Pria Masa Lalu

744 Words
Bahagianya .... Allah sangat baik. Meski tadinya aku berbuat curang memasukkan obat perangsang, bukan kah suatu kejadian tak akan terjadi tanpa izin Allah? Dan sekarang Dia mengirim hadiah terbaik untuk menyatukan aku dan Gus Bed. Kehadiran bayi ini pasti mampu merobohkan pagar yang Gus bangun antara kami. Kutunjukkan dua garis yang masih terlihat samar pada Ning Aishwa dan Liana. Kakak iparku tentu saja senang, tapi ... tidak dengan Liana. Wajah perempuan itu syok! Dia melangkah pergi begitu saja tanpa mengucap apa-apa padaku. Bahkan sekadar ucapan selamat. "Wah, kenapa Liana seperti itu sikapnya? Bukannya dia harusnya kasih doa dan selamat?" Ning Aishwa mempertanyakan sikap Liana. "Ehm. Biar saja Mbak, mungkin Liana belum bisa terima. Wajar saja kan. Dia pasti menyimpan cemburu," ucapku. Yah, dari dulu aku biasa bicara blak-blakan pada puteri kiai ini. Seperti halnya aku yang sangat cemburu pada Liana, pasti dia juga cemburu padaku. Meski kenyataannya hampir 100 persen cinta dan perhatian Gus Bed terarah pada Liana. "Oya, Ubed harus segera diberitahu ini. Umi, Abah. Semua pasti senang mendengarnya!" Ning Aishwa berseru senang. "Em, afwan Ning. Eh, Mbak. Biar saya saja yang bilang ke Gus. Untuk umi dan abah yai, juga sebaiknya biar Gus langsung yang bilang." "Wah ... padahal, aku sudah ndak sabar lho kasih kabar gembira sama mereka. Apalagi kalo nanti anaknya laki-laki. Hemmm senengnya mbak, Dek." "Enjeh. Afwan." Jika nanti tahu, apa Gus mau menerimanya? Sedang dia sendiri tak sadar melakukannya malam itu. Apa dia akan marah atau diam saja? Aku jadi khawatir sekarang. Sekarang tugasku adalah mencari waktu dan cara terbaik untuk mengatakannya pada Gus. Agar kehadiran bayi dalam kandunganku bisa ia terima. Atau ... sebaiknya aku tunggu saja sampai ketahuan jenis kelaminnya. Karena kata Ning Aishwa keluarga ini sedang menunggu seorang putera. Dengan begitu, Gus pasti akan sangat senang dan menerima bayi kami dengan ridha. _________ Aku tengah pulang sebentar ke rumah di jam istirahat mengajar di asrama puteri. Baru saja selesai sholat dzuhur, seseorang mengetuk pintu keras sekali. Ada apa sebenarnya? Ini kali pertama seseorang meninggalkan adabnya bertamu di rumahku. Begitu pintu dibuka, seorang santriwati dengan napas tersengal berdiri di depanku. "Assalamualaikum. Afwan Ustazah ...." Pundak gadis itu naik turun. "Waalaikumsalam. Ada apa Mbak?" Perasaanku langsung tak enak melihat sikapnya "Saya sudah ke asrama tadi tapi mereka bilang Ustazah sudah pulang." d**a santriwati tersebut masih naik turun. Ia sangat kelelahan sepertinya setelah mencari-cariku. "Ya?" "Itu, Ustazah. Gus dan Uminya Alhesa kecelakaan." "Innalillahi wa inna ilahi rojiun!" Aku terkejut setengah mati. Akhirnya aku buru-buru masuk masuk dan berganti pakaian. Untuk kemudian pergi ke rumah Abah. Semua orang pasti sudah menungguku di sana. Kami akhirnya berangkat bersama naik mobil. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi? Hanya bisa menangis saja atas musibah yang menimp Gus dan istri pertamanya. Namun, mendengar percakapan dari Abah, Gus katanya mengalami kecelakaan tunggal. Aku turut bertanya-tanya, dan menebak-nebak. Tapi bukankah itu tak ada gunanya. Yang terpenting sekarang, nyawa dua orang itu terselamatkan. Terutama Gus Bed, dia harus tahu bahwa aku tengah mengandung anaknya. Harusnya ini akan jadi kabar menggembirakan. Sampai di rumah sakit kami langsung menuju ICU di mana Gus dan Liana diberi tindakan. Lagi-lagi aku harus terkejut, pria dengan luka bakar Pemiliki Toko Amanah itu ada di antara para penunggu. Ada kakak Liana, Omnya yang seorang dosen dan aku mengenalnya dengan baik karena kami beberapa kali bertemu dalam seminar. Juga pria itu ... pria paruh baya itu pasti bapaknya Liana. Ya, aku yakin sekarang. Tapi kenapa pria itu mengangguk dan memberi hormat saat aku menatapnya dengan kebencian? Apa dia tak mengenaliku? Ya, jika tak melihat luka bakar itu ... aku pun tak mengenali dan menduga-duganya. Kukendalikan diri meski aku hampir tak sanggup lagi. Setiap kali bertemu dengannya, aku ingin berlari kek kantor polisi dan melaporkannya. Namun, aku belum sanggup. Bahkan tempo hari aku memilih kembali, keluar dari kantor polisi. Urung melapor karena takut nama pesantren ikut dipertaruhkan. Berjam-jam kami menunggu dengan gelisah. Dokter akhirnya ke luar. Dia mengabarkan pada Kiai Abdullah dan kakak Liana. Lalu menjelaskan pada kami pelan-pelan. Tak sanggup mendengar kenyataan bahwa Gus hilang kesadaran entah sampai kapan, tubuhku mendadak lemas. Memilih duduk di kursi dan menyandar kepala karena tak ingin merepotkan semua orang. Juga melupakan sementara perbuatan Bapak Liana. Yah, sudah cukup kepanikan mereka atas insiden yang menimpa Gus dan Liana. Tak mungkin aku tega memperkeruh suasana hanya demi diriku sendiri. Bersambung Uwohhh doble up hari ini. Maapin kalo Raudah bikin esmosi. ? InsyaaAllah setelah ini fokus ke kebaikan dia, dan cerita yang gak ada di Noda dalam Pesantren. ??
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD