10. Burglar

1432 Words
Pisau yang tiba-tiba datang itu berhasil melukai perut Estelle. Namun, pisau itu tidak berhasil menusuknya. “Siapa kau?” Estelle yang memang sudah terlatih bela diri pun langsung membalikkan pisaunya. Estelle menatap orang yang ada di depannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Yang bisa ia simpulkan hanyalah seorang pria berumur tiga puluhan yang memiliki banyak tato di lengannya. Pakaiannya hanyalah pakaian kasual–tidak seperti para bawahan Chester yang selalu memakai setelan. Dari senjata yang dipakai juga bukan seperti seseorang yang profesional. Estelle menendang perut pria itu hingga terjatuh. Setelah itu, Estelle menyatukan kedua tangan pria itu ke belakang. “Siapa kau?” tanya Estelle lagi. “Tolong lepaskan aku. Aku akan memberimu sebagian uang yang kucuri,” jawab pria itu. Estelle mengerutkan dahinya. “Sudah mencuri, masih mau menipu orang?” “Tidak, sungguh. Aku akan memberikanmu kartunya. Kartunya ada di saku celanaku.” Estelle sama sekali tidak tertarik dengan uang. Ia juga tidak mungkin melepaskan penjahat seperti pria itu. Pencuri itu pasti sudah merugikan banyak orang. “Aku akan melaporkan usaha suapmu juga,” kata Estelle. Pria itu menendang pisau yang ada di dekatnya dan mengarahkannya ke tangannya. Setelah berhasil menangkap pisaunya, pria itu bangkit secara tiba-tiba. Estelle tersentak dan genggamannya terlepas dari tangan pria itu. Saat hendak menyerang Estelle, serangannya berhasil dihindari. Estelle menendang tulang kering pria itu. Pria itu terjatuh lagi dan pisaunya berhasil direbut Estelle. Estelle melempar pisaunya jauh-jauh. Kemudian ia kembali menahan kedua tangan pria itu di belakang. Salah seorang tetangga di perumahan Estelle melihat kejadian itu. Estelle pun berteriak, “Tolong hubungi polisi!” Tetangganya yang kebingungan itu pun langsung menuruti perintah Estelle. Beberapa tetangga yang lain juga mendengar teriakannya. Sehingga, banyak yang keluar dari rumah. Selama menunggu polisi datang, beberapa pria di perumahan Estelle memegangi penjahat tadi. Sedangkan Estelle masuk ke rumah untuk menghentikan pendarahan pada perutnya. Untung saja tusukannya tidak sampai ke organ dalam. Bajunya yang sudah terkena banyak darah sudah ia taruh di ember cucian. Ia langsung merendamnya supaya darahnya tidak mengering. Jika sudah mengering, akan sangat sulit dibersihkan. “Sudah mengganggu saat aku bermain game, menyerangku pula,” oceh Estelle sambil memasang kain kasa. “Aku bisa membunuhnya jika aku mau.” Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan di pintu rumahnya lagi. Namun, kali ini polisi yang muncul dari sana. “Selamat malam. Bisa tolong jelaskan bagaimana awal mulanya?” tanya polisi itu. “Saya mendengar ada ketukan pintu. Saat saya membuka pintu, saya langsung ditusuk pisau. Kemudian, saya membela diri.” Estelle melirik penjahat itu yang sedang berdiri di dekatnya. “Begitulah kejadiannya.” Estelle tidak memberitahu mengenai usaha suap penjahat tadi. Sebagai sesama penjahat, Estelle ingin memberi keringanan padanya. “Pria itu adalah seorang buronan. Ia sudah merampok beberapa rumah sebelumnya. Terima kasih karena sudah melaporkannya,” kata polisi. “Bagaimana dengan lukanya? Apakah perlu ambulans?” Estelle menggeleng. “Pendarahannya sudah berhenti.” “Baik, selamat malam. Terima kasih atas kerja samanya.” Estelle mengangguk lalu menutup pintu rumahnya kembali. Sebenarnya, terasa aneh ketika Estelle menangkap seorang kriminal lalu menyerahkannya kepada polisi. Tidak ada yang tahu bahwa ia sendiri adalah seorang kriminal. Sekarang, ia malah berada di posisi korban. Perumahan Estelle memang sangat ideal bagi para perampok. Tidak ada kamera pengintai, jarak antar rumah agak berjauhan, dan banyak rumah mewah yang kedap suara. Ketiga hal itu juga menjadi alasan Estelle tinggal di sana. Rumah itu cocok sebagai tempat persembunyian. Estelle sengaja tidak menghabisi perampok tadi. Ia bisa saja menyerang balik dan bahkan membunuhnya. Tetapi, ia tahu itu tidak akan baik untuk ke depannya. Lebih baik, ia menyerahkannya kepada pihak yang lebih berwenang. Selama bukan bawahan Chester, Estelle tidak masalah. Estelle tidak akan melakukan kekerasan kepada orang yang tidak ada hubungan dengannya. *** Di sekeliling Estelle hanya ada tembok besi. Saat ia menoleh, ada sebuah kasur tipis di sudut ruangan. Estelle bisa mendengar suara tembakan yang berasal dari luar ruangan. Estelle membuka pintu besi yang ada di hadapannnya. Namun, saat ia buka, ada sebuah jeruji besi di sana. Ia masih terkurung di ruangan besi itu. Ia mencoba mendorong hingga menendangnya, tetapi tidak ada hasilnya. Suara besi yang nyaring membuat suara tembakan berhenti. Kemudian, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Tidak perlu menunggu lama, ruangan Estelle dikerumuni orang berpakaian hitam. Mereka semua mengarahkan pistol kepada Estelle. Estelle mundur dan segera menutup pintu besinya kembali. Peluru itu tidak bisa menembus tembok besi di sana. Selama ia berada di dalam ruangan, ia akan selamat. Semuanya tidak seindah yang ia bayangkan. Ketika Estelle berbalik badan, di hadapannya ada Chester yang sedang tersenyum memandangnya. Wajah ketakutan Estelle seperti sebuah hiburan baginya. Chester mengangkat pistolnya dan menempelkannya di dahi Estelle. Ujung pistol yang masih panas itu bisa Estelle rasakan dengan jelas. Estelle terbangun karena ponselnya yang sedari tadi bergetar. Napasnya masih memburu. Keringat dingin sudah memenuhi wajahnya. Mimpi ini lagi, batin Estelle. Semakin sering ia mendapat mimpi mengenai masa kecilnya, ia merasa ingatannya semakin memudar. Seakan-akan mimpi itu sudah memanipulasinya. Estelle meraih ponselnya yang sudah berhenti bergetar. Ia sangat berterima kasih dengan siapapun yang menghubunginya barusan. Jika tidak ada panggilan, ia tidak bisa terbangun dari mimpi buruknya. Juga, ia mungkin akan merasakan kematian di mimpinya. Estelle membuka riwayat panggilan di ponselnya. Setelah itu, ia menelepon kembali orang yang berada di riwayat paling atas. “Halo, Tuan Dan.” "07, kau belum menjalankan misi itu? Bukankah sudah tiga hari?" "Ya, rencananya aku akan melakukannya hari ini." "Hari ini adalah hari terakhir ia menginap di Hotel Eirst. Tolong segera lakukan misinya." “Baik. Aku akan berusaha.” "Akan berusaha? Apa terjadi sesuatu?" "Ya, ada sesuatu." "Ada apa? Katakanlah." "Aku akan ke ruangan Tuan setelah menyelesaikan misi. Aku ingin mengatakan sesuatu." "Baiklah. Jika ada kesulitan, minta bantuan Raven untuk menyelesaikan misimu." "Baik, Tuan Dan," jawab Estelle lalu mengakhiri teleponnya. Estelle mematung untuk beberapa saat. Rencananya, ia ingin berhenti dari pekerjaannya untuk sementara. Tetapi, ia tidak yakin akan diperbolehkan jika penyebabnya hanya karena mimpi buruk. Estelle memeriksa luka tusukan di perutnya. Terdapat sisa-sisa darah yang menempel pada perban. Ia melepas perban itu dan menggantinya dengan perban yang baru. Seperti biasa, Estelle menggunakan setelan jas lengkap. Karena sudah berpakaian rapi, Estelle menjadi semakin kecewa dengan dirinya. Ia terus bertanya-tanya kepada dirinya–di antara puluhan misi pembunuhan, kenapa dirinya gagal di misi kali ini? Kendaraan dan senjata untuk membunuh targetnya sudah siap sejak kemarin-kemarin. Tetapi, ia terus merasa takut. Rasanya, ia kembali ke dirinya tiga belas tahun yang lalu. Tangannya tremor hampir setiap saat. Kepalanya ingin meledak ketika membayangkan suara tembakan. Ia merasa tidak bisa lagi melakukan pekerjaannya. Estelle juga sudah berencana untuk membunuhnya dengan jarak yang dekat. Tetapi, targetnya terlihat seperti orang yang penting. Ia tidak ingin mengambil resiko. Pasti, orang seperti itu memiliki pengawal pribadi–di mana Estelle pasti akan kalah secara fisik. Selain itu, Estelle juga masih memiliki luka yang belum pulih. Menyerang dalam jarak dekat hanya membuat situasinya semakin buruk. Estelle memutuskan untuk mengikuti saran Tuan Dan. Ia akan meminta bantuan Dave. *** Estelle masuk ke mobil Dave dan duduk di kursi penumpang depan. Estelle sudah meminta Dave untuk menjemputnya di rumahnya. “Siapa targetmu?” tanya Dave. Estelle menyerahkan ponselnya yang sudah menampilkan foto dari targetnya kepada Dave. “Namanya Sandy. Dia sedang berada di Hotel Eirst. Ini hari terakhirnya, kita harus membunuhnya sebelum terlambat.” “Oke. Jadi, kamu akan mencobanya dulu?” tanya Dave. “Iya. Kalo aku gagal, kamu yang menembak,” jawab Estelle. “Apa ini karena Chester?” tanya Dave. Estelle mengangguk tanpa melihat ke arah Dave. “Aku tidak tahu jika keberadaannya sekuat ini.” “Ngomong-ngomong, Tuan Simon sudah kembali ke Indonesia. Apa kau sudah tahu?” Dave mengganti topik. “Ya, aku tidak sengaja menemuinya di markas kemarin. Ia juga memberiku hadiah,” jawab Estelle. “Hadiah apa lagi? Padahal kau tidak pernah memakai pakaian pemberiannya. Tetapi, ia masih berusaha.” “Hadiahnya sangat berbeda dari sebelum-sebelumnya. Ia memberiku Desert Eagle.” “Desert Eagle?” Mata Dave membulat. “Akhirnya ia sadar bahwa kau hanya menyukai perkelahian.” Estelle terkekeh. “Aku menghargai usahanya.” “Dia masih mengejarmu? Seperti dulu?” “Ya, aku rasa. Dia masih sering mengatakan kalimat yang menggelikan.” “Apa dia benar-benar menyukaimu?” “Jika aku ingat-ingat, dia tidak pernah bilang bahwa ia menyukaiku atau semacamnya. Tuan Simon lebih ke merayuku dan memberikanku banyak hadiah,” jelas Estelle. “Tujuannya juga tidak jelas. Aku tidak memahami dirinya.” Dave menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Agak aneh. Mungkin kau harus berhati-hati.” “Berhati-hati kenapa? Tuan Simon tampak baik.” Terlihat keraguan di raut wajah Dave. “Ya, tentu. Bagaimanapun, Tuan Simon adalah calon bos baru kita.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD