Mereka Saling Mengenal

1822 Words
Gus masih tampak lemah. Kupegangi daun pintu kamar pasien yang sedikit terbuka. Berdiri menatap priaku dari kejauhan, lantaran ia memintaku untuk enyah dari hadapannya. Dan melarang mendekatinya. Sebagai istri, aku juga ingin memehaminya. Memberi waktu pria itu sendiri setelah tahu semua. Gus Bed sangat berhak untuk marah, istri nusyuz sepertiku layak mendapat hukuman darinya. Tentu saja, karena sebagai manusia berakal kita harus melihat dari sisi orang lain. Menempatkan diri di posisi sebagai Liana yang sangat cemburu, dan berada di posisi Gus Bed yang berusaha adil pada kami. Aku sungguh tak tahu, jika Gus pun tak menyentuh istri pertamanya. Kupikir ia telah berbuat tak adil, selalu bersenang-senang dengan Liana dan Alhesa serta mengesampingkanku. Inilah kebodohan dan kecerobohanku selanjutnya, berprasangka buruk, tanpa tabayyun mengambil tindakan orang lain dan menjadikan mereka korban. Bahkan hingga hampir kehilangan nyawa. Lelaki yang kini masih menyandar di atas ranjang itu, tampak sedang mengobrol dengan seorang santri utusan yang diminta menjaganya. Santri yang tak asing bagiku. Usianya kutaksir sekitar 17 tahun. Lantaran sudah masuk Madrasah Aliyah. Meski tak pernah berbincang, atau sekadar bertegur sapa, aku sering melihatnya ke luar masuk dapur Ummi Aisyah di jam-jam tertentu. Aku menghela napas. Tiba-tiba rindu suasana itu. Meski Gus tampak dingin tak menyentuh istri, ia masih mau menyapa dan memperhatikan kondisiku. Kami masih sering bertemu. Walau harus terus menahan seidkit cemburu. Kalau saja aku mau bersabar dan tak salah mengambil langkah, barangkali sekarang kami hidup normal seperti pasangan poligami lain. Semua karena salahku yang curang! Egois, reaktif dan tak memikirkan perasaan orang lain. "Astagfirullah ...." Ampuni hamba ya Allah. Hanya ini yang bisa hamba lakukan sekarang. "Ukhty Raudah." Suara seorang pria membuatku terperanjat. Ketika sosok laki-laki di belakangku ternyata adalah Habib. Ya Rabb. Kenapa harus bertemu dia lagi, dia lagi. Mungkin kah ini ujian? Allah ingin menguji apakah aku bisa bersyukur dan tak suka membandingkan dengan takdir orang lain. Allah ingin menguji apa aku mau instrospeksi diri, atau justru merasa sombong karena ada pria sebaik Habib yang dulu menginginkanku, agar pongah terhadap hukuman Gus Ubed. Aku yang kaget sampai mendorong pintu hingga terbuka. Gus dan santri yang menjaganya sontak menatap ke arah kami. Ya Tuhan apa yang pria itu pikirkan sekarang tentangku? Aku terkesan sedang berduaan dengan ajnabi. Habib tersenyum menatapku sekilas lalu ada Gus. Tampak Gus turut mengangguk di dalam sana. "Ouh. Suami anti sakit, Ukh?" tanya Habib. Aku yakin Habib mengenal anak pemilik Pesantren Darul Falah tersebut. Namun, dari mana dia tahu aku menikah dengan Gus Bed? Aku mengangguk meski kebingungan. Tanpa permisi, pria itu bergerak masuk ke dalam kamar Gus. Dadaku berdebar tak karuan. Sebenarnya kejadian apa ini Tuhan? "Assalamualaikum. Gus," sapa Habib. Sementara Gus Bed menyahut pelan. Jelas sekali dari raut wajah pria itu tengah bingung. "Waalaikumsalam." "Masih ingat saya?" tanya Habib. Mataku melebar. Apa mereka saling kenal sebelumnya. Mata Gus tampak menyipit mengingat lelaki di hadapannya. Ada hubungan apa mereka sebenarnya? "Antum ....?" Ucapan Gus menggantung. Menatap Habib agak lama, lalu beralih menatapku yang berada agak berjauhan di belakang tamu yang tak diundang itu. . . . . Gus menatap Habib dengan ekspresi bingung. "Saya Habib, Gus. Mahasiswa yang pernah jadi ketua BEM di Mataraman. Hari itu saya yang menyambut Gus Bed di lorong kampus." Suara renyah Habib terdengar begitu hangat untuk orang yang baru ditemuinya. Sementara lelaki yang sempat beberapa kali menatap ke arahku dengan ekspresi dingin di atas ranjang, menautkan dua alis tebalnya. Ia seperti tengah memindai siapa sosok di hadapan. Namun, berakhir dengan gelengan kepala.4 "Afwan. Ana lupa." Pria itu tersenyum samar. Seperti sebuah senyum, kala seseorang tak ingin berdamai pada orang lain? Apa Gus Bed marah pada laki-laki itu karena cemburu padaku? Jika iya, betapa bersyukurnya. Aku merasa dicintai, walau cinta itu tak ada seujung kuku cinta Gus Bed pada Liana. Ah, Raudah! Kenapa kamu mengkhayal? Tidak baik mengharap sesuatu di saat seseorang sedang sangat marah padamu. Kesalahanmu tak terampunkan. Lantaran sudah memisahkan dua orang yang saling mencintai. Karena perkara yang paling disenangi oleh Iblis dan bala tentaranya adalah memisahkan orang-orang yang saling mencintai. Ya Rabb, apa tanpa sadar aku telah menjadi bagian dari mereka? Nauzubillah. "Oh, ya. Laba'asa Gus." Suara itu terdengar lemah dan kecewa. Habib lalu membalikkan tubuh ke samping, sambil menunjuk dan melihat ke arahku sebentar, ia mengucap sesuatu pada suamiku. "Oya, ana juga teman seangkatan Ning Raudah di Mesir. Qodarullah bertemu di sini." Habib bicara dengan canggung. Mungkin ia merasakan gelenyar aneh merambat dalam pikiran ketika mendapati ekspresi Gus Bed yang kurang ramah. Yah, bagaimana bisa ramah? Dia saja sedang sangat kesal padaku. Benar, saja saat kutatap wajah pucat Gus, pria itu menajamkan mata padaku. Seperti ada amarah yang kembali ingin diletupkan. Atau hanya perasaanku saja? Tuhan, betapa banyak aku berprasangka. Maaf juga, Habib. Aku tak bisa menimpali ucapanmu dan tak bisa menjelaskan apa pun. Suamiku tengah marah padaku, mana bisa aku mengajaknya bicara baik-baik? "Eum, ya sudah. Sepertinya Gus Bed harus istirahat." Kini sikap Habib jadi canggung sendiri. "Saya permisi, istri saya sudah menunggu di ruang bersalin," sambungnya lagi sambil mengangkat bungkusan yang sepertinya berisi obat dari apotik. Pria itu melangkah melewatiku hingga kutempelkan tubuh ke tembok agar jaraknya semakin jauh. "Afwan. Assalamualaikum." Habib mengucap. "Waalaikumsalam." Aku hanya berani menggumam saat menjawab salam darinya. "Khi!" seru Gus tiba-tiba yang membuat langkah pria berperawakan agak gemuk itu berhenti dan berbalik menatap Gus Bed. "Nggeh Gus?" Senyum itu lebar. Manis dan terlihat tulus. "Lain kali berkunjunglah ke Pesantren kami." Gus Bed mengucap diikuti senyuman. Lega sekali aku melihat senyum itu. Gus adalah orang baik, pasti ada getaran di hatinya ketika bertemu Habib. Karena ruh manusia itu cenderung dekat dengan ruh lain yang memiliki kesamaan. Ya, ruh baik suka berkumpul dengan ruh baik pula. "Enjeh, Gus. Siap!" Habib berseru senang. Dia bahkan kembali mendekat ke ranjang Gus Bed dan menyalaminya sebelum pergi. Syukurlah. Kehadiran Habib tidak menambah keadaan semakin runyam. ___________ Waktu terus berjalan. Tepat di hari ke tiga. Aku mencoba cari perhatian Gus Bed. Barangkali marahnya sudah reda. Karena seorang muslim tidak boleh mendiamkan muslim lain lebih dari tiga hari. "Assalamualaikum." Aku mengucap salam. "Waalaikumsalam," sahut Kang Baim. Santri yang masih setia menunggu Gus. "Apa Gus perlu sesuatu?" tanyaku pada Kang Baim. "Em, itu Ning katanya ...." Ucapan santriwan tersebut menggantung. "Tolong belikan ana pecel. Di seberang rumah sakit ini ada warteg yang menjual bermacam-macam lauk." Gus Bed menyela ucapan Kang Baim. Senyumku sontak terkembang. Aku terlalu senang. Akhirnya Gus bicara padaku meski dengan nada datar, tanpa basa-basi minta maaf, tidak juga mengatakan sudah memaafkanku atau sambil menyatakan cinta. Ah, Raudah. Kamu kelewatan sudah dapat hatinya, masih mau jantungnya pula. __________ "Biar saya saja," ucapku cepat sembari mengambil kain pel di tangan ibu Liana. "Apa Mbak Raudah gak papa?" tanyanya ragu memenuhi permintaanku. Wanita yang awalnya bersikap sangat dingin itu, akhirnya mau bertegur sapa denganku. Wajar saja lah, dia memiliki hati seorang ibu. Entah, apa jadinya jika wanita paruh baya tersebut tahu aku lah penyebab Liana terkapar tak berdaya sekarang. Akar dari semua masalah adalah obat perangsang yang kutaruh di minuman Gus Bed. Lalu aku hamil, dan Liana yang tak terima meminta cerai pada Gus Bed. Suami kami yang tengah mengemudi itu sepertinya kehilangan kendali karena emosi, sehingga kecelakaan terjadi. "Saya gak papa, Bu," jawabku. Walau bagaimana aku harus terus berusaha merebut hati semua orang. Aku memang salah. Namun, sudah menyesal dan bertekad untuk bertanggung jawab atas semua. "Oh, ya." Pelan, suara itu akhirnya terdengar. Diserahkan lap pel dan air d dalam timba kecil. Sepagi ini, aku terbiasa membersihkan dan merapikan kamar Liana. Sebab, jika menunggu petugas cleaning service, terlalu lama. Mereka datang bersih-bersih sekitar jam sepuluh, sedang kami sudah bangun sebelum subuh untuk beraktifitas. Tentu saja, rasanya risih membiarkan kamar Liana tampak berantakan dan berdebu. Wanita itu luar biasa. Banyak sekali yang sayang padanya. Meski, dia selalu memejamkan mata, selalu saja ada orang datang mengunjungi. Itu lah sebabnya, kamar wanita kakak maduku sering berdebu dan agak berantakan. Aku duduk berjongkok, memeras kain pel ke ember. "Apa perutnya tidak sakit untuk banyak aktifitas, Mbak?" tanya ibu Liana lagi, wanita itu kini sudah sibuk dengan beberapa map di atas nakas. Sepertinya administrasi Liana yang harus diurus. "Ah, tidak juga, Bu." Aku mencoba tersenyum. Meski berkali-kali mual karena hamil datang, aku mencoba menahannya. "Ya, baiklah kalau begitu. Saya nitip Liana sekalian, ya. Eum, Alhesa tadi dibawa pamannya ke luar," sambung ibu Liana. Akhirnya, wanita itu luluh juga mempercayakan puterinya padaku. Tenang lah, Bu. Meski aku sangat cemburu pada Liana, aku tak akan berbuat jahat padanya. Apalagi melakukan hal gila seorang madu pada istri pertamanya seperti di sinetron. Hem, lucu sekali kalau ingat adegan mereka yang tak masuk akal. Walau bagaimana aku adalah seorang muslimah beriman. Mana mungkin, dengan iman yang tersemat dalam dadaku sengaja berbuat jahat pada orang lain. Kalau pun yang kulakukan sebelumnya adalah kesalahan, tapi semua karena aku khilaf. Cinta telah membutakanku. Ah, kalau ingat itu, aku bahkan terus memaki diri sendiri. Ibu Liana akhirnya pergi setelah berpamitan. Tinggal lah aku sendiri dengan Liana di kamar. Tanganku terus bergerak membereskan pekerjaan. Namun, di sela aktifitas tersebut, perhatianku beralih pada tubuh yang terbujur lemah di atas ranjang. Liana. Aku mendapati tangan Liana bergerak-gerak. Lalu mata wanita itu terbuka perlahan. "MaasyaAllah, Mbak." Aku terkejut sekaligus senang bukan main. Aku segera berlari memanggil Ibu Liana yang berada di luar, untung saja wanita itu belum jauh berjalan, juga dokter dan perawat yang berjaga. Dokter segera memeriksa kondisi Liana. Sementara aku segera menelepon Gus Bed untuk memberinya kabar. Begitu juga Ibu Liana, ia segera menghubungi keluarganya dan mengumumkan semua orang lewat WA story. _______ Liana menatap Ubed agak lama, seolah tengah memindai keberadaan pria di hadapannya. Wajah Gus Ubed berbinar senang. Bahagia. Akhirnya wanita yang ditunggu-tunggu kesadarannya telah membuka mata. "Dek ...." Suara Gus Ubed memanggil. Seolah sangat ingin sekali ia memeluk Liana. Namun urung, lantaran ingat bahwa ia telah menjatuhkan talak dan belum merujuknya. Waktu menjeda di antara keduanya. Berpandang-pandangan. Seolah hati mereka tengah saling bicara. Liana tersenyum. Karenanya Gus Ubed tersenyum semakin lebar. Akhirnya Liana menyambutnya dengan hangat. Sementara di sini. Meski bahagia melihatnya masih hidup, hatiku nyeri karena cemburu. Tatapan dua insan itu, seolah adalah neraka yang membakar dadaku. Kini kebahagiaan Gus dan Liana yang sempat terenggut telah kembali. Tinggal mengucap "Maukah kamu rujuk," lalu Liana menjawab "Ya," maka mereka akan kembali sah menjadi suami istri. Saling menjaga dan melindungi permata hati mereka. Alhesa. Dan aku ... pasrah .... Namun, senyum Gus Ubed memudar setelah ia mendekat dan mendapati Liana tersenyum untuk orang lain. Kala menengok ke belakang, Fay berdiri di ujung ruangan. "Kak Fay," ucap Liana pelan. Mata Gus Ubed menyipit dengan hati teremas sakit. Liana tersenyum dan menyebut nama Fay. "Li ... kenapa kamu bersikap seperti itu pada suamimu?" tanya Ibu Liana keheranan. Apa Liana sengaja memanas-manasi Gus Ubed sekarang? Ya Tuhan, Mbak Liana, apa yang kamu lakukan? "Suami? Jadi Li sudah menikah dengan Kak Fay, Bu?" tanya Liana kemudian. "Ap-apa?" Ibu Liana melebarkan mata. Begitu juga dengan Gus Ubed dan semua orang yang ada di kamar ini. Apa yang terjadi sebenarnya dengan Liana? Dia terlihat bingung melihat reaksi semua orang. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD