Senyum Suamiku

1110 Words
Kulirik jam yang menempel di dinding. Sudah menunjukkan pukul 18.00. Usai sholat magrib, aku berencana pergi ke rumah sakit melihat Liana yang sudah diperbolehkan pulang. Mungkin mereka akan memerlukan bantuanku. Segera kuselesaikan acara masak di dapur. Meski terburu-buru, setelah mengajar dana hanya ada waktu sekitar dua jam, aku tetap menyempatkan masak makan malam. Siapa tahu Gus Bed berkunjung tiba-tiba. Ah, aku terlalu banyak berharap untuk hal itu. Namun, dari harapan itu aku merasa punya semangat untuk hidup. Selesai membereskan dapur, aku berjalan cepat ke kamar, bersiap dengan berganti pakaian, lalu kukemas barang bawaan. Kakiku akhirnya melangkah menuju rumah Abah Yai, di mana aku dan Mbak Aishwa janji bertemu. Siapa tahu, dengan begitu Mbak Aishwa bisa membujuk Gus Bed juga katanya. Dengan begitu kami bisa berangkat bersama ke rumah sakit. Mbak Aishwa bilang, ini adalah saat-saat yang tepat untukku dan Gus Bed saling mendekat. Belajar ikhlas, saling memaafkan, demi keutuhan rumah tangga san calon bayi kami. Yah ... tentu aku sangat mengingini itu. Tapi, pada kenyataannya suamiku itu semakin dingin dan kembali mendiamkanku sejak Liana sadar. "Dek Raudah!" Suara Mbak Aishwa yang terdengar dari samping rumah membuatku menoleh. Satu kaki yang sudah masuk ke pintu dapur, kutarik kembali. Berbalik dan melihat kakak iparku mendekat. Wanita itu tersenyum seperti biasa. Entah, apa cuma perasaanku saja, Mbak Aishwa lah satu-satunya orang yang menerima kehadiranku dengan tulus di keluarga ini? "Lho, kok Mbak Aishwa belum ...." Ucapanku menggantung. Bukannya kami sudah janjian tadi pagi, akan pergi bersama ke rumah sakit. Tapi wanita itu belum berganti pakaian, dan masih mengenakan seragam mengajar. "Eum, maaf, Dek. Gimana, ya? Suamiku tiba-tiba minta dianter ke rumah orang tuanya karena adeknya lahiran." Mbak Aishwa tersenyum miris. Mungkin karena tak enak padaku. "Oh. Begitu. Ya sudah gak papa Mbak. Mungkin saya bisa pergi dengan Gus Bed," ucapku sengaja menyebut nama Gus, agar Mbak Aishwa berinisiatif mengatakan pada Gus agar mau mengantarku. Namun, yang kudapat malah ekspresi Mbak Aishwa yang terlihat semakin tak nyaman. "Em, itu, Dek. Maaf. Ubed tadi keluar sejak ashar. Dia terburu-buru. Mungkin ada yang diurus. Pas tak telepon, gak nyaut, kayaknya lagi di jalan." "Ouh. Jadi ...." Aku tak bisa menyembunyikan rasa kecewa untuk saat ini. Kalau begitu bagaimana aku bisa keluar? Aku tak enak keluar sendiri tanpa kakak iparku. "Gak papa, Dek. Biar Mbak Aina saja ya yang anter. Aku sudah bilang dia tadi. Nanti kalau kemaleman, tunggu di rumah Liana saja. Biar Ubed yang jemput." Mbak Aiswha menyahut cepat. Ia seperti bisa membaca hatiku saat ini. Tak ingin membuang waktu, aku segera pergi bersama Mbak Aina seperti biasa. Karena ini keadaan darurat, dan hubungan antar keluarga maka aku diminta pergi. "Apa bisa Mbak Aishwa minta Gus jemput saya di rumah sakit saja?" "Eum, gimana ya. Takutnya dia gak buka ponsel sampe malam. Tahu sendirilah kebiasaan Ubed." "Oh, ya sudah, Mbak. Ndak papa. Gimana enaknya saja." __________ Sampai rumah sakit, aku bergegas masuk menuju kamar Liana. Sampai di depan pintu kuminta Mbak Aina untuk pulang saja. Kebetulan, rumahnya ada di dekat rumah sakit. "Iya, Mbak. Nggak papa, nanti biar suami saya yang jemput. Em, kata Mbak Aishwa tadi, biar mobilnya dibawa Mbak aja dulu. Besok bawa ke pesantren pas jam kerja." "Oh, inggih, Ning. Kalau ada apa-apa hubungi saya. Saya bakal stay. Hehe," jawabnya diiringi senyum malu-malu. Kutatap punggung wanita itu hingga benar-benar hilang di belokan. Lalu mengetuk pintu kamar Liana. Namun, sekilas ada yang membuatku gagal fokus. Seorang lelaki yang tertangkap sekilas dari ekor mata. Kupikir dia adalah Gus Bed. Tapi apa iya dia pergi sendiri tanpaku menemui Liana? Tak ingin berprasangka buruk kuabaikan saja dan tak memperhatikannya lagi. Saat ibu Liana membuka pintu, puterinya langsung menyambut dengan ceria. "Wah, Mbak Raudah kok baru nongol?!" tanya Liana. Mungkin karena kami beralasan aku bekerja untuk mereka, jadi dia pikir harusnya aku selalu berada di sisi Liana untuk waktu-waktu sibuk seperti sekarang. Belum lagi aku menjawab dengan beralasan, Liana menyambung kata-katanya. "Wah, bajunya cocok banget Mbak. "Hem?" Aku menaikkan dua alis, bingung. Lalu menatap Ibu Liana mencari jawaban. Wanita paruh baya itu berkedip-kedip memberi kode. "Oh, ya." Aku manggut-manggut. Seolah memahami apa yang Liana maksud. "Makasih, ya. Aku jadi kayak emak-emak. Hahaha." Liana tertawa lepas, aku yang tak nyaman memaksa ikut tertawa. Sementara sang ibu geleng-geleng lihat kelakuan puterinya. Dia benar-benar berubah drastis. "Oya!" Liana berseru. Aku sampai terhenyak. "Ada apa lagi?" tanya sang ibu yang sudah menenteng tas di tangan. "Kak Fay?" tanya Liana pelan. Ya Tuhan, Fay lagi. Apa sungguh Fay saja dalam ingatannya? Ibu Liana mendesah panjang. "Dia sibuk, Li. Apa kamu akan terus mengganggunya? Kamu tau kan dia kesulitan menangkap pelajaran. Sudahlah kita pulang dulu, nanti kita hubungi di rumah." Kali ini ibu Liana memaksa puterinya ke luar, tak memberi kesempatan Liana mempersulit urusan. Sementara aku mengekor keduanya. Sampai di depan mobil Indra, tiba-tiba seorang wanita datang. Wanita itu merebut barang bawaan yang kubawa. Seolah tak rela aku berada dekat dengan keluarga Liana. Siapa dia? Aku bahkan tak mengenalnya. Ekspresi wajahnya juga tak bersahabat. "Biar saya saja," ucapnya dingin. Aku terhenyak, pasrah ketika tubuhnya bergeser mengambil posisiku. "Shin?" Liana menoleh. Perempuan yang dipanggil Shinta itu nyengir. Namun, Liana menautkan dua alis melihat pada wanita tersebut. "Sejak kapan lo kerudunagan?" Hem. Wajar. Rupanya yng Liana ingat adalah masa di mana mereka belum hijrah. Itu kenapa dia menanyakan kenapa temannya itu memakai kerudung. Entah, apa masalahnya juga kenapa dia terlihat begitu benci padaku? "Ah, ini? Tar deh kita cerita-cerita. Lagian lo habis sakit tambah bawel ya, Li. Ayo buruan masuk. Dingin di sini!" seru Shinta mendorong tubuh Liana ke dalam mobil. Aku sampai bingung dan canggung. Seperti dianggap tak ada dan dipedulikan. Mungkin karena semua orang sedang fokus ada Liana. "Mbak pulang aja, biar saya yang gantiin," ucap teman Liana padaku. Ia seperti tengah memaksakan senyum padaku. Aku mengangguk saja. Sungguh tak nyaman rasanya. Padahal kami tak saling kenal, tapi kenapa wanita itu bersikap dingin padaku? Aku terus menatap mobil, dan mendapat ucapan terimakasih dari ibu Liana dan Liana. Namun, teman Liana yang baru datang itu terus menatap dengan sinis padaku. Aku hanya bisa membeku hingga bayangan mobil yang dikemudikan kakak Liana hilang dari pandangan. "Ayo kita pulang!" Suara seseorang yang sangat kukenal mengagetkanku. Saat menoleh Gus Bed sudah berdiri di sampingku dengan tatapan lurus ke depan sana. Apa pria itu memperhatikan bagaimana aku diperlakukan? Aku menatap wajah tampan itu dari samping agak lama. Tanpa sadar tersenyum karena merasa diperhatikan. Gus sepertinya sadar kuperhatikan, lalu menoleh dan tersenyum tipis. Ya Tuhan jantung hampir melompat melihat senyumnya. Apa Gus Bed sekarang sedang merasakan getaran cinta untukku, barang sedikit? Atau hanya iba karena sikap teman Liana tadi yang memperlakukanku seperti penjahat? Entahlah, yang jelas aku bahagia dengan itu. Aku mencintaimu Gus, terimakasih sudah tersenyum untuk istrimu. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD