Worried

1582 Words
Seperti biasa, Andira akan pulang bekerja pada pukul 10 malam, tapi malam ini ia telat untuk pulang dikarenakan ia membantu karyawan lain membersihkan restauran. Setiap hari memang menjadi hari terlelah bagi Andira, ia tidak mempunyai waktu istirahat yang cukup seperti orang lain pada biasanya. Berjalan kaki dari restauran menuju rumahnya adalah hal yang biasa dan ini lebih jauh dua kali lipat ketika ia berjalan menuju kampus. Dulu, Andira terbiasa diantar-jemput oleh sopir pribadinya, namun kini roda berputar dan ia mendapat bagian yang cukup menyedihkan. Sembari berjalan kaki, ia kembali mengingat pelajaran dan penjelasan dari dosen pembimbingnya karena hanya dengan cara inilah ia bisa mempertahankan prestasinya ditengah kesibukannya yang tidak habis setiap hari. Langkah demi langkah Andira berjalan di jalanan yang sepi, melewati beberapa persimpangan dan zebra cross, akhirnya ia sampai di g**g perumahan kosnya. Ia semakin bersemangat menghampiri kosannya dikala melihat lampu kosan yang masih menyala. Hal itu menandakan bahwa kedua adiknya belum kunjung terlelap. "Diba! Dina! Kakak udah pulang!" Panggil Andira dengan semangat. Andira semangat memanggil adiknya sesaat setelah ia menutup pintu. Namun ia merasakan ada yang aneh, biasanya kedua adiknya akan berlari menyambutnya meski mereka sudah tertidur sekalipun. Ia kembali memanggil kedua adiknya lebih keras dari sebelumnya. Tidak lama setelahnya, Dina berlari keluar dengan raut muka khawatir dan lap yang ia pegang kuat serta dengan tangan yang gemetar. "Kak, cepetan ke kamar!. Diba menggigil" Seru Dina saat ia baru saja keluar dari salah satu ruangan dan langsung menyambut kakaknya dengan seruan yang cukup membuat siapapun mungkin saja akan merasa khawatir saat itu juga. "Astaga!" Seru Andira spontan. Andira dan Dina berlari menuju kamar adik kembarnya bahkan tanpa melepas sepatunya terlebih dahulu. Sebelumnya ia tidak pernah melakukan hal ini. Ia selalu disiplin dalam hal apapun terutama kebersihan, namun ini adalah masalah yang berbeda. Adiknya, permata hidupnya sedang sakit tanpa sepengetahuan dirinya. Melihat adiknya yang terkapar lemas, Andira berlari dengan deraian air mata. Ia langsung memangku kepala Diba dan menyentuh dahi adiknya yang sangat panas. Ia mengelus wajah Diba yang pucat pasi bahkan matanya terlalu lemah untuk terbuka. Perasaan was-was sudah melingkupinya semenjak ia mendapat kabar dari adiknya yang satu lagi, Dina. "Sejak kapan badan Diba terasa panas seperti ini, Dina?" Tanya Andira dengan perasaan yang khawatir, terbukti dengan air matanya yang tidak berhenti mengalir. "Sejak kita pulang sekolah deh kayaknya. Saat pulang sekolah Diba bilang kalo dia sakit kepala" Jawab Dina polos. "Kalian makan apa saat jam istirahat?" Tanya Andira sekali lagi, ia penasaran sekaligus memastikan. "Kita makan dimsum pemberian temen. Kata temen kita itu, dia beli dimsum kemaren tapi lupa dibawa pulang, makanya dia kasih kita berdua daripada dibuang. Karena Dina gak terlalu suka makan dimsum, Diba mengambil milik Dina dan memakan semuanya. Uang jajan dari kakak kita tabung soalnya kata Diba buat bantu kakak bayar kosan" Uajr Dina polos tanpa kebohongan satu katapun yang terucap dari lisannya. Dina menjawab pertanyaan Andira dengan sesegukan. Mendengar kedua adiknya yang menggunakan uang jajan pemberiannya untuk menabung dan membantunya membayar kosan, Andira semakin menangis dan meraih Dina yang ikutan menangis di sampingnya. Ia memeluk kedua adiknya erat dan mereka bertiga menangis. *** Setelah puas menangisi nasib kurang beruntung mereka, Andira menyuruh Dina untuk mengambil air hangat lagi untuk mengompres Diba. Tiba-tiba Diba muntah dan mengeluarkan semua isi perutnya. Andira merawat Diba dengan telaten dan tanpa merasa jijik sedikitpun. Tiba-tiba Andira teringat perkataan Angga tentang ciri-ciri orang yang keracunan makanan. Biasanya mereka yabg keracunan akan merasa mual, muntah, dan tubuhnya akan lemas. Andira sangat yakin kalau adiknya sekarang sedang keracunan makanan mengingat dari cerita adiknya yang satu lagi kalau Diba telah makan dimsum yang mungkin saja sudah basi. Tidak ingin menyiksa adiknya terlalu lama, ia menidurkan kembali kepala Diba di bantal dan mengambil tas besar di lemari bagian bawah. Dina baru saja masuk membawa air hangat dengan baskom, ia heran dengan kakaknya yang terlihat sedang memasukkan baju kedalam tas besar. "Kakak ngapain masukin baju ke tas besar itu? Kita mau kemana?" Tanya Dina penasaran karena ia menemukan kakaknya yang sibuk mengemas beberapa helai baju ke dalam tas besar. "Kita harus ke rumah sakit sekarang!. Ini bukan demam biasa, Diba keracunan makanan. Sekarang Dina bawa tas ini keluar g**g, kakak akan gendong Diba keluar. Dina tunggu kakak disana, oke?" Perintah Andira pada Dina. Dina langsung mengangguk yakin dan mengambil tas besar yang berisi beberapa helai pakaian mereka berdua, pakaian milik Diba dan Dina. Meski tas yang dibawanya besar, Dina mengambilnya tanpa komentar apapun dan berlari keluar dari kosan. Sedangkan Andira langsung menggendong Diba dan membawanya keluar sekuat tenaga tersisa yang ia punya. Meski kondisi tubuhnya belum pulih, namun keselamatan adiknya jauh lebih penting dari dirinya sendiri. Meski dengan tubuh yang lemas, kepala yang berdenyut, Andira berhasil menggendong adiknya sampai di depan g**g. Ia berhenti di sana dan menidurkan adiknya dengan tas besar itu sebagai bantalnya, sedangkan dirinya berusaha untuk memberhentikan taksi yang lewat. Namun cukup disayangkan, karena mereka keluar di tengah malam, jarang ada taksi yang bakal lewat, terlebih jalanan di depan g**g mereka termasuk jalanan yang jarang untuk taksi lewati. Andira berpikir keras bagaimana caranya membawa adiknya ke rumah sakit dengan tepat waktu. Ia tidak mungkin menggendong adiknya sampai ke rumah sakit dengan kondisi tubuhnya yang lemah. Satu-satunya cara agar ia bisa membawa adiknya adalah menghubungi salah satu kontak yang ada di ponsel bututnya dan ia memilih nama Angga sebagai penolongnya malam ini. Meski dengan perasaan canggung, ia memantapkan hatinya untuk menghubungi Angga demi keselamatan adiknya juga demi kedamaian hatinya yang sedang resah gelisah tidak karuan. Ia mengambil ponsel jadulnya dari celana jeans dan mencari nama orang yang dicarinya. Karena terburu-buru dan perasaan was-wasnya semakin menjadi-jadi, ia beberapa kali mengulangi hal yang sama karena nama kontak Angga terlewatkan olehnya. "Halo kak Angga" Ucap Andira pertama kali saat panggilannya dijawab oleh orang yang berada di seberang sana. "Halo Andira. Ada apa kamu nelpon malam-malam. Gak biasanya kamu seperti ini" Sahut Angga dari seberang sana. "Kak Angga lagi sibuk gak?" Tanya Andira sedikit ragu. "Gak terlalu sih. Aku lagi nulis laporan praktek kemarin. Emangnya ada apa sih, kok nada bicara kamu kayak khawatir gitu" Ujar Angga terdengar khawatir dan sedikit penasaran. "Aku boleh minta bantuan kakak gak?" Ujar Andira. "Pasti dong. Apa tuh?" Sahut Angga pasti. "Kakak boleh jemput aku sama kedua adikku gak? Diba keracunan makanan. Aku gak tau lagi gimana caranya supaya aku bisa membawa Diba tepat waktu. Udah lama aku menunggu taksi, tapi tak ada satupun yang lewat. Kalo memang tidak merepotkan kak Angga, boleh gak kak Angga menjemput kami sekarang. Hanya kakak yang bisa Andira harapkan sekarang" Ujar Andira dengan cepat setelah mendengar kesanggupan dari pria itu. Andira berbicara dengan Angga lewat telepon dengan nada khawatir bahkan sampai mentransfer rasa ke-khawatirannya itu kepada orang yang sekarang dihubunginya. "Tentu saja. Aku berangkat sekarang. Kalian tunggu aku di depan g**g" Ujar Angga dengan nada yang khawatir. "Iya kak. Terima kasih banyak. Hati-hati" Ujar Andira sedikit melega. "Iya" Jawab Angga di seberang sana. Andira memutus sambungan ponselnya dan menghampiri Diba dan Dina yang bersandar di tas besar yang sudah di packingnya. "Tunggu sebentar ya. Temen kakak akan datang menjemput kita" Ucap Andira pada kedua adiknya. *** Mobil berwarna hitam berhenti di depan tiga orang yang sedang duduk di tepi jalan. Tidak lain dan tidak bukan, mobil itu adalah milik Angga. Angga buru-buru keluar dari mobil dan berlari menghampiri mereka. "Ayo cepat masuk ke dalam mobil!" Seru Angga. Sebelum menyuruh mereka masuk ke dalam mobil, terlebih dahulu ia memeriksa Diba. Tidak lupa juga ia memperhatikan Dina, terlebih Andira. Melihat Andira yang terlihat lemas, rasa kekhawatirannya semakin menjadi-jadi. "Tolong bawa mereka lebih dulu ke mobil!" Pinta Andira. Angga terlebih dahulu menggendong Diba dan membawanya ke dalam mobil, sedangkan Dina sudah masuk lebih dulu sebelum Angga. Angga kembali menghampiri Andira yang masih duduk di tepi jalan. Ia membantu Andira bangun dan mendampinginya sampai mobil. Awalnya Angga membukakannya pintu di samping kemudi, namun ia menolak dan lebih memilih menemani adik-adiknya di kursi belakang. Angga pun pasrah dan masuk ke mobil serta mengendarai mobilnya dengan laju. Karena jalanan yang cukup sepi, Angga melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Sesekali ia melihat ke arah belakang lewat kaca spionnya. Ke-khawatirnya semakin menjadi-jadi ketika melihat Andira nangis sesegukan di tengah kondisi tubuhnya yang lemah. Pasalnya, Andira yang ia temui sekarang sangat berbeda jauh dengan Andira yang ia temui di kampus. Berbeda jauh!. *** Mobil Angga berhenti di parkiran rumah sakit terdekat dari kosan Andira. Ia lebih memilih alternatif rumah sakit terdekat daripada yang terbaik. "Kalian tunggu dulu. Aku mau kasi tau pegawai yang jaga, kalian diam di sini" Perintah Angga. Angga bergegas keluar dan berlari ke dalam rumah sakit. Tidak lama setelahnya datang tiga perawat serta satu dokter sambil membawa dua brankar ke dekat mobil Angga. Angga membuka pintu mobil, menggendong Diba menuju brankar dan langsung dilarikan masuk ke dalam. Andira dan Dina juga keluar dari mobil. "Satunya lagi buat siapa kak?" Tanya Dina. "Buat kak Andira" Jawab Angga. Andira yang tubuhnya masih merasa lemas pun langsung dikejutkan dengan jawaban Angga. Tanpa perlawanan sedikitpun, Angga langsung menggendong Andira ke atas brankar. "Kok aku juga jadi pasien? Turunin aku sekarang juga kak!" Ujar Andira. "Gak bakal!. Kamu juga harus dirawat Andira" Ucap Angga tegas. "Tapi aku gak sa--" "Please Andira!. Please. Jangan buat aku khawatir sama kamu dan melakukan hal yang lebih gila lagi" Ucap Angga membungkam Andira. Andira yang tadinya memberontak di atas brankar, langsung terdiam dan membeku. Beda halnya dengan Andira yang membatu, saat ini Angga sangat khawatir dan marah sampai membuat wajahnya memerah seperti kepiting rebus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD