9. Desert Eagle

1288 Words
Estelle mengunjungi ruangan divisinya. Di sana tidak ada siapapun. Komputer milik Greg juga dalam keadaan mati. Ini adalah situasi yang jarang terjadi. Biasanya, Greg selalu duduk di depan komputer dari pagi hingga sore hari. Estelle keluar lagi dari ruang divisinya dan menaiki tangga menuju lantai dua. Lantai dua berisi kamar-kamar dari para anggota. Estelle berjalan hingga ke ujung koridor dan berdiri di ruangan nomor dua puluh empat. Ia mengetuk pintu itu tiga kali. “Siapa?” “07,” jawab Estelle. Tidak lama kemudian, pintu kamar Greg terbuka. Terlihat dirinya yang masih mengenakan piyama. “Kau sudah mengganggu tidurku sebanyak dua kali,” kata Greg kesal. “Salah sendiri tidak mengabariku mengenai Chester,” balas Estelle. “Ah, soal itu? Banyak sekali orang bernama Chester. Aku tidak mungkin memeriksanya satu-satu, kan?” Estelle melipat tangannya di depan d**a. “Kau bisa memeriksanya dari tahun kelahiran dan fotonya. Lalu, kau bisa menyaringnya lagi. Kau akan menemukan satu orang yang memenuhi ciri-cirinya.” “Sudah kubilang, ambil saja sidik jarinya. Itu cara paling mudah. Atau paling tidak, cari nama belakangnya,” jawab Greg malas. “Aneh juga. Kenapa kau menemukan nama depannya tapi tidak mendapatkan nama belakangnya?” Estelle mengembuskan napas dengan kasar karena pertanyaan Greg. Jika ia memberitahu apa yang terjadi, ia akan teringat lagi betapa takutnya ia berada di situasi itu. “Aku harus menemukannya sebelum ia menemukanku,” ucap Estelle. “Apa dia juga sedang mencarimu? Sebenarnya apa hubungan kalian berdua? Bukannya kau ingin membalas dendam padanya? Kenapa ia juga mencarimu?” Greg menyerbu Estelle dengan pertanyaan. Ia sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan Greg. Ceritanya sangat panjang dan rumit. Estelle merasa kesal dengan Greg. Temannya itu terus memberinya pertanyaan yang sensitif. “Ya, sudahlah. Silahkan beristirahat, Tuan Gregory,” jawab Estelle dengan senyum yang terpaksa. “Ya, semoga beruntung, Nona 07,” balas Greg. Estelle berjalan menuruni tangga di markasnya. Saat ia menoleh ke bawah, terlihat Tuan Robert dan Tuan Dan yang sedang berbicara. Dari raut wajah mereka, sepertinya mereka sedang membicarakan hal yang serius. “Operasi ini sudah diterapkan oleh banyak mafia. Di antara banyak kasus, hanya satu kasus yang berhasil terungkap.” Estelle tidak sengaja mendengar kalimat yang diucapkan Tuan Robert saat berjalan mendekati mereka. Estelle berbohong jika ia bilang bahwa ia tidak ingin tahu apa yang dibicarakan oleh kedua atasannya. Namun, ia bukanlah orang yang bermain curang demi kepuasan dirinya sendiri. “Tuan Robert, Tuan Dan,” sapa Estelle sambil membungkuk. Kedua orang yang disapa hanya menganggukan kepalanya lalu kembali berbincang. Saat Estelle sudah berjalan melewati mereka, mereka menatap punggung Estelle dengan tatapan ragu. Tuan Dan melirik Estelle dan berbisik kepada Tuan Robert. “Apa dia saja yang menjalaninya?” “Kita harus melihat perkembangannya lebih dahulu,” jawab Tuan Robert. Estelle keluar dari gedung markasnya. Setelah dirinya keluar, pintu markas tertutup rapat secara otomatis. Percakapan Tuan Robert dan Tuan Dan terputar di pikirannya. Ia sangat penasaran operasi apa yang mereka maksud. Klakson mobil dibunyikan dengan kencang. Siapa pun pasti menoleh ketika mendengarnya. Estelle reflek melihat mobil yang berhenti di depannya. Kaca pintu penumpang belakang terbuka. Tampak seorang pria muda yang menggunakan kacamata hitam–meski cuaca sedang mendung. “07, mau kuberi tumpangan?” tanyanya. “Tidak, terima kasih,” jawab Estelle singkat. Pria itu mendengus lalu membuka pintu mobilnya. Ia keluar dari sana sambil membawa suitcase hitam. Setelan jas yang ia pakai terlihat sangat mahal. Estelle bingung harus bereaksi apa. Ia ingin pulang ke rumah sekarang. Namun, pria yang ada di hadapannya adalah atasannya–tepatnya, underboss–calon bos barunya. Ia tidak mungkin meninggalkannya begitu saja. “Bagaimana kabarmu, 07?” tanya pria itu. “Melihat penampilanmu yang masih cantik seperti dulu, sepertinya kamu baik-baik saja.” Estelle membuang wajahnya ke langit. Ia sangat malas menghadapi atasannya yang satu ini. Pria itu adalah Simon Whitaker, anak dari Tuan Robert Whitaker. Simon baru saja kembali dari liburannya di luar negeri. Sejak dulu, Simon memang sering sekali merayu Estelle. Saat mendengar kabar bahwa ia berlibur ke luar negeri, Estelle merasa sangat lega. Namun, tidak ada yang tahu jika ia kembali ke Indonesia secepat ini. “Kabarku baik, seperti biasa. Bagaimana liburanmu, Tuan?” tanya Estelle. “Tentu saja menyenangkan. Namun, lebih menyenangkan jika pergi bersamamu,” jawab Simon. Estelle hanya mengangguki perkataan Simon. Ia tampak sudah lelah dengan semua ucapan cheesy dari atasannya. “Ah, aku hampir saja lupa,” ucap Simon lalu memerintahkan pengawalnya untuk membuka trunk mobilnya. Setelah terbuka, ia mengambil sebuah paper bag dan memberikannya kepada Estelle. “For my one and only princess.” Estelle menerima hadiah pemberian dari Simon sambil meringis. “Thank you, Sir.” “No, no. Don’t call me Sir. Call me tonight.” Simon mengedipkan sebelah matanya sambil menaruh tangannya di telinga menyerupai simbol telepon. Estelle menatap Simon dengan aneh. Tatapannya seperti menyiratkan: kenapa ada orang seperti ini di bumi? “Mulai besok, kita akan sering bertemu di markas. I’m looking forward to it. See you tomorrow, Princess!” seru Simon lalu kembali masuk ke dalam mobilnya. Estelle hanya menunduk–menghormati Simon sebagai atasannya. Setelah mobil Simon sudah keluar dari pagar, Estelle pun berjalan menuju garasi. Estelle masuk ke mobilnya lalu menaruh paper bag pemberian Simon di kursi sebelahnya. Ia menyalakan mesinnya lalu mengendarai mobil itu menuju rumahnya. Sebenarnya, Estelle sedikit berterima kasih dengan Simon. Pria itu berhasil mencairkan suasana tegang dalam dirinya. Setelah seharian menghadapi masalahnya yang sulit, Estelle menjadi lebih santai sekarang. *** Sesampainya di rumah, Estelle langsung membersihkan dirinya. Setelah itu, ia memakai baju rumah yang nyaman. Estelle berjalan ke ruang tengah rumahnya dan membuka paper bag pemberian Simon. Di dalam kantung itu terdapat sebuah kotak putih dengan pita besar. Estelle mengeluarkan kotak itu dan membukanya. Mata Estelle tampak berbinar. Ia menutup mulutnya dengan satu tangannya. Di dalam kotak itu terdapat sebuah pistol Desert Eagle berwarna perak. Di bawah pistol itu juga terdapat satu kotak berisi peluru. Di atas pistol itu terdapat sticky note yang bertuliskan: Untuk seorang perempuan yang lebih menyukai tembakan daripada seikat bunga –Simon W. Estelle sedikit tersenyum ketika membacanya. Sebelumnya, Simon pernah memberinya seikat bunga namun ditolak olehnya. Ternyata, pria itu tidak pernah menyerah. Awalnya, Estelle mengira Simon memberikannya barang biasa seperti gaun ataupun sepatu. Ia tidak menyangka jika pria itu memberikan sebuah pistol. Akhirnya, Simon menemukan apa yang disukai oleh Estelle setelah ditolak berkali-kali. Simon sudah sering memberikan hadiah kepada Estelle. Terutama jika ia bepergian ke luar negeri. Namun, baru kali ini Estelle mendapatkan hadiah yang mengejutkan seperti ini. Estelle menggenggam Desert Eagle pemberian Simon. Ia mencoba memperagakan posisi menembak. Ia mencoba menarik pelatuknya dan berhasil. Ia tentu bisa menariknya jika isi pistol itu kosong. Jika ada peluru, maka pelatuknya akan lebih berat. Saat hendak menyimpannya lagi, Estelle sadar akan sesuatu. Terukir angka 07 pada badan pistol itu. Entah kenapa, Estelle merasa tersentuh ketika melihatnya. Ukiran itu tidak terlalu kecil sehingga dapat dilihat dengan jelas. Ukiran itu juga tidak terlalu besar sehingga tidak menutupi design asli dari Desert Eagle. Estelle menyimpan kembali pistolnya ke dalam kotak dan paper bag. Setelah itu, ia menaruhnya di lemari bajunya. Estelle menyalakan komputernya lalu memainkan game online menembak. Sebagai penembak jitu, Estelle tahu bahwa permainan menembak sangatlah berbeda dengan kenyataan. Visual dari senjata api memang sudah sangat mirip dengan yang asli. Namun, cara untuk menembak sangatlah berbeda. Di permainan ini, Estelle dapat dengan mudah menembak musuh–bahkan menembak berturut-turut dalam satu menit. Hanya dengan satu klik pada mouse, ia bisa langsung melontarkan peluru. Pada kenyataannya, ia tidak bisa menarik pelatuk pistol sungguhan. Rasanya seperti salah satu ototnya menahannya supaya tidak melakukannya. Di tengah permainan, ada suara ketukan pintu rumahnya. Mau tidak mau, Estelle meninggalkan permainannya untuk membukakan pintu. Saat ia membuka pintu, ternyata bukan orang yang bertamu. Melainkan, sebuah pisau yang langsung menyerangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD