Sentuhan Pertama

875 Words
Aku menunggu Gus dengan gelisah. Segala sesuatunya telah kupersiapkan termasuk penampilan yang sudah mirip p*****r. Tapi bukankah menggoda dan genit pada suami itu halal dan dianjurkan? Jika aku tak bisa mendapatkan Gus lantaran dia menutup hati, biar aku yang datang dan membukanya dengan caraku. Dua jam menunggu Gus Bed, dan tak ada tanda-tanda ia datang. Aku mulai lelah dan mengantuk. Hingga kurasakan seseorang menyentuhku. Ketika membuka mata dengan berat, pria berwajah tampan itu memegangi tubuhku di atas ranjang. Namun, bukan tatapan penuh gairah yang membuatku hangat, atau ciuman bahwa ia menginginkanku, Gus bergerak menjauh karena kaget. Dia masih dingin, meski raga kami tak ada jarak seperti ini. Aku sangat malu. Segera kuraih selimut dan minta maaf. Bangkit dari ranjang. Untung saja obat yang kubeli kemarin masih dalam genggaman. "Em, biar saya buatkan minuman hangat untuk Gus." Ini waktunya, aku tak boleh menyiakan kesempatan. Namun, setelah masuk kamar kembali, Gus sudah tertidur. Ia pasti kelelahan. Sampai kapan kamu akan mengabaikanku Gus? Bukankah normalnya pria ketika melihat wanita t*******g di depannya akan bangkit syahwatnya. Aku pasrah. Tidur di sampingnya dengan menangis. Aku bahkan tak bisa tidur. Merutuki kebodohanku mencintai pria seperti Gus Bed yang tak menginiku, pria yang jelas-jelas hanya mencintai istri pertamanya. Mengabaikanku meski telah dinikahi. Lebih dari satu jam aku menangis, hingga tak bisa kutahan isaknya. Rupanya Gus terganggu dan bangun. "Ukhty ...." ucapnya iba. Ya Rabb. Aku benci sekali panggilan itu. "Kenapa Gus terus memanggil saya Ukhty? Bukan adek seperti Gus memanggil Liana? Bukankah kami punya porsi yang sama? Sama-sama istri Gus Bed. Sampai kapan saya tidak dianggap seperti ini Gus?" Untuk sesaat aku emosi dan mengatakan yang tidak-tidak. Namun, itu tak berhasil. Gus menyugar kasar rambutnya. Entah apa yang dipikirkan sekarang. Kuharap setidaknya dia kasihan padaku, dan menyayangi seperti sayangnya pada Liana. Dalam keadaan menangis aku mengatakan hal lain dan mengeyampingkan perasaanku. "Sudah lah. Kalau memang Gus tak bisa mencintai saya ... setidaknya Gus hargai jerih payah istri Gus. Tolong minum minuman yang saya buatkan," ucapku masih sambil menangis. Pria itu mendesah. Lalu bangun dan mengambil cangkir di nakas. Ia meminumnya tanpa sisa, karena minuman itu sudah dingin ditinggalkan tidur. "Terimakasih," ucap pria yang kini hanya mengenakan kaos dan celana sport menutup lutut. Aku mengangguk. "Sama-sama." Masih sambil duduk menyandar di atas ranjang, menunggu reaksi obat itu bekerja. Sementara Gus akan kembali berbaring di tempatnya. "Tidur lah. Kita perlu istirahat," ucapnya. Ia memegangi pelipis. Mungkinkah obat itu sudah mulai bereaksi? Cepat sekali? Hampir satu jam aku mulai menyerah pria itu tak bergerak memunggungiku. Dia sepertinya benar-benar lelah hingga obat itu tak bekerja. Akhirnya kuputuskan untuk tidur saja. Aku lelah. Mungkin lain waktu, saat Gus tidak pulang dari bepergian. Namun, mataku melebar sempurna. Terhenyak kaget, ketika tangan kekar melingkar di perut. "Dek Liana ... percaya lah, abang hanya mencintai Adek." Hatiku sakit. Dia menyebut nama Liana dan mengatakan secara blak-blakan perasaannya. Airmataku kembali jatuh. Kuabaikan semua itu. Mengikuti ritme yang Gus ciptakan kala menghadirkan kehangatan di antara kami. Cinta memenuhi d**a kami. Aku tak peduli jika cinta dalam hatinya hanya untuk Liana. Kami menjalani malam pertama tanpa kesadaran dari Gus Bed. Malam yang singkat baginya, karena usai mencapainya Gus kembali memejamkan mata. Menumpuk lelahnya dalam tidur. Ia bahkan tak sadar saat aku mencium dan memeluknya. Namun, meski begitu bagiku ini adalah malam yang panjang. Malam pertama kali pria yang kucintai menyentuhku dengan cara halal. ________ Sebulan telah berlalu .... Di acara tahunan pesantren, kami berkumpul mempersiapkan konsumsi di dapur. Meski badanku rasanya tak karuan belakangan. Mungkin lantaran akan datang tamu bulanan. Memang sudah lebih seminggu telat. Karena berada satu tempat dengan kakak maduku, mau tak mau kami saling sapa. Canggung sekali rasanya. Entahlah, aku seperti merasa bersalah pada Liana. Padahal tak melakukan kesalahan apapun. Hingga seorang santri yang membawa bumbu datang, mencium baunya perutku rasanya diaduk-aduk. "Huek." Tanpa peduli tatapan semua orang atau apa pun, aku berlari ke kamar mandi. Tak kuat menahan mualnya, seolah dalam perut ingin dikeluarkan semua. Kuakhiri rasa tak nyaman dalam perut dengan memuntahkannya. Namun, ternyata tidak juga muntah. Ada apa ini? Aku belum pernah menyambut datang bulan dengan mual masuk angin begini. Begitu ke luar, Mbak Aishwa sudah berdiri di depan pintu. "MaasyaAllah, kamu pasti hamil, Dek," ucap Ning Aishwa mengusap perutku. Dia tersenyum senang. "Hamil?" tanyaku tak percaya. Apa iya hamil? Kutatap tempat di mana Liana berdiri, rupanya dia memaku menatapku. Apa dia juga berpikir bahwa aku hamil? Marah kah dia? Bukan kah seharusnya wajar jika istri kedua suaminya juga hamil sama sepertinya? Karena kami sama-sama istri Gus Bed. "Wah, selamat, ya. Ubed pasti makin sayang sama kamu," sambung Ning Aishwa lagi. Aku hanya tersenyum samar mendengarnya. Jika benar hamil betapa bahagianya aku. Mendapat keturunan dari Gus Ubaidillah. "Apa Mbak sakit?" Liana bertanya begitu mendekat. Entah dia datang karena penasaran atau karena khawatir padaku? Namun, belum lagi menjawab, Ning Aishwa menyambar pertanyaannya. "Dia sepertinya hamil, Dek." Duh, aku jadi tak enak sendiri. Tapi bukan kah bagus jika Liana tahu aku hamil. Dengan begitu skors kami sama. Lalu Gus Bed bisa berbagi waktunya dengan adil antara Alhesa dan anakku kelak. Tiba-tiba saja, Ning Aishwa pamit pergi. Tak lama datang dengan membawa tespack di tangannya. Dia bilang aku harus memastikan. Tanpa pikir panjang aku kembali ke kamar mandi dan memeriksa urine. Mataku melebar. Terkejut tapi sangat senang. Aku hamil! Next
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD