Datang Tak Dijemput, Pulang Tak Diantar

2630 Words
Perlahan tapi pasti, gue langsung buka pintu mobil Pak Jiemi dan duduk dengan nyaman, disusul dengan Pak Jiemi buka pintu di sebelah gue dan ikutan duduk. Gue bingung dong kenapa dia malah duduk di samping gue. Nggak berapa lama dia menoleh ke arah gue yang canggung, “Kamu mau manggil jasa supir atau duduk di depan? Saya itu bukan supir kamu.” Gue nyengir nggak jelas. Pernyataan ketus terselubung yang mengartikan, ‘Lo pikir gue supir lo!’ “Maaf, Pak. Saya nggak enak duduk di depan.” “Kalau nggak enak, kamu bisa bayar saya dengan temani saya makan,” katanya sambil keluar dan pindah ke kursi kemudi. Gue melongo nggak jelas. Nggak paham deh maksud dia apa, tapi gue buru-buru pindah ke depan juga. Setelah menggunakan seat belt, gue langsung kasih penawaran ke dia, “Kalau saya bayar pakai uang aja gimana, Pak?” tanya gue sesopan mungkin. Pak Jiemi sibuk memundurkan mobil sambil melihat dashcam, namun sepertinya tidak terlalu jelas. Hingga dia perlahan menopang tangan kirinya ke jok kursi gue, wajahnya menghadap gue lalu menoleh ke belakang. Aroma parfum Pak Jiemi kembali menguar, gue malah jadi degdegan. Setelah mobilnya berhasil mundur, masih pada posisinya Pak Jiemi menatap gue sambil bilang, “Ide bagus kalau kamu bayarin saya makan,” lalu kembali ke posisi mengemudi dan melaju. Degdegan gue langsung berubah drastis jadi bingung. Gawat nih kalau minta yang mahal-mahal karena uang gue nggak cukup. Tapi masa iya gue ngomong gitu, malu dong gue. Ah, ya sudah lah, mau nggak mau gue terpaksa pakai uang tabungan. Hitung-hitung ‘nyogok’ Pak Jiemi biar gue dapat nilai A. Amin. “Oke deh, Pak,” jawab gue rela nggak rela. Suasana mendung sunyi syahdu dengan lagu Boyce Avenue yang diputar Pak Jiemi jadi buat suasana makin tambah kayak jangkrik. Baru kali ini gue berdekatan di luar kampus sama Pak Jiemi malah diantar pulang pula. Sebelumnya boro-boro di luar, ketemu di lingkungan kampus aja nggak pernah hanya di kelas saja. “Kamu ada acara hari ini?” katanya mencairkan suasana di jalanan yang mulai macet. “Nggak sih, Pak,” jawab gue bohong padahal gue ada janji sama Oly. Sepersekian detik kemudian gue nyesel bohong, andai saja gue jujur mungkin langsung diajak pulang dan uang gue pun aman. Pak Jiemi mengangguk, “Baik kalau gitu, saya bisa leluasa pilih tempat makan di mana pun,” Pak Jiemi melirik gue disertai senyum tipisnya. Tuhkan! Sumpah nih dosen bikin gue kesel. Eh tapi, bisa juga dia senyum. Selama ini ke mana aja senyumnya! “Asal Bapak nggak nyulik saya aja dan pulangin saya baik-baik.” Pak Jiemi tertawa kecil, sukses menghilangkan pikiran gue kalau dia dosen ketus bin killer. “Agak rugi juga saya nyulik kamu. Bisa-bisa saya sakit kepala tiap hari ketemu kamu yang nggak ngerti matkul saya.” Gue kembali melirik sebal karena sifat nyebelinnya kembali. Sabar. Jangan maki dan ngomel di situasi yang membahayakan seperti ini. “Betul tuh, Pak. Rugi banget nyulik saya yang bego ini,” jawab gue membegokan diri. Pak Jiemi mengangguk seperti tanda setuju. Sialan. “Tapi saya penasaran, kenapa kamu suka menghindar matkul saya?” Gue mikir sejenak, pertanyaan jebakan nih kayaknya. “Karena saya nggak suka.” “Apanya?” “Saya nggak suka sama perpajakan, Pak.” “Kenapa kamu kuliah di situ?” “Itu karena Mama saya yang nyuruh biar kerja dapat duit banyak.” Pak Jiemi menggeleng kepalanya, “Kamu nggak punya pendirian ya, masa pilihan hidupmu diatur orang tua?” “Ih, maksudnya nggak gitu lah, Pak. Namanya juga anak muda yang berbakti.” “Berbakti tapi kalau nilai kamu menurun gini, ya percuma juga kan. Yang ada kamu nggak akan bisa masuk di perusahaan bonafit.” “Iya sih, tapi nasi udah jadi bubur, Pak. Saya akan berusaha maksimal mungkin.” “Benar. Tercebur lumpur sudah terlanjur kotor. Bagaimanapun kamu harus bisa menikmati ritme kehidupan kamu.” Gue mengangguk, “Bantu saya untuk dapet nilai A ya, Pak.” “Boleh. Kalau gitu saya langsung tanya sekarang kuis yang saya beri di grup. Kamu bisa jawab, saya pertimbangkan untuk menaikan nilai kamu.” Deg! Gue belum belajar sama sekali karena dari kemarin fokus ke skripsi. “Ngg … nggak gitu, Pak. Maksud saya tuh---” “Ngebantuin lewat jalur membenarkan yang salah?” Gue malah ketawa nyengir. “Dalam hidup ini, kalau kamu memilih jalan yang salah sampai kapan pun kamu dihantui rasa bersalah, Ayana. Hidup harus kita lalui apapun itu rasanya … mau pahit, asam, manis, dan berbagai rasa lainnya, semua harus kamu lewati dengan perjuangan yang jujur. Jangan lupa, lewati hidup dengan tersenyum agar terasa lebih ringan.” “Tapi kenapa Bapak nggak pernah senyum?” Ups! Bego banget lo Ayanaaaa.. Kenapa nanya yang nggak formal gini! “Kamu mau lihat senyum saya?” Hah? Gue memicingkan mata tanpa ingin menatapnya. Bisa receh juga nih Bapak. Jalanan masih macet, menguntungkan Pak Jiemi buat menatap gue. Gue malah grogi sambil meliriknya. Nggak berapa lama dia tersenyum. Ampun, hamba kena radiasi!! “Gimana? Kamu udah lihat kan senyuman saya.” “He-eh. Iya,” mengakhiri persoalan senyum-senyuman biar nggak berlanjut nanti bisa salah tingkah gue. “Lanjut yang tadi ya. Hidup itu mengatasi masalah dengan solusi yang baik, bukan menghindari masalah tanpa solusi. Kamu mau hidup bahagia? Maka lakukan di jalan yang benar.” “Iya, Pak. Saya akan kerja keras untuk mendapatkan nilai sempurna agar bisa lulus.” “Bagus. Mulai besok pastikan kamu duduk paling depan kalau perlu di depan meja saya.” “Kenapa gitu, Pak?” “Karena kamu aja yang ditinggal teman-temanmu wisuda. Biar fokus sama apa yang saya ajarkan.” “Pantesan, saya doang yang bimbingan hari ini ke bapak. Ternyata saya yang paling bego ya, Pak.” “Kamu jangan kepedean dong, Ayana.” “Hehe. Nggak kok, Pak. Masa saya pede kalau bego.” “Siapa tahu kamu bangga sama pencapaianmu itu.” Telak! Gue cengengesan aja deh. Daripada ribet urusannya. Say something, I'm giving up on you I'll be the one, if you want me to Anywhere, I would've followed you Say something, I'm giving up on you Lagunya menemani mendung yang berubah menjadi rintikan hujan, seperti memandu sendu untuk hadir ditengah-tengah gue dan Pak Jiemi. Suasana memaksa untuk galau meski nggak ngerti apa yang digalauin. Apa harus berkabung karena gue belum wisuda? Hmm ... Gimana ya biar nggak sendu-sendu banget kayak pasangan yang lagi berantem? “Bapak suka Boyce Avenue yah? Kayaknya udah seratus album diputer nih.” “Ya, bisa buat saya lebih tenang saja. Suaranya sopan untuk masuk ke telinga saya.” Gue mengangguk, “Asal jangan galau mikirin pasangan aja, Pak.” usil gue bercanda. Serius bercanda doang biar mencairkan suasana. “Bisa aja kamu. By the way, maaf ya atas persoalan tadi, kamu jadi terlibat.” “Nyantai, Pak. Jomblo mah bebas.” “Apa hubungannya sama status kamu?” Telak. Gue bingung sendiri. Kenapa ya. “Ya, pokoknya gitu deh, Pak.” “Maksud kamu, kamu baik-baik saja kalau dikira pacar saya karena nggak ada hati yang dijaga?” Hah?! Gilingan! Pede juga si Bapak. “Ya, gitu maksud saya Pak,” respon gue tetep sopan padahal pengen gue teriakin nih laki. “Sudah berapa lama?” “Apanya, Pak?” “Sendiri.” Gue mikir sejenak. Bukan mikir kapan terakhir kali gue punya cowok, tapi mikir kenapa si Bapak bisa bertanya seperti itu. “Nggak hitungin,, Pak. Karena saya enjoy aja sama kehidupan saya. Nggak terobsesi punya pacar.” “Oh, oke.” “Boleh saya gantian tanya, Pak?” gue melirik dia yang lagi mengelus-elus dagu sambil menatap jalan. “Apa tuh?” “Tadi itu siapa, Pak? Kok kayak ada perang dingin gitu?” Pak Jiemi terdiam. Gue jadi nggak enak. “Maaf kalau pertanyaan saya salah, Pak.” “Nggak ada yang salah, hanya situasi saja yang kurang tepat.” Pak Jiemi menghela napas, sepertinya dia lagi berpikir. Nggak berapa lama dia membelokan mobil ke sebuah restoran jepang yang mewah. Gue menelan saliva. Mampus dah. Bakalan rugi besar nih gue! “Pak, nggak mau makan di pinggir jalan gitu biar lebih—” “Romantis karena ditemani hujan?” “Bukan, Pak. Maksud saya tuh—” “Saya kasian sama kamu nanti sakit, jadi alasan buat absen di matkul saya.” Pak Jiemi keluar lalu memutar ke posisi pintu sebelah gue, dia membuka pintu mobil dan persilahkan gue turun. Kaki gue tiba-tiba terasa berat karena membayangkan detik-detik uang gue ludes. Setelah masuk ke restoran, gue duduk berhadapan dengan dia, agak canggung tapi lebih canggung lagi kalau gue duduk bersebelahan sama Pak Jiemi. “Kamu mau pesen apa?” “Air jeruk aja, Pak.” Pak Jiemi melirik gue sambil tertawa kecil. Gue ikut tertawa sambil mengangguk. “Kamu terakhir makan kapan?” “Tadi pagi, Pak.” “Sekarang pagi atau siang?” “Siang sih, Pak.” “Makan harus berapa kali sehari?” “Tiga, Pak. Pagi, siang, dan sore.” “Berarti sekarang masuk makan siang dong.” Gue nyengir lagi. Telak banget ngomong sama dosen. Kalah mulu gue. Pasrah deh. Gue iyain aja lah maunya dia apa. “Jadi kamu mau pesan apa?” “Kangkung aja, Pak. Saya lagi diet.” Pak Jiemi menatap gue nggak percaya. “Seriusan kamu diet? Kenapa wanita selalu insecure sama diri sendiri padahal kenyataannya tidak begitu?” Gue nyerah, “Yaudah, Pak. Terserah bapak aja deh pilihin buat saya.” “Good girl. Agak bingung juga saya restoran jepang tapi milih kangkung.” Aduh! Ayana.. Lo malu-maluin banget.. Pak Jiemi melambaikan tangan ke pelayan. Nggak berapa lama pelayan tersebut menghampiri. “Ginza sushi set dua, spicy chicken karage, chicken gyoza, katsudon. Minumnya peach mojito dan air mineral dua.” Dengan sigap pelayan tersebut menekan tombol di tab yang dia bawa lalu memastikan pesanan sekali lagi. Sedangkan gue jangan ditanya, nggak tau harus bayar pakai apa kalau uangnya kurang. “Kamu kebanyakan bengong atau terkesima?” Hah? Siapa yang terkesima! Gue lagi melongo karena pesenan lu banyak amat. “Nggak kok, Pak. Hehe.” cuma itu yang bisa gue respon. “Oh iya, obrolan kita sempat terpotong tadi ya.” Gue mengangguk berat, pasalnya gue lagi mikirin biaya makan nanti habis berapa. “Ada hal dalam hidup ini yang nggak pernah berjalan mulus meski kita sudah menata rapi perjalanan hidup kita seperti apa yang mau kita lalui. Tapi, yah, namanya juga hidup yang selalu berdampingan pada manusia lainnya, pasti ada yang namanya dikecewakan. Karena kita tidak pernah bisa memaksa seseorang untuk berjalan bersama di rute yang tepat kan. Dan seseorang yang kamu lihat tadi merupakan penghambat perjalanan hidup saya bersama seseorang ke tempat yang dituju. Terpaksa saya harus memutar arah mencari rute yang lain. Sendirian.” “Sendirian?” cuma itu yang bisa gue tangkep, kayaknya otak gue bolot banget. “Maksudnya yang tadi itu penghambat percintaan Pak Jiemi?” Ih, kok aneh banget sih ngomongin cinta-cintaan sama dosen super nyebelin ini. Pak Jiemi mengangkat kedua tangannya ke meja lalu menopang dagunya sambil memutar bola matanya. Aduh, mengerikan sekali pemandangan ini. Pemandangan seperti gue nonton drama korea. Mengerikan dong, ingin mandang terus tapi nggak enak kalau mandangnya kelamaan. “Kamu percaya nggak kalau saya duda?” HAAAH?!! Mata gue melotot sempurna. Masa cowok kayak Pak Jiemi duda sih? Bego banget tuh cewek. Gue menggeleng keras, “Bukannya bapak masih muda yah?” Sekilas Pak Jiemi tersenyum, “Saya nikah seumuran kamu sepertinya. Kamu berapa umurnya? Dua tiga yah? Saya kalau sudah suka sama seseorang, satu untuk selamanya. Tapi kalau wanita itu selingkuh, saya bisa maafkan tapi tidak akan mencari alasan untuk membenarkan yang salah untuk menjalin hubungan kembali. Itu prinsip saya meski saya berat meninggalkannya.” Gue menggeleng tidak percaya. Daebak nih dosen. “Jadi, bapak diselingkuhi sama mantan istri bapak dong?” “Ada dua prinsip yang harus saya cut dalam menjalin hubungan dengan seseorang. Selingkuh dan kekerasan, karena dua hal itu dilakukan dengan sadar. Susah diatur masih saya pertimbangkan.” “Apa laki-laki yang tadi selingkuhan istri bapak?” “Mantan istri,” Pak Jiemi tersenyum. “Waah, gila ... Kok bisa kebetulan gitu ya,” gue tenggelam dalam ceritanya yang fantastis. Pasalnya nggak ada yang tahu kalau Pak Jiemi itu duda. Percakapan kami terpotong karena pesanan sudah datang. Kami menikmati dengan khidmat. Terlebih gue yang terus-terusan sambil doa agar uangnya cukup buat bayar semua makanan ini. “Saya kira kamu beneran diet.” Tersadar. Gue menghentikan kegiatan makan. Selera gue tiba-tiba hilang. “Ini suapan terakhir, Pak,” jawab gue bete. “Saya bercanda. Silahkan dilanjut lagi.” Bercandanya cowok itu nggak banget ya, bercanda kayak lagi ngomong serius. Eh tapi asli deh, bisa juga nih Pak Jiemi bercanda, biasanya tuh ngomel-ngomel nggak jelas. “Udah kok, Pak. Emang udah niat ini suapan terakhir.” “Oke kalau gitu. Berarti sudah nih ya.” “Iya, Pak.” gue langsung manggil pelayan. “Tolong bill-nya ya.” Semoga masih bisa gue bayar. Nggak berapa lama pelayan membawa bill. Baru saja ingin meraihnya, Pak Jiemi langsung memberikan kartu pada pelayan. Gue melongo. “Pak, bukannya saya yang bayar?” “Ya, kapan-kapan saja. Hari ini saya traktir.” Seulas senyum yang lega banget akhirnya keluar. Tau gitu gue makan dengan nikmat deh. “Wah, makasih banyak ya, Pak. Makasih banyak. Udah mau antar saya pulang, traktir saya pula.” “Sebagai permintaan maaf saya karena melibatkan kamu tadi.” Gue mengangguk. Padahal menurut gue itu bukan suatu persoalan yang serius. “Karena laki-laki tadi sudah melihat kamu, jika sewaktu saya butuh bantuan, kamu bisa?” Tanpa pikir panjang karena hari ini Pak Jiemi udah baik banget sama gue, gue langsung mengangguk setuju. “Thank you,” katanya sambil beranjak keluar setelah kartunya dikembalikan pelayan. Waktu sudah mulai sore, jalanan masih saja padat merayap dan tetap ditemani Boyce avenue. Sepertinya ini lagu kesukaan Pak Jiemi banget. “Oh iya, Pak. Emang bapak rumahnya di mana?” “Kenapa? Kamu mau mampir?” “Nggak kok, Pak. Takut bapak kejauhan aja anter saya.” “Nggak ada seseorang yang nunggu saya ini kok.” “Anak bapak?” “Belum ada. Kamu mau jadi anak angkat saya?” Gue melirik aneh. “Ya nggak mungkin lah, Pak. Umur saya sama bapak aja kayaknya nggak beda jauh. Bapak dua enam ya? berarti adik kakak-an tau.” “Kamu tau banget saya yah. Apa mau jadi adik saya?” “Ih, si bapak mah. Ada-ada aja deh.” Pak Jiemi tersenyum. “Kalau gitu, di luar kampus bisa kan jangan manggil bapak. Kesannya saya tua banget.” Waduh. Ada-ada aja nih permintaanya! “Nggak janji ya, Pak. Eh. Soalnya udah biasa manggil Pak.” “Oke.” Sehabis itu kita berdua diam dan sunyi senyap. Hanya pertanyaan arah rumah gue dan arahan dari gue aja. Selebihnya kita berdua sibuk sama pikiran masing-masing dan sesekali buka handphone cek i********:, w******p, f*******: dan twitter walau nggak ada sama sekali notif bahkan dari Oly juga nggak ada. Lupa kali kalau janjian sama gue, tapi kalau udah sore gini juga males pergi karena besok udah masuk kerja. “Nah, itu depan sedikit rumah saya, pager hitam yang catnya warna putih.” Tak berapa lama Pak Jiemi menghentikan mobilnya di depan rumah gue. “Makasih banyak untuk semua ya, Pak.” Pak Jiemi mengangguk. “Kembali kasih Ayana, jangan lupa tugas dan skripsi dikerjakan ya. Dan satu hal lagi.” “Apa itu, Pak?” “Jangan kebanyakan bengong.” Gue cengengesan. “Siap, Pak.” “Oke, saya pamit dulu ya. Bye.” Kaca mobil tertutup bersamaan dengan bunyi klaksonnya. Pak Jiemi memutar mobil dan melaju semakin menjauh dari rumah gue. Gue bernapas lega… Akhirnya perjalanan hari ini berakhir juga. Akhirnya uang gue selamat masih rapi tersimpan di dompet. Lumayan buat ongkos besok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD