ia membuka pintu, terdengar suara yang ramai. Mulai dari suara pukulan, barang yang pecah, hingga suara pisau yang sedang diadu. Sedikit menakjubkan karena hanya suara tembakan itu yang berhasil masuk ke kamarnya. Suara tembakan itu terdengar lagi. Estelle yang masih kecil itu tersentak. Suara yang sebelumnya sudah pernah ia dengar itu terdengar semakin kencang. Tangannya tidak berhenti bergetar karena takut. Estelle melihat sekeliling. Banyak sekali orang berpakaian serba hitam di rumahnya. Namun, matanya terfokus di satu titik. Di sana ada ibunya yang sudah dijebak dalam sebuah lingkaran. Tepat saat itu, ibunya beradu mata dengannya. "Laㅡ" Sebelum ibunya menyelesaikan ucapannya, suara tembakan kembali terdengar. "ㅡri," lanjut ibunya lirih. Darah memenuhi lantai rumahnya. Ibunya sudah berbaring tidak berdaya dengan luka tembak di punggungnya. Estelle menutup mulut dengan kedua tangannyaㅡberusaha tidak berteriak. Ketika Estelle mulai berlari, suara tembakan semakin banyak terdengar. Ia pun lari secepat mungkin menuju basement. Estelle menghentikan langkahnya ketika ia menemukan sebuah cincin dengan batu hijau kecil. Ia pun mengambilnya lalu menaruhnya di saku celananya. "Nak." Estelle berhenti sebentar karena mendengar panggilan itu. Badannya sudah gemetaran. Ia bisa melihat pria dengan penutup mata di depannya. "Aku tahu kamu melihat semuanya. Kamu tahu bahwa aku yang membunuh Daniel. Kamu tahu bahwa aku pernah mengancam ayahmu. Kamu juga tahu bahwa aku membunuh ibumu." Estelle membeku. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Suara pukulan juga masih bergema meski ia berada cukup jauh dari sana. “Kamu adalah saksi kunci dari semuanya. Menurutmu, kamu bisa keluar hidup-hidup dari sini?” Tiba-tiba, pria itu mengeluarkan pisau dari sakunya. Saat Estelle hampir ditikam, salah satu bodyguard ayahnya berhasil melindunginya. "Nona, lari saja!" seru bodyguard itu. Pikiran Estelle sangat kacau. Ia tidak bisa berpikir jernih. Ia pun berlarian seperti orang gila menuju basement. Sedangkan bodyguard tadi menahan Chester. Basement di rumah Estelle sangat gelap. Suasananya pengap dan berbau apek. Ruangan itu seperti tidak pernah digunakan. Ruangan itu terhubung dengan bagian jalanan di hutan. Sehingga, ia bisa keluar dari sana. Setelah menyusuri ruang bawah tanah rumahnya, Estelle membuka pintunya yang sudah berkamuflase dengan tanah. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, ia memulai pelariannya di hutan. Bersembunyi di rumah di tengah hutan memang ada kelebihan dan kekurangannya. Rumahnya tidak berada di daerah perumahan–melainkan di tengah hutan. Sehingga, ia harus berjalan jauh hingga ke daerah yang ramai. Jika Chester tidak pernah mengetahui keberadaan rumah itu, pasti mereka semua dapat hidup bahagia. Beberapa kali Estelle terjatuh dan bangkit kembali. Semakin jauh ia berlari, semakin banyak air matanya yang jatuh. Ia bahkan tidak sekali pun menoleh ke belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD