Konsekuensi Curang

1207 Words
Melihat sikap Gus yang sangat dingin dan mengintimidasiku kali ini, entah kenapa hatiku bertanya, apa kah jika aku menikah dengan pria lain akan mengalami nasib sama? Melihat sikap semua orang, tiba-tiba aku ingin tahu rasanya hidup dengan pria yang mencintaiku. Lalu ingat bagaimana kejadian tadi saat bertemu dengan seorang pria. Lelaki itu menyapaku dengan sopan. "Ukhty Raudah?" Mataku menyipit dengan dahi mengerut setelah berbalik. Mengingat siapa pria di depanku. Lelaki berjambang tipis, perawakan agak gemuk dan seorang wanita dengan perut membuncit di sampingnya. Kenapa dia bisa mengenalku? Padahal selama pulang dari Mesir tak bergaul dengan lelaki. Pun dulu sebelum keberangkatanku. Setelah lulus mondok aku bahkan hanya di rumah menunggu hari H pernikahan dengan Gus Bed, lalu insiden p*******n yang dilakukan Bapak Liana dan rekannya, membuatku terpaksa meninggalkan Indonesia karena Gus membatalkan pernikahan. Kenapa bukan wanita di sampingnya yang menyapa menyebut namaku? Mataku sedikit melebar ketika ingat siapa pria tersebut. Senyum lembut dan tatapan hangat yang ia sorot pada wanita di sampingnya, mengingatkanku pada sosok mahasiswa yang memimpin orasi di kampus dulu. Habib. Aku tersenyum samar, takut jika menimbulkan fitnah. Lebih di sampingnya ada wanita yang sepertinya adalah istri lelaki tersebut. "Oh, ya." "Kefhaluki?" tanya Habib kemudian. "Alhamdulillah. Kher." "Oya, ini kenalin. Istri ana, namanya Amira." Habib menunjuk perempuan di sampingnya. Amira pun tersenyum dan mengulurkan tangan. Lalu kusambut tangan wanita berpenampilan anggun tersebut. "Amira." "Saya Raudah." "Oya, kami mau tanya ruang para ibu hamil memeriksakan kandungan." Habib menggaruk kepala yang seprtinya tak gatal. "Ouh, datang aja ke resepsionis. Bilang mau daftar pasien, nanti akan diarahkan ke bagian bersalin. Apa sudah mau melahirkan?" tanyaku. Kami yang biasa tidak saling bicara dulu, kini berbincang hangat lantaran keperluan istrinya. "Oh, begitu. Tadi Mas Habib diajakin ke sana malah ngajak masuk." Amira mengerucutkan bibir. Dia terlihat begitu manja. "Iya kan, Mas ndak ngerti to, Sayang." Habib menimpali. Ya Tuhan mereka membuatku cemburu. Kenapa aku jadi menyesal menolaknya. Astaghfirullah ... bukan kah jodoh, rejeki dan maut sudah ketetapanMu? Sementara kami sebagai hamba, harus kuat saat pasangan kami berlaku sebagai ujian. "Ukhty." Suara Gus membuatku terhenyak. Aku kembali sadar sekarang tengah berada di depan Gus yang menuntut jawaban. Aku kembali bingung. Namun, tak mungkin berdusta. Sebab, dusta adalah pantangan besar yang bisa menghancurkan semua. "Katakan!" Gus Ubed tak sabar mendengar penjelasanku. "Em, afwan, Gus. Saya ... memasukkan obat perangsang ke minuman Gus malam itu." Tanganku meremas gamis bagian bawah karena takut atas reaksi Gus Bed. Bahkan belum tahu kronologinya saja, wajah Gus sangat dingin padaku. "Apa?! Obat perangsang?!" Mata elang pria itu membeliak. Ia pasti tak menyangka jika wanita yang terkesan menjaga diri dengan agama ini memasukkan obat perangsang padanya. Ma-m-maaf, Gus." Aku mengucap dengan tubuh bergetar. Takut Gus Bed kelewat marah dan menjauh dengan menceraikanku. Air mata sudah menggenangi mata lalu jatuh memenuhi pipi ini. Sunguh tak bisa kutahan. Dan hatiku teremas sakit. Lagi ... Gus Ubed tak peduli! Jika perceraian terjadi, apa yang mesti kulakukan? Terlebih sekarang aku sedang dalam keadaan hamil. Gus Ubed mengusap wajahnya kasar. Tangannya memukul ranjang dengan masih terkepal. "Astagfirullah," desahnya seolah menekan kemarahan yang bertumpuk-tumpuk dalam d**a. "Saya ...." Ucapanku tergantung. "Harusnya anti bersabar dan tak memaksa keadaan!" Suara pria yang kondisinya masih lemah itu naik satu oktaf. Dadanya naik turun karena emosi. Raudah terhenyak takut. Belum pernah aku melihat Gus Bed semarah sekarang. Bahkan sekali pun. Meski belum yakin sanggup atau tidak berpisah dengan Ubed, aku pasrah jika suamiku menjatuhkan talak. ___________ "Ma-m-maaf, Gus." Aku mengucap dengan bibir bergetar. Takut Gus Bed marah dan menjauh dengan menceraikanku. Air mata sudah menggenangi mata lalu jatuh memenuhi pipi. Tanpa bisa kukendalikan. Dan .... Gus Ubed tak peduli! Wajahnya masih terlihat marah. Dia tak peduli aku menangis, menyesal dan takut. Jika Gus benar akan menceraikan, apa yang mesti kulakukan? Terlebih sekarang aku sedang dalam keadaan hamil. Gus Ubed mengusap wajahnya kasar saat aku sedikit mengangkat kepala. Ia seperti tak mengerti bagaimana membuang rasa kesalnya sekarang selain melampiaskan semua padaku. Tangannya memukul ranjang dengan masih terkepal. Aku takut Gus. Sungguh takut. "Astagfirullah," desahnya menekan kemarahan yang bertumpuk-tumpuk dalam d**a. "Saya ...." Ucapanku tergantung. Dia menyambar dengan kata-kata. Belum pernah kulihat pria itu menyela ucapan orang lain. Ini kah yang dinamakan kemarahan yang sudah memuncak. Karena pada dasarnya tak ada cinta di hati Gus Bed untuk menahan kemarahan itu padaku. "Harusnya anti bersabar dan tak memaksa keadaan!" Suara pria yang kondisinya masih lemah itu naik satu oktaf. Dadanya naik turun karena emosi. Aku samai terhenyak, jauh lebih takut dari sebelumnya. Belum pernah aku melihat Gus Bed semarah sekarang. Bahkan sekali pun. Meski belum yakin sanggup atau tidak berpisah dengan Ubed, aku harus pasrah jika sang suami menjatuhkan talak. Aku berdiri dengan memilin khimar yang menjuntai hingga paha. Berusaha mengatasi gerogi yang tak juga pergi. "Anti tau, karena perbuatan anti ... Liana sangat marah, menuduh ana pembohong dan jijik padanya. Terakhir dia meminta cerai dan akhirnya terjadi kecelakaan yang membuat kami koma. Apa memang itu tujuan anti?!" Gus Ubed mengucap dengan emosi. Kini tatapanku lurus padanya. Tak percaya mendengar apa yang Gus ucap. Jadi benar, Liana mengadu pada Gus. Kenapa dia tidak merundingkan denganku dulu? Bukankah seharusnya dia bertabayyun. Kalau begini, apa yang bisa kuperbuat? Aku terkesan jadi penyebab kecelakaan mereka? Dan Liana sekarang terancam kehilangan nyawa karena aku. Yah, tapi bukan kah benar semua itu karena aku? Allah .... "Ma-af." Aku kembali menunduk. Hanya itu yang bisa kuucap. Tak berani menatap Gus Ubed yang bicara dengan amarah meletup-letup. Kalau saja boleh. Aku ingin kabur dan menghindari kemarahan pria yang kucintai. Meninggalkan semuanya. Tapi ... bukankah seorang muslim bukan mereka yang memiliki jiwa-jiwa yang lemah, meski jiwa itu berada dalam raga seorang wanita ringkih. Aku harus bertanggung jawab. Tidak boleh kabur, dan terlihat semakin hina. Bukan hanya di mata Tuhan tapi juga di mata semua orang. "Apa dengan kata maaf anti bisa mengubah semuanya? Apa dengan anti minta maaf semua akan membaik?" Suara itu semakin menekan meski intonasinya semakin lirih. Dari situ aku tahu bahwa hati Gus benar-benar hancur. Sementara aku terlihat semakin buruk di matanya. Wanita yang tak dicintai telah membuat wanita yang dicintainya meminta cerai dan meregang nyawa. "Saya hanya ingin seperti Liana Gus ...." Aku akhirnya mengucapkan yang hatiku ingini dengan isak tangis yang tertahan. "Ingin? Bukankah ana sudah bilang sejak awal, ana tidak bisa menyentuh anti. Jika tak terima harusnya anti minta cerai, bukan berbuat curang hingga mencelakakan Liana!" Suaranya kembali naik. Aku kembali mendongak menatapnya tajam dengan tatapan berembun. Kulihat dari dua manik matanya, tak ada sedikit pun sorot cinta untukku. Bahkan rasa kasihan pun tidak. "Terlepas dari semua kejadian ini adalah takdir Allah, anti telah berbuat curang!" seru Ubed tepat ke wajah Raudah. Aku semakin tak bisa menahan tangis. Tega sekali dia kembali mengungkit semua itu. Kenapa dia tak bisa menerimaku, meski sekarang ada janin dalam rahimku? Gus Ubed mendesah. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya sekarang. Aku hanya bisa menerka-nerka dengan rasa khawatir yang tak juga hilang. "Pergilah ... jangan menemui ana untuk sementara." Gus Ubed membuang pandang. Perih rasanya. Hatiku seperti diremas-remas, nyeri. Aku akhirnya meninggalkan ruangan kamar Gus Ubed dengan menangis. Ya, apalagi yang bisa kulakukan selain menangis. Meski tak mendapat kata-kata cerai, hatiku hancur berkeping-keping kala Gus Ubed mengatakan untuk tidak menemuinya. Aku takut jika kemarahan Ubed berlangsung dalam waktu yang lama dan tak akan pernah memaafkanku lagi. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD