Hari Senin merupakan hari di mana rasa kemalasan melanda, karena hari Minggu gue nggak puas untuk malas-malasan apalagi orang seperti gue yang sudah terbiasa merasakan semua hari libur dan sekarang pagi-pagi sudah siap berangkat buat kerja. Yah, mau gimana lagi. Namanya juga hidup butuh banyak perubahan ke arah yang lebih baik.
Pagi dengan jalanan yang macet malah buat gue makin nyaman untuk tidur di bus, tapi seketika gue melotot dan bengong merangkai apa yang akan terjadi nanti di kantor. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari Mba Nandita tentang bos yang killer dan tidak berprikemanusiaan. Apa gue harus balik lagi ke rumah mumpung belum tanda tangan kontrak? Masa iya gue secupu itu sih?
Nggak berapa lama handphone gue berdering dengan nomor yang nggak gue kenal. Perlahan gue angkat.
“Hallo, Ayana,” sapa orang di seberang telepon. Sepertinya gue familiar dengan suara ini.
“Iya, maaf siapa yah?”
“Simpan nomor saya sekarang! Kamu di mana? Segera sampai kantor!”
Mati lah gue! Ternyata Pak Deon yang telepon. Gilingan, belum apa-apa udah dibentak nggak jelas gini.
“Ayana!”
“Eh-iya, Pak. Saya masih di jalan.”
“Cepat sampai kantor. Anak-anak udah mau jalan service.”
“Siap, Pak!”
Disuruh buru-buru sampai kantor? Dia pikir gue naik elang atau baling-baling bambu kali ya. Masa iya gue suruh supir bus buat nabrak-nabrakin mobil di depan supaya cepet sampai kantor.
Dasar Bos nyebelin!
***
Akhirnya gue sampai di kantor sepuluh menit lagi sebelum jam delapan. Kantor gue dimulai jam delapan pagi itu tandanya gue nggak telat dong, tapi … ketika gue menaiki tangga lantai dua, terdengar teriakan yang membuat nyali gue menciut untuk buka pintu.
Bermodalkan doa, perlahan gue membuka pintu tersebut bersamaan dengan lirikan sepasang mata Pak Dayat, Prams, dan Rey yang berdiri di depan meja Pak Deon. Pak Deon berdiri lalu melambaikan tangannya menandakan gue harus mendekati dia. Perlahan gue mendekati meja Pak Deon yang berseberangan sama meja gue.
“Kenapa kamu telat?”
Telat? Ini kurang sepuluh menit kali!
“Macet, Pak,” jawab gue nunduk yang nggak berani menatap mata tajamnya itu.
“Kenapa kamu nggak berangkat lebih pagi?”
Lebih pagi gimana maksud lo? Tengah malem gitu?
“Maaf, Pak. Saya masih baru jadi belum bisa memperkirakan waktunya.”
Pak Deon melempar pulpennya hingga terbentur ke gelasnya menghasilkan bunyi nyaring yang sukses membuat kami semua terdiam kelu. Demi apapun, gue sport jantung mendengar nada tinggi Pak Deon. Pantas saja Mba Nandita milih resign, bos modelan begini juga orang nggak kuat kerja bareng dia.
“Kamu tahu nggak kalau mereka mau service tapi tidak ada uang operasional?”
Gue menggeleng keras. Ya mana gue tau lah. Dikasih arahan aja belum, kemarin kan hanya disuruh rapihkan berkas doang. Udah gitu mana sendirian lagi sampai sore. Huft!
“Makanya kamu harus datang sebelum mereka berangkat service untuk berikan biaya operasional! Kamu ini kan pegang Petty Cash!”
Auah, kesel dengernya!
Gue cuma mengangguk mengiyakan dari pada membantah, nanti malah makin panjang urusannya.
Sekarang Pak Deon beralih menatap Pak Dayat, Prams, dan Rey yang masih menunduk.
“Saya tidak mau tahu lagi uang operasional harus cukup! Baru saya kasihkan kemarin Sabtu sudah habis aja. Tolong biaya kantor digunakan untuk yang darurat saja dong!”
“Tapi, Pak—” Pak Dayat memotong pembicaraan.
“APA? MAU CARI ALASAN LAGI KAMU?”
Pak Dayat Kembali diam, menunduk lesu, dan menggeleng lemah.
Melihat pemandangan seperti ini kayaknya hidup gue akan dipenuhi warna yang muram dan berkabung. Haaah,, selamat datang di kehidupan yang gelap gulita penuh murka dan elus d**a berkali-kali.
“Sudah, kembali kerja kalian!” Pak Deon membubarkan kami untuk duduk di bangku kantor masing-masing.
Baru aja gue balik badan dan maju satu langkah, Pak Deon kembali memanggil gue, “Sini dulu, Ayana!”
Perlahan gue duduk di bangku hadapannya. Pak Deon mengerutkan dahi kesal.
“Siapa suruh duduk di situ?”
Gue langsung berdiri.
“Sini kamu!”
Dengan canggung dan sport jantung yang parah, gue beranikan diri untuk berdiri di samping Pak Deon.
Pak Deon langsung membuka folder yang berjudul ‘tugas admin’ di laptopnya.
“Kamu lihat nih,”
Gue sedikit membungkuk agar melihat dengan jelas folder tersebut. Pak Deon mengubah posisinya dan memundurkan sedikit laptopnya untuk berdekatan dengan kami. Tapi bukan hanya laptop saja yang sekarang berdekatan, melainkan pipi gue dan pipi Pak Deon yang hampir aja bersentuhan membuat tulang-tulang gue jadi tegang.
“Ini untuk pengerjaan patty cash. Kamu sudah belajar akutansi kan? Golongkan biaya-biaya yang sesuai. Biaya bensin masukan ke operasional, ini masuk ke biaya perawatan. Pokoknya kamu udah ngerti pastilah. Ini mudah kok.”
Ya mudah buat elo, untuk gue yang baru tetap aja masih kurang ngerti kali.
“Kalau ini folder untuk lemburan anak-anak. Bla bla bla.” Pak Deon menjelaskan semuanya sampai gue nggak bisa merekam semua penjelasan yang tiba-tiba buyar gitu aja.
“Ngerti?” katanya sekarang mengakhiri penjelasannya dengan melirik gue yang hanya berjarak sejengkal. Harum mulutnya pun sampai terasa buat gue mabuk kepayang dan jadi nggak inget apa yang dia jelaskan dari awal.
Gue cuma mengangguk kaku.
“Bagus! Semua folder ini saya sharing ke komputer kamu. Sekarang kamu kerjakan berkas-berkas ini dan input ke folder yang sudah saya jelaskan. Jika sudah, saya akan ajarkan kamu menggunakan CMS kantor.”
Gue kembali berdiri dan menjawab, “Siap, Pak.”
Setelah itu gue kembali ke meja gue. Demi apapun, ternyata duduk di sini benar-benar berhadapan dengan Pak Deon. Nggak bisa menutupi dengan komputer karena posisi komputernya di sebelah kanan gue bukan di tengah.
Setelah gue duduk, Pak Dayat menghampiri gue. “Mbak, saya sama anak-anak jalan dulu service ke PT. Mahabaratin ya.”
“Oke, Pak.”
“Maaf, Mbak, untuk uang operasionalnya.”
Deg! Gue bingung dong. Sedangkan Pak Deon pura-pura nggak dengar.
“Sebentar ya, Pak,” kata gue ke Pak Dayat yang dijawab dengan anggukan kepalanya, lalu Pak Dayat duduk di kursinya menunggu gue.
Perlahan gue mendekati Pak Deon lagi.
“Maaf, Pak. Pak Dayat mau service untuk biaya operasionalnya seperti apa ya, Pak?”
“Oh, ya,” Pak Deon membuka tasnya lalu mengambil kartu dan buku tabungan.
“Semua ada di sini, kamu lihat folder untuk mengetahui biaya yang di transfer ke mekanik.”
“Baik, Pak. Terima kasih.”
“Ya,” katanya singkat padat dan jelas tanpa melihat gue sekalipun.
Nggak berapa lama gue transfer sejumlah uang untuk keperluan operasional ke Pak Dayat dan menghampiri Pak Dayat sekaligus meminta nomor handphone sebelum mereka berangkat. Kini tinggal lah gue berdua dengan Pak Deon di kantor. Rasanya gue pengen setel lagu metal keras-keras biar setres keluar tapi itu nggak mungkin. Jangankan setel lagu, nyanyi di dalam hati aja gue ngeri.
Dengan segala keribetan yang ada, akhirnya gue bisa input semua berkas dan selesai tepat pada jam makan siang. Dari tadi Pak Deon nggak banyak manggil gue, dia sibuk telepon sepertinya dengan kolega dan kantor pusat karena membicarakan masalah kantor dan tawaran-tawaran sewa kendaraan.
Jam dua belas tepat, cacing-cacing di perut gue mulai berteriak minta diisi makanan. Tapi, gue mana tau tempat makan di sini yang enak karena sepanjang mata memandang, semua kebanyakan PT dan pabrik gitu. Pelajaran banget buat gue, besok kayaknya harus bawa bekal. Jadi untuk saat ini lebih baik pesan makanan online, tapi kalau makan sendiri kayaknya sungkan juga sama Pak Bos. Hmm…
Gue memberanikan diri menghampirinya yang masih sibuk berkutat dengan handphone, “Pak, Maaf. Ini sudah jam makan siang.”
“Ya.”
“Saya mau pesan makanan lewat online, bapak mau pesan juga?”
Pak Deon melirik gue dan berpikir sebentar, “Tidak usah.”
“Oke, Pak. Baik,” gue kembali duduk di tempat dan langsung mencari makanan yang murah di sekitar kantor.
Nggak berapa lama Pak Dayat kembali ke kantor tanpa Prams dan Rey.
“Ayana.” Pak Deon memanggil hingga menghentikan kegiatan gue.
“Ikut saya saja makan siang di luar.”
Hah? Nggak salah nih gue denger?
“Kantor ada Pak Dayat biar dia saja yang jaga,” katanya sambil berdiri lalu memasukan handphone-nya.
Gue pada posisi ini canggung banget asli. Mau menolak tapi kan enggak enak. Dengan bermodalkan doa, gue mengekori Pak Deon hingga masuk ke mobil. Jujur gue nggak tahu dia mau bawa gue ke mana karena nggak berani nanya, pun Pak Deon juga nggak bicara di sepanjang perjalanan.
Nggak jauh dari kantor akhirnya kami berhenti di fast food terkenal. Pak Deon menyuruh gue untuk turun dan mengekorinya.
“Nih, terserah beli yang mana aja,” Pak Deon memberikan dua lembar uang seratus ribu.
“Saya tunggu di sana,” katanya setelah gue menerima uang itu dan Pak Deon menunjuk dengan dagunya duduk di dekat jendela.
Nggak berapa lama gue membawa dua paket ayam + minum dengan kentang goreng.
“Ayo makan,” katanya sambil beranjak ke wastafel untuk cuci tangan lalu kembali duduk dan memakannya.
Gue masih canggung dengan keadaan seperti ini karena dari awal kenal pun, bos gue killer mirip seperti Pak Jiemi. Duh! Ngomong-ngomong masalah Pak Jiemi, gue belum belajar lagi!
“Kenapa kamu diem saja? Jam istirahat nggak lama lho.”
Gue langsung beranjak ke wastafel setelah itu duduk dengan nyaman meski berhadapan dengannya tapi gue berusaha untuk santai menyantap makanan itu.
Setelah kami menyantap dengan khidmat, dia menatap gue dan bertanya, “Kamu berangkat naik apa?”
“Bus, Pak. Motor tinggal di penginapan motor,” jawab gue pelan. Dia mengangguk.
“Kamu kerja yang benar. Berangkat lebih pagi karena Bekasi ke Cikarang itu selalu macet.”
Gue mengangguk patuh.
“Usahakan sampai kantor maksimal tiga puluh menit. Karena mekanik lebih sering berangkat jam delapan pagi.”
Gue mengangguk lagi.
Disela percakapan kami, handphone Pak Deon bergetar. Dia mengangkat dan menjawab dengan panggilan ‘Hallo’
Gue yang gabut, mengotak-atik handphone yang dari pagi belum gue jamah dan betapa shock-nya gue melihat satu panggilan video tak terjawab dari Pak Jiemi sepuluh menit yang lalu. Tanpa mikir gue langsung video call balik dan langsung menggunakan headset.
“Ya.”
“Maaf, Pak, saya baru makan siang dari istirahat jam kantor.”
Mendengar gue manggil Pak dengan formal, Pak Deon melirik gue curiga. Gue cuma bisa memberikan kode dengan senyum tiga jari ke Pak Deon.
“Oke, saya hanya kasih kamu pertanyaan yang paling mudah.”
Syukur lah. Mungkin ini keuntungan jadi orang dodol, jadi di kasih pertanyaan yang mudah dari lima pertanyaan yang dia berikan.
“Jelaskan tanggapan kamu mengenai Tax Treaty.”
Degg!
Semudah-mudahnya kuis tetap aja gue kurang paham. Sialaaan tiba-tiba otak hang.
“Ayana, yuk! Sebentar lagi jam kantor.” Pak Deon membuyarkan semua kerumitan yang ada lalu berdiri meraih handphone dan kunci mobil.
Gue bingung dengan kondisi ini. Salah lo Ayanaaa,, kenapa harus kerja di saat skripsi dan kuliah belum selesai.
Gue melirik Pak Deon yang tiba-tiba berdiri di samping gue lalu membungkuk ikut masuk ke dalam frame Video Call gue bersama Pak Jiemi. Mereka saling diam dan menatap satu sama lain.
Rasanya gue ingin lompat di atas jembatan aja saat ini juga!! Boleh nggak sih!!!