Angga dan Dina menunggu Andira dan Diba yang sedang diperiksa di dalam ruangan. Sebenarnya Angga bisa saja masuk ke dalam, tapi dia juga harus menemani Dina yang ketiduran di bangku tunggu.
Angga terlihat sangat khawatir dan gelisah, ia menggigit kukunya dan mondar-mandir di depan ruang rawat. Tiba-tiba saja dokter yang menangani Andira keluar dari kamar itu dan menghampiri Angga yang sedang gelisah berat.
"Untung saja kamu membawanya kemari dengan cepat. Jika tidak, mungkin dia akan pingsan" Ucap dokter yang ber-name tag Yuda.
Angga langsung dibuat penasaran dibuat olehnya. Ditambah, kegelisahannya semakin menjadi-jadi dikala ia mengatakan keberuntungannya karena tepat waktu membawa Andira ke rumah sakit.
"Bagaimana keadaan Andira dan Diba, dok?" Tanya Angga dengan cepat.
"Sekarang dia hanya butuh istirahat dan suplemen yang cukup. Ada sesuatu yang harus saya bicarakan dengan kamu. Bisa kita duduk sebentar?" Ujar Dokter Yuda.
"Tentu saja. Maaf ya kalau kita harus duduk diluar. Saya tidak mungkin meninggalkannya sendirian diluar" Ujar Angga.
Angga sangat perhatian kepada Dina sampai membuatnya tidak enak hati meninggalkan anak kecil itu sendirian di luar. Dokter Yuda pun memakluminya dan ikut duduk di bangku luar ruangan. Angga melepas jaketnya dan menyelimuti Dina dari kedinginan. Ia juga memperbaiki tas besar yang digunakannya sebagai bantal tidur.
"Kamu perhatian sekali dengan adiknya" Ucap Dokter Angga ketika melihat sikap perhatian Angga kepada Dina. Ternyata Dokter Yuda memperhatikan tingkah dan sikap Angga kepada adik Andira dan membuatnya tersenyum.
"Ah, iya. Saya cukup dekat dengan mereka sekitar 2 tahun yang lalu dan saya juga cukup dekat dengan mereka. Jadi, gimana keadaan Andira dan Diba sekarang, dok?" Tanya Angga to the point.
"Jadi gini, kamu tau gak kalau Andira sedang mengidap kanker?" Tanya Dokter Yuda kembali.
Tentu saja Angga langsung terkejut dan matanya melotot saking tidak percaya. Sedangkan dokter Yuda hanya mengangguk pelan dengan mimik wajah yang turut bersedih ketika melihat ekspresi terkejut dari Angga.
"Ha!?. Kanker?" Tanya Angga memastikan.
"Ya, meskipun sel kanker baru muncul di otaknya. Mungkin dia tidak pernah menyadari gejala-gejala yang muncul sebelumnya. Tapi kamu tidak usah terlalu khawatir, ini masih bisa disembuhkan asalkan ia punya semangat dan tekad yang kuat untuk menyembuhkan dirinya sendiri" Ujar Dokter Yuda.
"Saya tidak tahu dok. Sama sekali tidak!. Teman saya ini orangnya sangat pendiam. Dia pekerja keras. Dia banting tulang siang dan malam untuk kedua adiknya. Sebenarnya dia lemah menurut saya, tidak seperti yang biasa saya temui saat kuliah" Ujar Angga bercerita.
"Mungkin saja sebelumnya ia sudah mengetahui kondisinya tapi tidak pernah diperhatikan olehnya dan hanya dianggap sepele" Ucap Dokter Yuda.
"Mungkin saja. Dia juga tidak pernah memperhatikan pola makannya. Kadang dia tidak makan seharian dan ia selalu pergi bekerja sampai jam 10 malam setelah pulang dari kampus"Ucap Angga bercerita perihal kesibukan dari Andira.
"Nah, maka dari itu tubuhnya sangat lemah karena ia telah melalaikan kekebalan tubuhnya. Ia terlalu memforsir dirinya sendiri. Mungkin saja dia sudah mengetahui gejala-gejalanya sejak dulu, namun dia mengabaikannya. Karena kamu sebagai temannya, tolong kamu nasehati dia karena mendengar dari cerita kamu, saya yakin dia adalah orang yang keras kepala" Ujar Dokter Yuda.
"Bener banget, dok. Dia keras kepala banget orangnya kalau masalah kesehatan" Ucap Angga.
"Tolong jaga dia ya. Ini baru awal, masih bisa disembuhkan" Ujar Dokter Yuda memberi wejangan.
"Baik dok. Tentu saya akan merawatnya dengan baik. Lalu, bagaimana dengan Diba? Apa benar dia keracunan makanan?" Tanya Angga menanyakan keadaan Diba.
"Iya, anak kecil itu keracunan makanan dan kondisinya perlahan membaik. Kamu tidak usah khawatir" Ucap Dokter Yuda memberi kabar baik pada Angga.
"Apa saya boleh melihatnya, dok?" Tanya Angga untuk meminta izin.
"Tentu saja, tapi mereka butuh istirahat" Ucap Dokter Yuda.
"Ya, dok. Terima kasih banyak" Ujar Angga dengan senyuman.
"Sama-sama. Mari" Ujar Dokter Yuda dan kembali tersenyum pada Angga.
"Ya" Balas Angga.
***
Setelah kepergian dokter Yuda, Angga memperbaiki posisi jaket Dina dan masuk ke dalam ruang rawat Andira dan Dina. Sebelum benar-benar berani masuk ke dalam ruangan itu, Angga cukup lama berdiri di depan pintu. Beberapa kali tangannya meraih engsel pintu, beberapa kali juga ia melepasnya dan terlihat bimbang.
Setelah dia benar-benar masuk, ia berjalan perlahan menghampiri ranjang Andira yang kebetulan juga berdampingan dengan ranjang Diba. Ia menyingkap kelambu pemisah dan melihat Andira yang tertidur. Tak lupa, ia juga melihat keadaan Diba serta mengecek ulang infus yang tersambung ke nadi mereka berdua.
Angga mengambil bangku di dekat toilet dan membawanya ke tengah-tengah brankar Andira dan Dina. Ia duduk menghadap Andira dan memperhatikannya cukup lama sebelum ia berani mengatakan sesuatu yang diluar kendalinya.
"Kenapa kamu selalu membuatku khawatir dan membuatku berani melakukan hal yang tidak seharusnya aku lakukan, Dira?. Untung saja aku membawamu kemari. Jika tidak, mungkin aku tidak tau penyakit yang kamu derita sampai sekarang. Kamu tahu?, kamu telah mengalihkan perhatianku sejak kamu membantuku di projek keselamatan 2 tahun lalu. Kamu berani mengambil resiko untuk terluka demi menyelamatkan aku. Aku tahu, mungkin saja kamu akan melakukan hal yang sama untuk orang lain, tapi bagiku itu adalah hal yang sangat berarti. Hanya kamu yang berani melakukan hal itu bahkan keluargaku sendiri tidak pernah melakukannya untukku. Sejak saat itu, aku mulai berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjagamu bagaimanapun caranya. Aku rela mengambil resiko apapun. Hanya kamu, Dira"
Angga menangis sampai memegang tangan Andira. Namun ia dikejutkan lantaran tangannya kembali digenggam Andira. Ia kira Andira benar-benar tertidur sehingga membuatnya berani untuk mengakui perasaan terdalamnya, namun kini segalanya telah berubah dan Andira telah mengetahui perasaannya yang sebenarnya. Mau di apakan lagi?. Nasi sudah menjadi bubur.
"Maksud kak Angga apa?" Tanya Andira tiba-tiba dan mengejutkan Angga yang menangis sambil menggenggam tangan gadis yang sedang di opname beberapa menit yang lalu.
"Kok kamu bangun sih"
Angga merasa malu sekali di depan Andira bahkan untuk menghapus air matanya saja rasanya terasa sulit dan kaku.
"Aku udah bangun dari tadi sebelum kak Angga masuk kesini. Kak Angga kok nangis?"
"Enggak. Aku gak nangis. Tadi cuman kelilipan aja sama angin"
"Emang bisa ya?. Anginnya kok kenceng banget sampe air mata kak Angga keluar kayak orang nangis gitu"
"Gak udah bahas itu lagi. Gak penting. Yang penting sekarang itu kalo kamu melalaikan dirimu sendiri. Ini adalah masalah yang serius"
"Maksud kak Angga gimana?"
Angga memajukan badannya lebih dekat dari sebelumnya dan berbicara sepelan mungkin supaya tidak terdengar oleh Diba.
"Entah kamu sudah mengetahui hal ini atau tidak, tapi yang penting sekarang ini adalah kamu harus memperhatikan kesehatanmu lebih dari segalanya. Sel kanker sudah muncul di otak kamu. Beruntungnya adalah ini masih bisa diobati"
"Kok kak Angga tau kalau aku kena kanker otak?"
"Kok kamu nanya aku lagi?. Berarti kamu udah tau dong penyakit kamu dari dulu!"
Angga tidak lagi memelankan suaranya. Ia gemas dan menaikkan nada bicaranya karena mengetahui ternyata Andira telah mengetahui dirinya terkena kanker. Melihat dan mendengar Angga demikian, Andira menaruh jari telunjuknya di depan mulut Angga dan otomatis membuat mulutnya terdiam.
"Kak Angga jangan berisik, nanti Diba tau kalau aku sakit"
Andira memelankan suaranya dan melepas jarinya dari depan mulut Angga. Angga yang tadinya berdiri karena terbawa emosi, kini dia kembali duduk di kursinya dan mencoba menetralisir emosi setelah melihat Andira tersenyum kepadanya meski dengan wajah yang pucat pasi.
"Aku boleh minta satu permintaan gak?"
"Apa!?" Sahut Angga terdengar nyolot.
Mendengar Angga menanggapinya dengan nada yang agak keras, Andira berusaha tersenyum dan meraih tangan Angga. Ia menggenggam tangan itu dengan erat. Suhu dingin yang berasal dari tangannya kembali menghangat kala ia menggenggam tangan Angga.
"Boleh gak kita bicara di tempat yang sepi?"
"Sebenarnya mau kamu apa sih!"
"Please, kak. Kali ini aja"
Andira berusaha tersenyum melihat Angga yang kembali emosi. Tiba-tiba Angga melepas genggaman tangan Andira dan keluar dari ruang rawat. Andira merasa kecewa dengan sikap pria yang baru saja keluar itu. Ia hanya menghela nafas kasar dan menatap langit-langit kamar dengan mata yang berlinang.
Tidak lama setelah Angga keluar dari kamar rawat, ia kembali masuk dengan menggendong Dina dan menidurkannya di samping Diba. Ia juga telah membawa kursi roda di belakangnya. Tanpa satu katapun yang terucap dari mulutnya, ia langsung mengangkat tubuh Andira dan membawanya ke kursi roda. Andira hanya terdiam saja diperlakukan seperti itu oleh Angga. Ia hanya tidak bisa berkata-kata lagi untuk menanggapi sikap yang dilakukan Angga sekarang. Ia pasrah dan mencoba bersabar menghadapi kenyataan kalau ternyata penyakitnya semakin hari semakin serius saja.
Setelah memastikan Andira duduk dengan baik di kursi roda, ia kembali memeriksa keadaan Diba dan Dina. Ia memeriksa infus dan memperbaiki selimut mereka. Melihat Angga yang perhatian kepada adik-adiknya, Andira merasa tersentuh.
***
Angga mendorong kursi roda menuju taman rumah sakit. Angin malam rumah sakit sangat terasa dingin dan membuat Angga melakukan inisiatif untuk menyelimuti Andira dengan jaket yang sama yang ia gunakan untuk menyelimuti Dina saat tertidur di ruang tunggu tadi. Andira hanya tersenyum manis kepada Angga.
Diantara mereka berdua sama-sama terdiam. Mereka sama-sama bertarung dengan dinginnya malam. Apalagi Angga, ia sudah merelakan jaketnya untuk menghangatkan Andira.
Andira mengambil inisiatif lebih dulu. Ia memegang dan membawa tangan Angga yang tadinya berpegangan di kursi rodanya menuju depan tubuhnya. Kini Angga berjongkok didepannya dan memegang tangan Andira lebih erat dari sebelumnya.
Andira melihat genggaman tangan mereka berdua. Begitu erat dan hangat. Ia tersenyum dan melihat Angga yang hanya menunjukkan ekspresi penasarannya karena melihat dirinya yang lama-kelamaan menangis.
"Ada apa Andira?. Jangan menangis dong. Andira yang aku kenal itu adalah Andira yang kuat, tangguh dan pintar tidak seperti Andira yang ada di depanku sekarang. Andira yang ada di depanku sekarang adalah Andira yang sangat aku benci. Ia lemah, ringkih dan bodoh. Udah ya, jangan menangis lagi".
Melihat Andira yang menangis di depannya, jiwa kelembutan dan perhatian bak kapas meronta-ronta darinya dan memberikan semangat kepada Andira. Mendengar perkataan Angga, Andira semakin menangis sejadi-jadinya dan menunduk malu. Ia tidak berani melihat Angga secara langsung. Ia malu dengan dirinya sendiri yang ternyata telah membuat orang merasa kecewa.
"Aku hanya merasa tidak berguna kak. Aku adalah anak yang tidak becus. Aku adalah kakak yang tidak berguna. Aku adalah seorang teman yang tidak pantas. Aku menjadi orang yang penyakitan di saat kedua adikku sangat membutuhkan diriku sendiri dan membuat kedua orang tuaku tidak tenang di atas sana karena ketidak-pantasnya diriku sendiri kak"
"Siapa yang bilang begitu, hmm?" Ucap Angga melembut.
"Aku lelah kak. Aku rapuh. Aku ingin mengakhiri hidupku dari dulu. Coba saja mereka berdua tidak pernah terlintas dibayanganku, pasti aku telah tiada dan tidak membuat orang lain merasa kecewa lagi. Kini, aku menjadi manusia penyakitan. Aku semakin membuat kedua adikku menderita lagi kalau aku memberi tahu mereka keadaanku yang sebenarnya"
"Tapi kamu harus kasi tau mereka. Mereka adalah adik kandungmu sendiri. Keluargamu!"
"Jangan!. Jangan kak. Aku mohon sama kakak, jangan kasi tau Diba sama Dina kalau aku punya penyakit kanker. Mereka akan merasa sedih dan aku tidak mau mereka seperti itu. Jangan kasi tau Sila dan semua orang. Hanya kakak yang boleh mengetahui hal ini. Aku percaya sama kakak. Aku mohon kak, jangan mengecewakan aku dengan membocorkan penyakitku ini. Biarkan saja penyakit ini tumbuh dan mengakar di tubuhku. Biarkan aku menjadi Andira yang biasa kalian temui, tidak lagi menjadi Andira yang penyakitan. Aku mohon kak, tolong jangan kasi tau orang lain tentang penyakitku ini".
" Tapi aku gak bisa membiarkanmu merasa kesakitan setiap harinya Andira. Kamu pikir aku orang yang sesempit itu dan membiarkan temanku sendiri kesakitan diatas kebahagiaan orang lain?".
"Aku mohon kak"
Emosi Angga semakin meledak-ledak karena keras kepala yang dimiliki Andira.
"Tidak!. Aku tidak mungkin membiarkanmu kesakitan"
"Hanya ini caranya agar aku bisa beraktivitas seperti biasa. Mereka masih butuh diriku. Aku harus melihat mereka sukses sebelum aku pergi. Aku mohon kak".
" Aku juga mohon sama kamu. Jangan buat aku harus memilih seperti ini. Ini sangat berat untukku. Disatu sisi aku harus mengabaikanmu, membiarkanmu beraktivitas seperti biasa dan membiarkan penyakit itu mengakar di tubuhmu. Disatu sisi aku juga merasa kasihan padamu, pada Diba dan Dina, pada Sila dan pada orang lain, termasuk aku sendiri. Aku juga sangat mengkhawatirkan dirimu, Andira. Aku sangat mengkhawatirkan dirimu melebihi diriku sendiri!"
Angga sudah tidak bisa lagi berbicara lembut dengan Andira. Ia bahkan sampai membentak-bentak supaya Andira tidak bicara ngelantur padanya lagi.
"Karena itu kak. Karena kakak adalah satu-satunya harapan Andira. Hanya kakak yang bisa menjaga mereka setelah aku pergi nanti. Hanya kakak yang bisa mengganti---"
"Stop!. Stop, kamu gak boleh bicara ngelantur lagi. Gak boleh ada kata pergi lagi. Sekarang mau kamu kayak gimana?. Aku harus diam dan merahasiakan penyakitmu?. Oke, asalkan biarkan aku merawatmu. Ingat, aku tidak mau ada bantahan lagi".
Angga pergi meninggalkan Andira setelah ia mengatakan sesuatu dengan nada yang meluap-luap. Namun langkahnya terhenti dikala suara Andira kembali menginterupsinya.
"Kalo kakak pergi, aku masuk sama siapa? Ini masih dingin lo kak"
Angga membalikkan badannya dan menghampiri Andira lagi dengan emosi dan kekesalan yang belum mereda.
"Aku tau kalo kakak bisa aku andalkan. Sesuai perjanjian, kakak rahasiakan penyakit ini, maka aku menerima untuk dirawat oleh kakak asalkan tidak ada yang mengetahuinya"
"Terserah kamu dah. Kamu memang keras kepala kalau di kasi tau"
"You know me so well. Senyum dong"
Andira membujuk Angga untuk tersenyum kepdanya. Ia bahkan menggelitik pinggang Angga, namun gagal. Tidak kunjung melihat senyum Angga, Andira pura-pura bersedih dan menundukkan kepalanya. Tiba-tiba Angga memegang dagunya dan menaikkan kepalanya. Setelah Andira melihatnya, ia menampikkan senyum nan terpaksa miliknya.
***
Mereka berdua kembali bersama mengarungi dinginnya malam. Baik Angga maupun Andira tidak ada yang berani membuka pembicaraan. Rasa malu masih membekas dalam diri mereka karena acara nangis-nangisan beberapa menit lalu.
Angga dengan suka rela dan ikhlas mendorong kursi roda yang diduduki Andira, sedangkan Andira terdiam dan mencoba menikmati waktu yang tersisa dimana rahasia terdalamnya terbongkar dan diketahui oleh seseorang yang sedang menemaninya sekarang.
Sebenarnya Angga punya pertanyaan yang cukup serius untuk Andira, namun ia tidak berani mengutarakannya lantaran tidak ingin mengungkap kembali masalah yang cukup menyakitkan itu. Namun cukup disayangkan, ia bukanlah orang yang begitu sabar untuk menunggu dan ia langsung menanyakan sesuatu yang membuatnya sangat merasa penasaran itu.
"Sejak kapan?"
Andira yang tadinya hanya termenung dan membiarkan pikirannya melanglang buana entah kemana, kini ia tersadar dan kembali ke dunia nyata yang sebenarnya.
"Ha?!" Tanya Andira memastikan.
"Sejak kapan?" Tanya Angga kembali sambil tetap mendorong kursi roda itu.
"Apanya?"
"Sejak kapan kamu tau kanker itu ada di tubuhmu?"
Angga tidak tahan menyebut nama penyakit sakral itu. Bayangan dan kilasan kesakitan selalu muncul di depan matanya. Ia tau persis bagaimana akhir dari sebuah penyakit serius ini karena mama kandungnya sendiri tiada karena hal ini. Karena itu, Angga sangat sensitif sekali dengan kata 'kanker' bahkan kini penyakit itu mengakar di tubuh gadis yang ia sukai.
"Sekitar 5 bulan yang lalu. Aku juga baru tau saat aku pingsan di jalanan. Waktu itu, seperti biasa aku pergi kerja setelah pulang dari kampus. Tapi entah kenapa kepalaku terasa sangat pusing sampai rasanya mataku ingin meledak dari tempatnya, aku tidak bisa melihat dengan jelas, dan tiba-tiba aku tidak sadar lagi. Setelahnya aku tidak tau lagi apa yang terjadi pada diriku sendiri. Yang ku tahu, aku di rumah sakit saat aku sadar dan kata mereka ada seorang lelaki yang membawaku ke rumah sakit. Mereka bilang aku hampir membuatnya menabrakku di jalanan dan dia juga yang membayar biaya rumah sakit. Awalnya aku juga mengira kalau diriku cuma kurang darah seperti biasa, tapi setelah diperiksa dokter, mereka bilang kalau gejala kanker sudah timbul di tubuhku. Percayalah, aku juga sedih waktu itu. Aku sangat kecewa pada diriku sendiri, tapi aku harus kuat, kak. Aku harus kuat demi Diba dan Dina. Aku harus sengaja menganggap penyakit ini tidak ada dalam tubuhku dan bersikap seperti biasanya. Aku mau melihat mereka sukses, kak. Hanya itu keinginanku satu-satunya"
Tanpa diberi perintah terlebih dahulu, air mata Andira kembali mengalir. Mendengar nada suara Andira yang memilukan, Angga juga terbawa suasana dan sedih mendengar curahan hati terdalam dari orang yang sukses membuatnya khawatir itu.
Angga menghentikan langkahnya dan juga berhenti mendorong kursi roda itu. Ia berjalan ke depan Andira dan bersimpuh di depannya. Ia melihat Andira yang menangis sambil menunduk karena malu. Memegang kedua tangan Andira dan tersenyum lebar dikala gadis itu mengangkat kepalanya.
"Tak usah bersedih lagi. Aku disini untukmu. Aku siap membantumu dalam hal apapun termasuk membuat Diba dan Dina sukses. Karena itu, jangan bersedih lagi. Jangan bersedih, tersenyumlah, dan mari kita wujudkan impianmu itu. Percaya sama kakak"
Angga mencoba menguatkan Andira dan menghapus air mata yang mengalir di pipi merah mudanya. Ia juga membawa kepala yang rapuh itu ke dekapannya yang hangat. Ia berjanji untuk mewujudkan impian gadis itu walau apapun rintangan dan halangan yang harus di hadapi.
***
Andira dan Angga masuk ke dalam ruang rawat. Mereka tidak tahu kalau Diba dan Dina sudah bangun dan bingung karena tidak menyadari keberadaan mereka di samping brankarnya.
"Kak Dira tadi kemana? Kok Dina cariin di luar gak ada"
"Kakak tadi pengen ke toilet, tapi gak ada yang nemenin kakak. Jadi kakak minta kak Angga anterin kakak bentar"
Diba dan Dina hanya membentuk O di mulutnya dan mengangguk-anggukkan kepala. Padahal toilet ada di samping brankar mereka. Mereka masih polos dan tidak berpikir terlalu luas.
"Lah, kok kak Dira juga di infus kayak Diba sih?"
"Kak Dira di infus supaya lebih sehat, lebih kuat kayak Diba sama Dina" Jawab Angga.
Sebenarnya Andira akan menjawab pertanyaan dari Dina yang tidak pernah berakhir, namun Angga dengan cepat menyela perkataannya dan menjawab pertanyaan adiknya. Ia pikir Angga bakal jujur dan menceritakan penyakitnya. Ia sudah ancang-ancang akan menyela ucapan Angga lagi, namun setelah mendengar jawaban darinya, ia menghela nafas lega dan kembali tersenyum kepada adiknya.
"Bener kak?. Kakak gak lagi sakit kan?"
Jantung Andira berdebar cepat, bulu kuduknya merinding, jantung rasanya mau copot. Ia bingung mau menjawab pertanyaan adiknya seperti apa. Ia tidak bisa berbohong kepada adiknya. Saking ketidak-pernah dirinya berbohong, ia menjawab pertanyaan Dina dengan terbata-bata.
"Kak.. Kakak..."
Andira keringat dingin. Ia memijit kedua tangannya. Ia bingung dan resah. Melihat keresahan gadis yang duduk di kursi roda itu, Angga kembali menjawab pertanyaan Dina. Ia berlagak layaknya juri bicara Andira.
"Kakak kalian gak sakit kok. Liat aja, dia masih cantik banget kan?"
Tidak lagi ada ketegangan diantara mereka karena guyonan yang dilemparkan Angga. Terutama Andira, ia tidak lagi merasa resah dan gundah bahkan setelah mendengar Angga memujinya seperti itu, pipinya bersemu dan senyuman tidak luntur dari wajahnya. Diba dan Dina juga sama-sama tersenyum malu dan melemparkan woah mereka kepada dua orang dewasa di depannya.
"Woooo... Kak Angga suka sama kak Dira ya?"
"Iya nih. Kak Angga suka sama Kak Dira, tapi kakaknya tolak cinta kakak terus. Ku menangis...."
Angga bahkan melemparkan sebuah kebohongan kepada kedua adik Andira. Saat ia mengatakan bahwa cintanya ditolak oleh Andira, gadis itu melihat Angga lewat kursi rodanya. Ia menongak dan mencolek Angga supaya melihatnya. Angga pun menyadarinya dan melihat Andira balik. Ia mengedipkan satu matanya dan memberi kode supaya menuruti drama yang telah ia rencanakan. Bahkan ia juga bernyanyi di akhir ucapannya seperti suara sinetron-sinetron yang akhir-akhir ini lagi booming.
Diba dan Dina kembali tertawa bahkan sampai terpingkal-pingkal. Melihat mereka tertawa terbahak-bahak seperti itu, Andira pun ikut tertawa dan memegang tangan Angga yang ada di pundaknya.
"Ternyata kak Angga pintar nyanyi juga ya"
Ujar Diba dengan kondisi yang masih lemas.
"Ya iyalah. Itu kan suara kakak yang diputer di sinetronnya. Ku menangisss..."
Angga kembali bernyanyi dan membuat mereka bertiga tertawa. Untuk menambah kesan perfeksionalitasnya, saat ia menyanyikan bait lagu itu, ia juga menaruh tangannya di depan dadan dan berlagak seperti kesakitan. Alhasil, semua orang menertawakannya.
Angga menggendong tubuh Andira dan membawanya ke atas brankar. Padahal ia dan juga Andira telah berdebat sebelumnya. Andira tidak mau untuk digendong di depan Diba dan Dina karena itu akan membuatnya malu, tapi Angga bersikeras untuk membawa tubuhnya ke atas brankar. Alhasil, menanglah Angga.
"Kak Angga, nyanyi lagi dong"
"Kalian mau lagu apa?"
"Terserah kak Angga. Suara kak Angga kan mengalahkan suara Charlie Puth"
"Ahh, kalian bisa aja godain kakak. Yaudah, ada satu lagu yang ingin kakak nyanyikan untuk orang yang spesial dalam hidup kakak"
"Waahhh... Bagus banget suaranya" Ujar Dina.
"Belum!" Sahut semua orang, kebetulan hanya mereka berempat saja di ruangan ini.
Since I’ve known you babe
(Semenjak saya mengenalmu, kasih)
You were a light for me
(Engkau tlah jadi cahaya bagiku)
But taste of your sincerity
(Tapi selera ketulusanmu)
Build me a world to believe
(Membangun dunia tuk diyakini)
But still there’s a doubt
(Tapi tetap saja ada keraguan)
In you for loving me
(Dalam dirimu untuk mencintaiku)
Though deep down inside
(Meskipun di lubuk hatimu)
You see what’s in me
(Kau lihat apa yang ada dalam diriku)
Be my lady
(Jadilah perempuanku,)
Be the one
(Jadilah kekasihku)
And great things will come to our heart
(Dan hal-hal andal kan tiba ke hati kita)
You’re my lady
(Engkau perempuanku,)
You’re my one
(Engkau kekasihku)
Give me chance to show you love
(Beri saya kesempatan tuk tunjukkan cinta kepadamu)
Selama Angga menyanyikan lagu Be My Lady karya Sandy Canester, ia selalu melihat Andira. Andira pun begitu, ia bahkan sampai membelalakkan matanya karena ia tahu persis arti dari lagu itu. Tidak seperti kedua adiknya yang hanya terpesona dan terhanyut dengan kelembutan suara Angga, mereka tidak tahu-menahu arti dari sebuah lagu yang dinyanyikan oleh pria di depan mereka. Andira salah tingkah dan wajahnya memerah bak kepiting rebus.