Ridha Suami

1967 Words
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ فِي الْجَنَّةِ؟قُلْنَا بَلَى يَا رَسُوْلَ الله كُلُّ وَدُوْدٍ وَلُوْدٍ، إِذَا غَضِبَتْ أَوْ أُسِيْءَ إِلَيْهَا أَوْ غَضِبَ زَوْجُهَا، قَالَتْ: هَذِهِ يَدِيْ فِي يَدِكَ، لاَ أَكْتَحِلُ بِغَمْضٍ حَتَّى تَرْضَى “Maukah kalian aku beritahu tentang istri-istri kalian di dalam surga?” Mereka menjawab: “Tentu saja wahai Rasulullaah!” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Wanita yang penyayang lagi subur. Apabila ia marah, atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya, ia berkata: “Ini tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa terpejam hingga engkau ridha.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Ausath dan Ash Shaghir. Lihat Ash Shahihah hadits no. 3380) ??? "Ya, Gus. Tentu saja saya akan mencarikannya," jawabku cepat. Tak bisa kesembunyikan rasa senang ini. Lalu bergegas dengan meraih tas yang berada di ujung kursi dalam ruangan. Kami berada di ruang VVIP, di mana hanya Gus yang berada di kamar tersebut. Ruangan yang berada di lantai atas. Bahkan ketika aku melihat ke arah jendela, warteg yang Gus Bed maksud tampak dari sini. Meski hanya bagian atap dan kerumunan manusia yang tampak kecil-kecil. Saat kakiku akan mencapai pintu, aku segera berhenti, ingat sesuatu. Kuputar tubuh, menatap sebentar pada Gus Bed yang kini tengah menatapku juga. Kudekati perlahan pria yang selalu terlihat penuh kharisma tersebut. "Ada apa?" tanya Gus tak mengerti. Mungkin ia pikir aku memerlukan sesuatu darinya. Kusodorkan tangan kanan, sudah lama aku tak mencium tangannya. Dengan begitu aku benar-benar merasa dia telah ridho padaku. Gus Bed mendongak, melebarkan sedikit matanya, dengan dua alis terangkat. Ia pasti sedang mempertanyakan sikapku? Ah, aku tak peduli dianggap 'lebay' atau kekanak-kanakan. Segala jalan akan kutempuh agar bisa dekat dengannya. Seorang suami. Bukan kah halal menarik perhatian suami? Gus Bed tersenyum samar. Aku tahu dia pasti akan luluh. Seseorang yang berhati lembut sepertinya, mana tega menyiksa batin orang lain. Aku tahu sejak awal Gus Bed hanya ingin memberi pelajaran padaku, agar menyadari kesalahan dan berhati-hati ke depannya. Diraih tanganku oleh Gus, yang kemudian segera kucium punggung tangannya. Bahagia sekali. Akhirnya suamiku telah ridho. Sebab ridha Allah terletak pada ridha suami. Diutamakannya ridha Allah atas nikmat yang lain menunjukkan bahwa sekecil apapun yang akan membuahkan ridha Allah, itu lebih baik daripada semua jenis kenikmatan. Sebagai seorang istri sudah sepatutnya kujadikan ridha Allah sebagai tujuan utama. Harapan untuk meraih ridha Allah inilah yang seharusnya kujadikan motivasi bagi istri untuk senantiasa melaksanakan ketaatan kepada sang suami. Seburuk apa pun perlakuan Gus Bed, aku akan bersabar. Jika Allah sudah memberikan ridha-Nya, adakah hal lain yang lebih baik untuk diharapkan? _____________ Kulangkahkan kaki memasuki warteg yang lumayan ramai dengan orang-orang mengantri. Warung ini sepertinya menjadi favorit banyak orang, hingga setiap kali melihat tempat tersebut tak pernah sepi. Bukan hanya penghuni rumah sakit, tapi juga orang yang berada di sekitar. Melihat menu yang ditempel dalam sebuah banner, harganya juga lumayan terjangkau. Kukeluarkan uang cash yang dalam tas. Mempersiapkan agar tak terlalu lama ketika penjual selesai mengemas nanti. Namun, perhatianku dan semua orang teralihkan ketika seorang pria tersandung jatuh, juga keresek berisi makanan di tangan. Untung saja, makanan tersebut masih rapat tertutup dalam bungkusnya. "Maaf," ucapnya pada orang yang dia tabrak. MaasyaAllah, padahal dia jatuh karena orang tersebut tapi masih minta maaf. Pria itu tak begitu menanggapi komentar beberapa orang yang iba padanya. Lantaran di pipi menempel benda pipih. Pria itu tampak panik dan tergesa pergi. Sepertinya pria tersebut sedang mendapat panggilan mendesak. Meski aku mengenalnya, aku tak mungkin bertegur sapa tanpa alasan syar'i. Itu kenapa aku memilih diam, saat Habib jatuh, tampak panik dan meninggalkan warteg. _________ Sampai di kamar, Gus mengambil makanan yang kubawa dan memakannya dengan lahap. Senang sekali melihat suami tak marah lagi. Tak mengapa jika sikapnya masih dingin. Aku akan menunggu sampai waktunya tiba. Di mana dia mau menerima dan memperlakukanku selayaknya istri yang dicintai suami. Waktu terus berjalan. Hari berganti hari hingga bulan baru datang. Gus sudah boleh pulang. Namun, aku memilih masih bolak-balik dari pesantren ke rumah sakit turut mengurus Liana. Suatu hari, kabar mengejutkan datang dari Ibu Liana. Kakak maduku itu telah sadar. Ya Rabb. Perasaan berbaur tak karuan. Antara senang dan sedih karena harus kembali dihinggapi cemburu yang tak bertepi. Gus Bed yang mendengar kabar tersebut, bahkan meninggalkan jam mengajar dengan memberi tugas pada satrinya. Itu yang kudengar dari Ning Aishwa. __________ 'Fay?' Kenapa Liana tersenyum pada Fay? Dan menyebutnya sebagai suami? Apa dia hilang ingatan? Atau hilang akal memilih berpura-pura, karena saking muaknya pada Gus Bed yang menjatuhkan talak padanya? Apa iya dia sepicik itu? Kakak maduku itu kukenal baik selama ini. Mungkinkah perangai buruknya muncul karena merasakan hal yang sama denganku? Buta karena cemburu. Entahlah. Aku selalu saja memiliki prasangka pada Liana lantaran kecemburuan yang tak bertepi. Gus Bed bergeming melihat sikap istri pertamanya. Ya, tentu saja suami kami sangat terpukul. Wanita yang sudah lama dinanti-nanti dan akan segera dirujuk, malah menyebut nama pria lain. Dia pasti sangat syok dan terpukul. "Suami? Jadi Li sudah menikah dengan Kak Fay, Bu?" tanya Liana kemudian. "Ap-apa?" Ibu Liana melebarkan mata. Begitu juga dengan Gus Ubed dan semua orang yang ada di kamarnya. Apa yang terjadi sebenarnya dengan Liana? Dia terlihat bingung melihat reaksi semua orang. "Apa maksud kamu Li?" Ibunya bertanya heran. Liana menyipitkan mata hingga dua alisnya tertaut. Melihat pada sang ibu, lalu satu per satu kami. Ia seperti merasa asing pada beberapa objek yang ditangkap matanya. "Kamu ingat Mas?" Kakak lelaki Liana mendekat meletakkan tangan ke d**a. "Apa maksud Mas Indra, tentu aja aku inget?" jawab Liana cepat. Lelaki yang dipanggil Indra mendesah lega. Artinya Liana tidak kehilangan ingatan tapi kenapa dia menyebut 'Kak Fay' sebagai suaminya. "Oya, bagaimana dengan dia?" Kini Indra menunjuk pria yang mengenakan jas koko berkalung sorban. Penampilan yang harusnya lekat pada ingatan Liana, sebagai sosok pria yang dicintai. Liana mengerutkan kening, menatap Gus Ubed dengan lama. "Siapa Kak?" Kini ia menoleh pada sang kakak menuntut jawaban. Allahu .... Liana benar-benar lupa ingatan. "Itu?" Telunjuk Indra mengarah padaku. Memastikan apa Liana hanya tidak mengenali Gus Ubed. Liana menggeleng. Ia sama sekali tak ingat apa pun padaku. "Di mana Abah?" tanyanya kemudian. Tak menganggap penting keberadaan Gus Ubed dan aku. Dia malah bertanya mengenai pria jahat yang merenggut kehormatanku, abahnya. Bapak Liana memang jarang sekali berada di rumah sakit. Lantaran harus menjaga toko. Hal itu juga sangat menguntungkan untukku. Sangat. Aku tak perlu menghindar dari pria tersebut lantaran belum tahu apa yang mesti diperbuat padanya. Gurat kesedihan terlihat jelas di wajah Gus Ubed. Aku yang juga berada dalam ruangan pun ikut sedih, sedih karena semakin merasa bersalah. Atas alasan ini, Gus Bed pasti akan sangat marah padaku dan terus bersikap dingin. Tidak membuang waktu, dokter kembali mendekat pada pasiennya yang kebingungan. Memeriksa, mungkin yang dipikirkan benar? Sementara suster meminta semua orang ke luar ruangan, termasuk Ubed yang masih penasaran apa yang terjadi. "Mohon maaf, Bapak, Ibu, biarkan kami memeriksa Ibu Liana dulu." Suster mengucap dengan ramah. Dengan perasaan kecewa kami ke luar. Apa istri pertama Gus benar-benar kehilangan ingatan? Tapi kenapa dia ingat ibu dan kakaknya? Atau dia hanya beralibi menghindar lantaran tak mau memaafkan, dan sengaja menjauhinya dengan memanfaatkan keberadaan Fay? Aku yang dititipi Alhesa oleh Ibu Liana mendekat pada Gus Bed. Ingin menenangkan sekaligus berharap simpati. Namun, rupanya aku mendapat respon lain. Pria yang tadinya mulai luluh lantaran sikap tulusku turut menjaga dan merawat Liana, kini kembali dingin. Diambilnya Alhesa dari gendonganku, lalu pergi menjauh mendekati ibu mertua yang masih berdiri persis di depan pintu. Sesuatu dalam dadaku terasa nyeri. Sesak kembali mengepung hati. Yang kupikirkan benar, kondisi Liana membuat suami kami bertambah dingin terhadapku. Sekitar lima belas menit kami menunggu di depan kamar Liana. Kiai Abdullah, Umi Aisyah, Mbak Aishwa dan Bude Arina datang tergopoh-gopoh dari arah depan. "Assalamualaikum," ucap Aba. Semua orang menoleh melihat kedatangan pengasuh pesantren Darul Falah tersebut. "Waalaikumsalam." Jawaban terdengar dari beberapa orang di sana. "Bagaimana keadaan Liana? Katanya dia sudah bangun?" tanya Ummi Aisyah pada Gus Ubed. Namun, yang ditanya bergeming. Saking mengejutkan kejadian tadi, ia sampai tak mampu berkata apa pun. Aku tahu kamu sangat mencintai Liana Gus. Tapi kenapa harus kembali membenciku? Ummi dan mereka yang baru datang saling melempar pandangan. Hati mereka pasti bertanya-tanya. Ditambah melihat sikap Gus Ubed yang menunjukkan kegamangan. "Ada apa, Bed?" tanya Kiai Abdullah. Gus Ubed masih juga diam. Ia bahkan membuang pandangan karena bingung, dan tak ingin sang abah melihat ekspresinya. Mungkin karena tak dapat jawaban dari Gus, Mbak Aishwa akhirnya datang dan bertanya padaku. "Ada apa, Dek? Tolong jelaskan pada kami. Apa ada sesuatu yang menimpa Liana? Apa kata dokter? Tidak ada yang serius bukan?" Mbak Aishwa memberondong istri Ubed dengan banyak pertanyaan. "Ehm. Mbak." Aku tersenyum miris. "Liana tak ingat pada kami." Kutahan perih ketika mengingatnya. Aku pikir, dengan ilmu dan kebaikan yang meliputi keluarga kami, rumah tangga poligami yang kami jalani akan berlangsung harmonis. Sebagaimana rumah tangga-rumahtangga Nabi dan para sahabat. Rumah tangga yang diliputi rahmat karena kasih sayang antara suami, istri pertama dan istri kedua. Namun, apalah kami. Ujian kecil saja sudah berani maksiat. Aku misalnya. Karena cemburu tega mencurangi Liana. Ujian seolah terus saja datang, seolah pula rumah tangga yang bina bina tak boleh dipertahankan. Aku bahkan menjadi sebab hancurnya rumahtangga pertama suamiku. "Apa?!" Mbak Aishwa terkejut. Begitu pula Ummi Aisyah dan Bude Arina yang sudah sangat penasaran dengan apa yang terjadi. "Iya, Ning. Tapi ... anehnya hanya lupa pada saya dan Gus. Dia ingat seluruh keluarganya, juga ... Kang Rifay." Aku melanjutkan, mencoba menjelaskan perlahan. Seketika wajah Ummi Aisyah berubah muram. Ia kemudian menatap pada kakaknya, yang membuat Bude Arina merasa tak enak dan merasa bersalah. Yah, itu karena Fay yang diingat bukan Gus Bed. Mbak Aishwa mendesah. Mungkin tak menyangka, ujian yang menimpa adiknya datang bertubi-tubi. Akhirnya kami semua berdiri di depan kamar Liana dengan bingung. Terutama Gus Bed. Pria itu tampak frustasi. Beberapa saat kumelirik pada sosok pria tersebut, matanya mencari-cari sosok seseorang. Pasti Fay. Sekarang dia pasti bukan hanya, syok, bingung tapi juga cemburu luar biasa. 'Gus Bed, suamiku bersabarlah. Ingatlah bahwa setiap hati Allah yang memegangnya.' Fay mengingatkanku pada Habib, meski kami tak pernah pacaran. Dua lelaki itu sama-sama pernah mencintai dua wanita yang menjadi istri Gus Bed. Namun, bedanya ... jika Fay dan Liana pernah pacaran, Habib bisa menjaganya. Bisa jadi karena kegigihan Fay, meninggalkan kesan mendalam di hati Liana, bahkan bisa jadi kebencian yang mengendap di alam bawah sadarnya. Qodarullah ... benci itu diubah Allah menjadi cinta. Lelaki yang mengerti agama memang berbeda dengan lelaki tanpa iman. Fay tega merenggut kesucian Liana karena cemburu, sementara Habib memilih move on dan menikah dengan wanita lain. Semua orang menghambur mendekat kala dokter membuka pintu kamar Liana. Namun, seperti sebelumnya pria yang memakai pakaian putih-putih itu hanya meminta dua orang untuk mendengarkan penjelasannya. Sementara Ubed dan Indra mengikuti dokter ke ruangannya. Semua orang diperbolehkan masuk ke kamar Liana secara bergantian. "Mohon maaf agar tidak terlalu ramai, maksimal tiga atau empat orang saja, ya. Masuknya bergantian. Oya, pesan dokter agar tidak membicarakan hal-hal berat pada pasien. Sebab, benturan di kepala Ibu Liana membuatnya trauma dan kalau dipaksa berpikir akan berefek buruk pada kondisinya." Perawat bicara panjang lebar sebelum mengizinkan mereka masuk. "Maksudnya gimana, Mbak?" tanya Ibu Liana tak sabar. "Em, nanti biar dokter yang menjelaskan," ucap sang perawat. Namun, sebelum benar-benar pamit dan melakukan tugasnya sebagai suster, ia meminta Ibu Liana untuk menjawab beberapa pertanyaan guna pengobatan Liana lebih lanjut. Ibu Liana mengikuti kemauan wanita tersebut. Ia serahkan Alhesa pada Ummi Aisyah yang kemudian disambut lagi oleh Kiai Abdullah. Lantaran ia dipersilakan lebih dulu masuk ke kamar Liana bersama puteri, menantunya dan Arina. Kala giliranku masuk, aku tak kuat menahan tangis. Liana benar-benar lupa padaku. Bukan efek obat atau baru sadar ... tapi karena kecelakaan membuatnya manesia. Bagaimana ini? Apa Gus akan bisa memaafkanku jika kelak mereka tak bisa bersatu lagi, lantaran Liana tak ingat apapun tentangnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD