Terpaksa

1568 Words
Semua bermula atas pernyataan Gus Bed, yang memberiku dua pilihan, bertahan atas sikap dinginnya atau minta cerai saja. Malam pertama yang kukira penuh kebahagiaan dan kehangatan. Tapi ... aku diabaikan. Bisa saja kuambil keputusan minta cerai, tapi bagaimana dengan keluargaku? Pernikahan kami bahkan belum sehari. Suatu malam, aku menunggu Gus Ubed dengan gelisah. Tangan menggenggam sachet obat yang kudapatkan tadi sore. Pikiran ini melayang pada kejadian tadi siang saat berdiskusi dengan salah seorang ustazah, teman mengajar di pesantren. "Jadi boleh menggunakan obat perangsang?" tanyaku malu-malu. "Kalau melakukannya dengan pasangan halal kenapa tidak? Asal kandungannya halal. Apalagi misal hubungan keduanya bermasalah karena urusan ranjang. Misal si suami atau si istri tidak bisa bergairah." "Tanpa sepengatahuan pasangan?" Kulebarkan mata, mengangkat kedua alisnya. Aku sendiri tahu bagaimana hukumnya. Namun, rasa tak terima telah membuat rasaku buta. Aku juga ingin tahu rasanya dicintai, diingini dan dimiliki seutuhnya. Mungkin dengan cara ini Gus Bed tak akan pernah meninggalkanku. Siapa tahu hubungan yang terjadi akan membuahkan janin di kandungan. Dengan begitu, Gus Ubed bukan hanya ingin berlama-lama dengan Alhesa -anak perempuan dari istri pertamanya, Liana- tapi juga dengan anak kami di sini. Aku pun memutuskan mencari obat tersebut di situs online. Lantaran tak mungkin mendapatkan di apotik, bukan hanya obat tersebut yang dijual bebas, tapi juga rasa malu yang mungkin kudapat saat menanyakannya pada penjual. Dengan transaksi online, setidaknya aku merasa bebas dalam bertanya. Setelah deal, kami hanya perlu bertukar barang dan uang lalu pergi. Selesai. Mataku menyipit, kala membuka layar ponsel. "Tak biasanya pesan WA sebanyak ini?" Kualihkan fokus sementara ke sana, mencari tahu, siapakah pengirim pesan selain chat beberapa grup yang aku ikuti. Mataku melebar ketika mendapati kontak atas nama Habib. Seorang pria yang sempat menjadi partner di Mesir dulu. Kami sama-sama dipercaya untuk menjadi penghubung dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Indonesia. Jika dia menghandle urusan mahasiswa, maka aku lah yang dipercaya mengurus bagian mahasiswinya. Tak pernah ada interaksi selain kegiatan mahasiswa. Bahkan saat teman-teman dari mahasiswi bertitip salam pun, aku enggan menyampaikan. Mengingat kami tidak boleh memanfaatkan tugas untuk bermaksiat, walau dengan celah kecil. Hingga suatu hari saat akan pulang ke Indonesia, pria dengan kulit putih bersih tersebut mengirim sebuah pesan. Dia ingin mengkhitbahku. [Assalamualaikum. Afwan bila mengganggu. Ana berniat mengkhitbah anti saat di Indonesia nanti. Semoga anti berkenan dan membicarakannya dengan keluarga.] Aku hanya termangu menatap pesannya kala itu. Habib bukan pria buruk rupa, miskin atau buruk agamanya. Hanya saja aku belum siap. Traumaku belum hilang. Masih terekam jelas dalam ingatan, dan sakitnya masih sama saat seorang laki-laki dulu mencampakkanku saat tahu kondisiku sebagai korban p*******n. Aku merasa menjadi wanita menjijikkan, kotor dan hina. Dan sampai saat itu aku belum siap menerima lelaki mana pun, lantaran hal sama akan terjadi lagi. Kubuka pesan dari pria tersebut. [Assalamualaikum, Ukhty. MaasyaAllah. Ana dengar kabar pernikahan anti dengan seorang anak Kiai. Semoga menjadi keluarga yang samawa.?] Khi, kalau saja antum tahu rumah tangga seperti apa yang ana jalani sekarang? _____ "Ya Allah, Ukhty. Itu istrinya sampe bela-belain beli obat perangsang lho." Ustazah Tika, salah seorang rekan mengajar sekaligus sahabatku menunjuk gambar seorang wanita dengan perut buncit dalam ponselnya. "Lho kenapa? Dia cantik kok." Jelas aku penasaran. Aku juga ingin hamil anak suamiku, tapi mana mungkin terjadi jika disentuh saja tidak. "Iya, pengen hamil tapi suaminya gak nafsuan. Mungkin karena terlalu stres bekerja. Jadi mereka berinisiatif pakai obat perangsang," jawabnya. "Suaminya ndak marah?" "Ya ndak lah, kan kesepakatan berdua. Mungkin dia juga jengah, masa hamilin bininya aja ndak bisa. Laki-laki itu harga dirinya tinggi. Dan itu kelemahan mereka." Tika bicara lebih lanjut. Aku manggut-manggut saja mendengar penjelasannya. Andai Gus Bed begitu. Bisa diajak bicara memperbaiki hubungan kami yang hambar. Apa gunanya aku menggebu-gebu mencintai dan menginginkannya, tapi sikapnya sedingin es. Jangankan menyentuh, memandangku saja tidak. Aku tahu sejak awal dia mengatakan memberiku kebebasan memilih, bertahan dengan sikap kakunya atau meminta cerai. Namun, apa dia juga tidak memikirkan perasaan keluargaku. Setelah anak gadis mereka dinikahi, lalu cerai setelahnya. Pernikahan kami bahkan belum berjalan sehari. Aku tiba-tiba mendapat ide dari kasus yang Ukhty Tika paparkan. Bukankah masalah rumah tangga kami sama? "Jadi ... boleh menggunakan obat perangsang?" tanyaku dengan menyembunyikan niat dariku sendiri. "Kalau melakukannya dengan pasangan halal, kenapa tidak? Asal kandungan obatnya juga halal. Apalagi kalau hubungan keduanya bermasalah karena urusan ranjang. Misal si suami atau si istri tidak bergairah." Wanita berkulit hitam manis itu memperinci keterangan. Oh, baiklah. Ini adalah hal darurat dalam rumah tanggaku. Maka kuyakini, keadaan ini dalam syariat, membolehkan seseorang untuk mengambil jalan tersebut. Maaf kan aku Gus. Ini demi keutuhan rumah tangga kita. Aku juga wanita normal yang ingin dicintai, meski tak sebanyak cintamu pada Liana. _________ Hari itu juga kuputuskan ke luar pesantren, menemui penjual obat yang kudapat nomornya dari internet. Bukan hal sulit ternyata mendapat obat-obatan tersebut. Penjualnya menjamur hampir di semua kontent yang kukunjungi. Hanya saja selama ini aku cuek karena tak membutuhkannya. Kuhubungi Mbak Aina, seorang sopir wanita yang selama ini bekerja untuk keluarga Abah Yai. Wanita berusia 35 tahun itu sudah bekerja lebih dari lima tahun pada keluarga pesantren. Lantaran ada waktu-waktu tertentu seorang wanita perlu pergi dalam hal mendesak. Dan keberadaan pria dalam satu mobil dengan wanita non mahram sangat dihindari. Begitulah, Kiai Abdullah sangat menjaga hingga detail pergaulan antara laki-laki dan perempuan di pesantren Darul Falah. Aturan yang membuatku jatuh cinta dan sangat mengingini menjadi bagian dari pesantren sejak dulu. Qodarullah, Allah mentakdirkanku menjadi menantu Kiai dan Ummi Aisyah. "Mbak ke Zero Market, ya. Ada yang mau saya beli di sana." Kukatakan tujuan. Aku dan penjual obat tersebut memang janjian bertemu di Zero Market. Setidaknya perlu waktu sekitar setengah jam ke sana. Sampai di lokasi, sebelum memutuskan bertemu, kusempatkan ke Masjid lebih dulu untuk menunaikan sholat, karena waktu ashar telah tiba. Usai sholat, kuperiksa ponsel. Penjual memberikan lokasinya. Rupanya ia sudah berada di area Zero Market. [Mbak, saya sedang di toko teman saya, namanya 'Toko Amanah'. Letaknya di lorong paling depan setelah pintu masuk] chat penjual tersebut. [Baik. Saya ke sana] Send. Segera kukemas mukena yang kugunakan untuk menyempurnakan pakaian untuk sholat. Lalu segera bangkit. Tak ingin kehilangan banyak waktu, karena tidak mau ke-magriban sampai di pesantren. Karena rasanya aib sekali, seorang wanita yang ke luar masuk pesantren dalam keadaan gelap. "Mbak!" Seseorang memanggilku dari arah samping pintu market. Saat menoleh seorang pria mengangkat satu tangannya ke arahku. Ketika mendongak dan melihat papan 'Toko Amanah', barulah aku yakin bahwa pria itu adalah penjual obat perangsang yang kupesan. Aku pun mendekat. Mengeluarkan uang yang sudah kusiapkan dari rumah. Seharga yang tertera dalam flyer iklan. Pria itu tersenyum. Namun, ada maksud lain dari senyumnya. Menggoda. Cepat kuserahkan uang dan mengambil barangnya lalu pergi. Ini lah alasan aku tak suka bertemu pria asing apalagi sampai bertransaksi seperti ini. Aku sampai risih sendiri. Namun, sekarang adalah keadaan yang mendesak. Rata-rata penjual obat kuat dan sejenisanya adalah para pria. Mereka rela menanggalkan rasa malu menjual barang-barang tak lazim demi memenuhi kebutuhan. "Maaf, Mbak. Ini kurang," ucapnya menahanku pergi. "Saya melebihkan obat lain agar kerjanya ekstra." Aku mengerutkan kening. "Obat lain? Tapi saya tidak memesannya." Pria itu menaikkan sebelah bibirnya. "Berikan saja, saya jamin obat itu akan sangat berguna buat Mbak. Harusnya buat orang secantik Mbak tidak perlu barang-barang kaya gini." "Sudahlah, katakan berapa saya harus menambah?" Kuhentikan omong kosongnya yang coba menggodaku. "200 ribu." Aku mendesah. Tak tanggung-tanggung dia meminta lebihan. Mungkin karena dia tahu customernya berasal dari orang berada. "Ya, sudah." Kurogoh uang dari dalam tas. Namun, tatapanku berhenti pada sosok pria lain yang muncul dari penjual obat. "Mon? Belum selesai?" tanya pria yang sempat kutemui di resepsi Gus dan Liana, di rumah sakit, dan sekarang ... ada di toko ini. Ingatanku melayang ke masa lampau, bertahun-tahun yang lalu. Malam di mana aku ke luar dari bus. Masih terngiang jelas ucapan seseorang dalam obrolan mereka. "Iya, nih. Sepi toko akhir-akhir ini." "Lo nunggu kurir ...." Kulayangkan pandang menyapu deretan dagangan yang terjejer di Toko Amanah persis di hadapanku. 'Ini kah tokonya?' Aku memaku memikirkan nasibku. Dunia tak seluas yang kukira. Dengan sangat mudah Allah mempertemukan penjahat yang telah merenggut kesucianku. "Mbak, ada yang salah?" Pria muda di depanku membuatku terhenyak. Kutatap wajahnya, apa penjual obat ini juga salah satu pelakunya. Bisa iya. Tapi bisa juga tidak. Namun, keduanya tak mengingatku? Gila. Apa karena hari itu mereka melakukannya dalam keadaan gelap? Aku bergegas meninggalkan area toko. Syok, marah dan ... takut. Yah, meski aku sangat ingin mereka mendapatkan hukuman tapi aku juga belum siap. "Mbak cepat!" ucapku pada Mba Aina yang stay di mobil. "Baik, Ning." Deru mobil terdengar setelah dinyalakan. Begitu meluncur kuminta pada Mbak Aina untuk berubah haluan. "Mbak kita ke kantor polisi dulu," pintaku pada orang yang memegang kendali mobil. "Kantor polisi?" Mbak Aina tampak bingung. "Iya." Aku sangat gelisah akhir-akhir ini. Masa lalu kembali membayang dan menambah buruk hari-hariku yang tak seindah hari-hari milik Liana, istri pertama Gus Bed. Memberi hukuman setimpal pada mereka, harusnya bisa mengurangi kemalangan yang kujalani sekarang. Mereka bukan hanya menrenggut kesucianku, tapi juga cinta dan masa depanku dengan Gus Ubadillah. "Apa terjadi sesuatu tadi Ning? Apa Ning dijambret atau diganggu orang?" tanyanya lagi. "Em, ikuti saja ya, Mbak. Maaf. Oya, saya minta tolong, jangan beri tahu siapapun bahwa saya telah ke kantor polisi." "Em, ya-ya Ning." Mbak Aina menjawab ragu. Langkahku gemetar memasuki kantor dengan lambang keamanan negara. Takut jika ada yang tahu dan memberitakan hingga viral. Bagaimana nanti pesantren Darul Falah menghadapi beritanya? Namun, jika tidak melaporkan kasusku, bagaimana pula memberi hukuman pada orang-orang jahat itu? Next Deuh, Raudah....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD