Liana yang Dulu

837 Words
Sudah lebih sebulan, sejak kami bertemu di rumah sakit dulu, aku tak tahu lagi kabar Habib dan istrinya. Sekarang mereka pasti sudah berbahagia dengan putera mungil mereka. Allahu, aku harus mengenyahkan bayangan Habib dan istrinya. Bayangan yang membuatku semakin berpikir buruk tentang suamiku dan Liana. Gus Bed dan kakak Liana datang. Wajah dua orang itu tertekuk. Ya Rabb, aku bisa tahu rasa sakit dari wajah suamiku yang diliputi mendung itu. Mereka sepertinya membawa kabar buruk dari dokter. 'Gus jika saja boleh, aku sangat ingin bisa menghiburmu. Membuatmu tersenyum dan melupakan semua kesedihan. Namun, bukankah senang dan sedih itu tergantung hati? Mana bisa kupaksa hatimu cenderung padaku? Bahkan setelah kecurangan yang kuperbuat, memberi obat perangsang dan kini aku hamil anakmu.' Aku perlu mendesah panjang setiap kali ingat betapa berat cobaan ini. Hidup dengan pria yang hanya mencintai istrinya yang lain. Sementara keluarga Pesantren dan keluarga Liana berkumpul di mushala, aku membawa Alhesa ke kamar Liana. Aku sungguh iri pada kakak maduku itu, semua orang menyayanginya. Mereka sedang mendiskusikan hal terbaik untuk wanita ayu itu. Ya, kakak Liana bilang dokter mengatakan kami harus sangat hati-hati. Bisa jadi karena emosi, dan memikirkan hal berat, otak Liana akan mengalami perdarahan hebat karena kecelakaan. Liana ... maafkan aku, ini semua salahku. "Eum ... anak siapa ini?! Lucu sekali," ucap Liana sembari menggeser tubuh menyandar di atas ranjang, ketika aku masuk membawa Alhesa. "Namanya Alhesa." Aku menjawab sambil tersenyum. Semoga saja dia tidak curiga, lalu ingat masa lalunya -kemudian sakit parah- karena aku. "Oyah? Anak Mbak, ya?" Liana melebarkan mata beningnya. Mata yang membuat teduh. Itu kah pesonanya? Atau karena kelembutan hatinya selama ini? Entahlah, sebaik apa pun dia, tetap saja ada sisi yang membuatku tak suka. Mungkin hatikulah yang perlu diperbaiki. Karena sekarang, dia sedang sangat menderita. Ingatan yang hilang memberinya jarak dengan Alhesa dan Gus Bed. Lagi, aku hanya bisa tersenyum sambil menunjukkan anggukan kecil. Berharap dia percaya begitu saja. Meski mungkin nanti Liana akan menemui banyak keganjalan ketika bertemu denganku. "Uwah. Cantik ... mirip ibunya." Liana mengusap pipi Alhesa lalu menatap wajahku. Untuk sesaat aku merasa bangga karena Liana memuji. "Mungkin karena tembem, ya. Jadi adek bayi belum kelihatan lesungnya," sambungnya lagi. "Bisa jadi." Aku menjawab datar, meski hatiku tengah menangis. Tak tega melihat kondisi yang menimpa kakak maduku. Rasa mual kembali datang, seketika aku menutup mulut dengan kesusahan lantaran menggendong Alhesa. Seharusnya memang aku tak berkeliaran di rumah sakit lantaran perutku seringkali mual mencium bau-bau aneh obat-obatan. "Mbak kenapa?!" Liana terlihat ikut panik. "Em, maaf nitip sebentar." Kuletakkan Alhesa ke pangkuan Liana, sebelum berlari menuju toilet. Rasa tak nyaman ini harus kutuntaskan. Jangan sampai di saat semua orang panik, kehadiranku menambah beban untuk mereka. "Wah, Dek. Mamanya adek kenapa? Hamil? Kalau iya pasti ayahnya Adek nakal, ya ... masa anaknya masih bayi, mamanya dihamilin ...," kelakar Liana. Kudengar sayup-sayup dari toilet. Kalau saja tidak ada drama hilang ingatan. Mungkin keadaannya tidak seperti sekarang. Gus pasti langsung merujuk Liana dan wanita pertama Gus Bed itu juga langsung menerima. Bukannya Alhesa tertawa dengan candaan Liana, malah bayi itu menangis. Kepalanya menggeleng-geleng dengan mulut ke samping. Mencari sesuatu untuk dihisap. "Wah, nangis. Haus ya, Sayang?" Liana terdengar kebingungan. Aku pun mempercepat aktifitas. Tak lama, aku keluar dari toilet, dengan perasaan lebih nyaman dari sebelumnya. "Mungkin dia kehausan," ucap Liana. Dengan cepat aku meraih tubuh Alhesa dan memberinya s**u yang sudah neneknya siapkan. "Apa Mbak hamil?" tanya Liana penasaran. Pasti aneh buatnya, Alhesa yang baru beberapa bulan tapi uminya sudah hamil lagi. Aku yang fokus pada Alhesa kini menatapnya. "Iya Mbak." "Wah, njenengan luar biasa." Liana mendesah. "Aku juga mau nikah, Mbak. Calon suamiku selain tampan juga pria penyayang." Ya Rabb. Liana benar-benar hanya mengingat Fay. Sebenarnya seperti apa masa lalu mereka? Aku sangat penasaran. Kenapa Gus Bed bisa memilih wanita biasa seperti Liana? Seharusnya paling tidak dia juga harus menikah dengan anak kiai, agar sekufu dan tidak timpang. Lihat saja sekarang, ketika Allah datangkan musibah yang diingat adalah pria lain. Aku yakin mereka sangat-sangat dekat dulu, itu lah kenapa Fay sampai memperkosanya. Karena tabiat lelaki, jika sudah menyentuh kulit, mereka menginginkan lebih. "Ca-calon suami?" Raudah sampai terbata saat mengucap. Pantas saja jika Gus menyimpan kemarahan sangat besar untuknya, ia sudah membuat wanita yang dicintainya berpaling sepenuhnya. "Iya." Liana tersenyum lebar. "Entah, kemana pria nakal itu." Kini ia terkikik sendiri. "Padahal tadi aku sudah melihatnya. Mungkin karena ada panggilan dari dosennya. Aku dicueki lagi," oceh Liana dengan bibir mengerucut. Dan sekarang giliranku bingung bagaimana menanggapi. Aku hanya bisa nyengir. Wanita yang selama ini kukenal sebagai perempuan lembut, kini memperlihatkan sisi bawel dan manjanya. "Oya, nama Mbak siapa? Kita belum sempat kenalan tadi!" Liana berseru. Aku sampai kaget. Apa dia memng seheboh ini dulunya? "Raudah, Mbak. Raudatul Jannah," jawabku. "Hem ... kaya nama-nama ustazah, ya. Hihi. Pasti Mbak disuruh ibu buat jagain aku, ya?" Wanita itu tertawa sampai terlihat gigi-giginya. "Em, iya." Aku menjawab singkat. Inikah sosok Liana di masalalu? Gadis yang ceria dan bicara apa adanya? Setelah Gus Bed mendapati Liana seperti dulu, apa iya dia masih mau mengajaknya berbaikan dan rujuk? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD