Pengakuan

687 Words
Akhirnya lelakiku pergi, menemui istri pertama yang sangat dicintai. Meninggalkanku dengan hati yang remuk dan semakin remuk. Lelaki yang tetap tampan meski terlihat pucat dan marah itu dibantu kakak iparnya. Mbak Aishwa dan Umi Aisyah bahkan hanya menatapku sesaat lalu mengikuti Gus Bed pelan. Aku harus menguatkan hati untuk tidak menangis di sini. Menahan semua rasa sakitku sendiri. Entah, sebenarnya masih ada kah yang menginginkan kehadiranku, Tuhan? Mungkin akan lebih baik aku menghilang, dan membuat mereka semua bahagia, tanpa aku yang mengotori pandangan. Allah ... Astaghfirullah. Hanya padaMu hamba berpegang. Kulangkahkan kaki pelan, berpura-pura tak peka akan sikap semua orang, dan merasa baik-baik saja. Meniti lantai keramik yang berjajar rapi memenuhi lorong teras rumah sakit, pikiranku kembali mengembara. Memikirkan semua kejadian. Sikap Gus yang terlihat sangat murka padaku, sepertinya benar aku lah penyebab kecelakaan ini. Jika sebab kecelakaan mereka benar karena bertengkar lantaran cemburunya Liana atas kehamilanku, itu artinya Liana bilang pada Gus. Ada apa dengannya? Kupikir dia akan menghargaiku dengan membiarkan Gus tahu dari mulutku sendiri. Entahlah ... Liana juga sulit kupahami. Bukankah dulu dia yang memaksaku menikah dengan Gus Bed, tapi kenapa sekarang malah menjadikan keberadaanku sebagai alasan 'perceraian'. Harusnya dia bisa berpikir jernih. Semua orang berdiri di depan kamar Liana, kecuali Gus dan Ibu Liana yang berada di dalam. Sekitar 15 menit, Ibu Liana keluar dari kamar wanita itu dengan menutupi mulutnya menahan isak. Aku bisa melihat jejak air mata di pipi wanita yang kutaksir berusia sekitar 50 tahun itu. Ia terus berjalan menjauh, melewati semua orang. Aku mengikutinya perlahan. Lagi dan lagi, mungkin ini kesempatan menunjukkan padanya bahwa perbuatanku selama ini memang tulus. Dan aku akan terus menunjukkan sampai mereka semua percaya. Kusodorkan sapu tangan kecil pada wanita paruh baya tersebut. Dia yang menyadari kedatanganku berbalik dan meraihnya. "Apa ada perkembangan Liana?" tanyaku pelan. Ibu Liana menggeleng. "Terimakasih. Sebenarnya kalau boleh jujur, saya maksudnya kami sekeluarga tidak menyukai keberadaan Dek Raudah." Suara Ibu Liana terdengar pelan. Bisa k****a dari tatapan redup wanita itu, bahwa hatinya tengah dilanda kesedihan yang mendalam. Aku hanya bisa mengangguk. Tidak mungkin pula kucurahkan segala isi hatiku. Betapa selama ini aku sangat menderita. Bukan hanya sikap Gus Bed yang sangat dingin padaku, tapi ketidakadilannya dalam mencintai juga keberadaan Bapak Liana. Lelaki yang kuduga kuat menjadi salah satu tersangka p*******n 10 tahun lalu. "Saya syok. Liana sudah banyak menderita, tapi dengan mudahnya Gus Bed menghadirkan wanita lain dalam pernikahannya," lanjut Ibu Liana. Tatapannya kosong. Meski sepenuhnya semua kata-kata ditujukan padaku. "Maaf," ucapku lemah. Lagi, aku bohongi diri sendiri. Harusnya bukan kata maaf yang kuucap tapi penjelasan. Bahwa pernikahanku dan Gus adalah atas permintaan Liana. Wanita itu terus memaksaku bahkan saat aku berusaha menghindar. Dia menghubungi berkali-kali kala ponsel sudah kumatikan. Aku ingin sekali menjelaskan pada mereka, bahwa derita Liana tak sebanding dengan apa yang kualami. Liana bahkan diperkosa oleh lelaki yang pernah dicintai, lalu Gus Bed tetap menikahinya. Lihat lah aku! Aku diperkosa tiga preman yang tidak tahu siapa mereka. Aku tak mengenalnya sampai bertemu bapak Liana. Dan yang lebih menyakitkan, Gus meninggalkanku sendiri! Aku dicampakkan, dan kini setelah menikah sikapnya sungguh dingin. Dan kini dengan terang-terangan Ibu Liana mengatakan ketidaksukaannya atas kehadiranku. Apa mereka semua pikir aku ini binatang? Tak apa-apa menderita dan tak punya hati untuk merasakan kesepian dan rasa sakit. Aku juga manusia, aku wanita ... aku juga ingin dicintai seperti Liana pada akhirnya. Tidak bisakah mereka adil. Atau setidaknya tidak selalu menyalahkanku? __________ Semua orang sudah pulang. Mereka semua pasti sibuk. Sementara aku berbenah dan membersihkan ruangan Gus. Lelaki itu masih bersikap dingin. "Ukhty." Dia memanggilku. Aku yang sedang memegang lap kecil, meletakkan benda tersebut seketika. "Ya, Gus," sahutku. Lalu mencuci tangan dan mendekat padanya. Dia pasti sudah tak sabar mendengar pengakuanku, mengenai kejadian yang membuatnya menyentuhku malam itu hingga aku hamil sekarang. Lelaki itu mendesah. Melirik sekilas ke arah dinding. Mungkin sedang melihat waktu atau muak karena memandang wajahku, hingga perlu membuang pandang. "Katakan, sejujurnya. Apa yang terjadi?" tanyanya tanpa menoleh. Dugaanku semua benar. Dia menanyakan kronologi kehamilanku dan dia juga muak padaku. Tuhan ... apa yang harus kukatakan? Apa dia akan menceraikanku setelah tahu istrinya ini berbuat curang? Lalu bagaimana nasib anakku nanti? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD