'Seandainya kita seperti dulu lagi, tidak mungkin kakak membawakan kalian makanan sisa' ucap Andira dalam batinnya. Air mata Andira berlinang dan langsung ia seka agar tidak di lihat oleh kedua adiknya.
"Pelan-pelan ya sayang. Besok kakak bawain lagi" ujar Andira terharu.
Andira menyeka sisa makanan yang hinggap di samping mulut kedua adik kembarnya. Meski sekarang perutnya keroncongan dan memberontak untuk diisi, ia lebih memilih untuk menyenangkan perut kedua adiknya karena bagaimanapun mereka adalah permata satu-satunya yang dimilikinya.
"Kakak pergi ke kamar dulu ya. Kakak harus belajar. Kalian jangan lupa, setelah ini cuci tangan dan kaki kalian, terus tidur yang nyenyak, oke?" Tanya Andira memastikan.
"Siap komandan!" Seru Diba dan Dina serempak.
Andira berdiri dengan badan yang lemas karena belum ada satu pun makanan yang masuk ke perutnya sedari pagi. Kepalanya berkunang, penglihatannya kabur, ia bangun sekuat tenaga dan senatural mungkin supaya kedua adiknya tidak menyadari kondisi tubuhnya.
Sampai di depan kamar, ia berhenti dan menyangga tubuhnya di pintu dan melihat kedua adiknya yang masih senang dan bahagia menyantap makanan yang di bawanya dari tempatnya bekerja. Melihat senyum bahagia dari adik-adiknya, senyuman itu menular kepadanya.
Andira masuk ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat. Ia berjalan sempoyongan menuju ranjang dan duduk di tepi ranjangnya yang bersih dan rapi. Ia termenung dan melamun cukup lama. Ia memikirkan takdir hidupnya dan kedua adiknya. Kegiatan ini memang selalu dilakukan Andira setiap malam, ia termenung dan lama-kelamaan membuatnya menitikkan air mata. Namun ia bisa apa, takdir memang telah menguji hidupnya habis-habisan.
Meski ia harus melakukan aktivitasnya dari dini hari hingga malam, namun segala kebersihan dan kerapian kosan adalah tanggung jawabnya. Ia harus menguatkan mental dan fisiknya karena hanya dirinya lah satu-satunya harapan kedua adiknya.
Kondisi tubuh Andira belum sepenuhnya stabil. Masih dengan kepala yang berdenyut, dia menguatkan fisiknya dan berjalan ke meja belajarnya. Meski dia sudah mendapat pujian dari dosen pembimbing dan membuatnya mendapat beasiswa S2, namun belajar adalah kebutuhan wajib bagi Andira. Belajar dan bekerja adalah satu-satunya harapan terakhir Andira untuk adik-adiknya.
Ia menyalakan lampu belajarnya, mengambil salah satu buku referensi dan fokus untuk memahami bacaan dari buku meski otaknya belum sepenuhnya bisa memproses maksud dari apa yang di bacanya. Bola matanya lincah menari ke kiri dan ke kanan, tangannya bergerak membolak-balik halaman yang sekian menit di habiskan banyak olehnya.
Tik... Tik...
Darah segar meluncur dari hidungnya. Penglihatan Andira buram dan kepalanya sangat pusing serta suhu badannya yang sangat panas. Ia langsung mendongak dan menyeka hidungnya agar tidak keluar darah lagi dan melihat jam dinding yang menempel di atas ranjangnya.
"Sudah jam 12. Dina sama Diba udah tidur gak ya?" Tanya Andira pada isi kamarnya yang tak bernyawa.
Andira berdiri dan keluar dari kamar. Ia berjalan sempoyongan dan tubuhnya sangat lemas. Ia berjalan menuju kamar kedua adiknya. Sebelum sampai di kamar mereka, ia terlebih dahulu menuju dapur dan mencari sesuatu yang bisa dimakannya. Lama mencari makanan yang layak untuk dimakan olehnya, akhirnya ia melihat sebungkus roti yang sering di beli oleh kedua adiknya dan biasanya roti itu selalu di sisakan supaya Andira bisa memakannya sepulang bekerja.
Ia mengambil bungkus roti itu dan membawanya menuju kamar adiknya. Ia membuka pintu dan melihat mereka yang sudah tertidur pulas setelah memakan makanan yang dibawa olehnya dengan geragas. Ia masuk ke dalam dan memperbaiki selimut adiknya yang melorot.
Ia duduk sebentar di sisi ranjang dan mengamati kedua adiknya yang pulas tertidur. Ia berdiri dan berjalan ke meja belajar adiknya yang berantakan dan merapikan adiknya serta memilah buku yang harus dibawanya besok.
"Kakak sayang kalian" Ucap Andira.
Andira mencium kening kedua adiknya dengan sayang dan mengelus surai mereka. Ia keluar dari kamar adiknya dan kembali menuju kamarnya. Ia segera memakan sebuah roti bungkus yang ditemukannya di dapur, tidak lupa dengan air minum yang selalu disediakannya.
"Tidak apa dengan sebungkus roti sehari asalkan kebutuhan kalian tercukupi. Kakak berjanji akan membahagiakan kalian dan membuat kalian sukses nantinya. Kakak juga berjanji kalo kalian tidak akan mengalami apa yang kakak rasakan sekarang. Apapun akan kakak lakukan demi kalian" Ucap Andira dan mengelus figur yang selalu menemani malamnya.
***
Seorang perempuan yang berpakaian sederhana serta dua anak perempuan kembar yang memakai baju putih, sepatu hitam polos dan bawahan berwarna merah serta topi di kepala sudah siap di pagi-pagi buta.
"Ayo berangkat!" Seru Andira pada kedua adiknya.
Andira dan kedua adiknya selalu bersama berangkat sekolah karena memang jalur yang mereka lalui sama. Biasanya mereka akan berangkat pagi-pagi buta sekali dikarenakan mereka harus berjalan kaki menuju sekolah mereka dan jaraknya lumayan jauh sehingga mereka berangkat lebih awal supaya tidak telat.
"Papa sama mama gimana ya kabarnya di atas?" Tanya salah satu dari mereka.
"Tentu saja mereka sangat bahagia melihat Dina dan Diba menjadi anak yang rajin, pintar dan membanggakan orang tua terutama kakak" Jawab Andira.
"Syukur deh" Sahut dua anak kecil itu serempak.
Sebenarnya Andira cukup sedih mendengar adiknya yang menanyakan kabar orang tuanya yang sudah tiada. Tapi mau gimana lagi, hidup mereka memang sudah digariskan se-menyedihkan ini.
Mereka harus melewati jalan raya setelah sedikit g**g dari kosan mereka sehingga membuat Andira harus ekstra hati-hati dan menjaga kedua adiknya dengan ekstra juga.
"Hati-hati!. Kita udah sampai di jalan raya. Meski ada jalan khusus untuk pejalan kaki, tapi banyak pengendara lain yang tidak mematuhi aturan. Kadang karena mereka terburu-buru atau ada urusan penting lainnya, mereka juga mengambil hak pejalan kaki dan berkendara lewat jalan yang kita lewati sekarang. Kalian pulangnya harus hati-hati ya" Ujar Andira.
"Siap!. Emang banyak yang kayak gitu ya kak?. Suka mengambil hak orang lain?" Tanya Diba.
"Tentu saja. Banyak orang yang melakukan kebaikan, tapi ada juga yang melakukan kesalahan. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Siang, malam, sehat, sakit, dan masih banyak lagi perbedaan yang harus kita hargai"Ujar Andira memberi petuah.
"Bagaimana dengan teman Diba yang beda agama kak? Apa kami harus menjauhi mereka dan cari teman yang sama agamanya sama kita?" Tanya Diba.
"Jangan!. Jangan seperti itu. Kalian tidak boleh memilih dalam berteman. Kakak kan sudah bilang kalo banyak sekali perbedaan di dunia ini. Adanya perbedaan itu agar kita bisa saling menghargai satu sama lain, bukan menjauhi bahkan saling membenci. Diba sama Dina pernah dengar kisah si gajah dan si bangau, gak?" Tanya Andira.
"Sudah. Kan kakak sering dongengin kita berdua sebelum tidur" Jawab Dina.
"Nah, kakak pernah cerita kan?. Gajah itu salah satu hewan yang tubuhnya besar sedangkan burung bangau adalah salah satu hewan yang kecil. Secara fisik, mereka sudah berbeda jauh. Setiap bangau hinggap di tubuh gajah, mereka tidak pernah berantem. Nah, seperti itulah perbedaan. Kita harus saling menghargai satu sama lain dan kita jangan saling membenci. Mau apapun agama teman kita, kita harus tetap berteman dengan mereka karena kita adalah makhluk yang sama dan sifat kita itu adalah makhluk sosial dimana kita juga membutuhkan peranan dari orang lain. Kalau misalkan kita suka pilih-pilih teman, terus kita lagi ada masalah, nanti mereka juga gak mau bantu kita. Jadi, kalian harus baik-baik sama orang. Jangan pilih-pilih teman, oke?"
"Siap!"Seru keduanya.
"Kalian udah sampai di sekolah. Jangan lupa sarapan dan belajar yang giat ya. Kakak berangkat kuliah dulu" Ujar Andria berpamitan dan pergi setelah kedua adiknya salim kepadanya.
***
"Ira, boleh pinjam catatan kelas yang kemarin gak?. Aku lupa nyatet soalnya" ujar Sila tiba-tiba.
Andira dan Sila duduk bersebelahan di kelas. Kelas belum dimulai, karena itu Sila berani meminjam catatan Andira diam-diam supaya teman yang lain tidak melihat aksi mereka. Banyak mahasiswa/i lain yang ingin meminjam catatan super milik Andira bahkan ada juga yang sampai menawarnya hingga jutaan untuk satu buku, namun ia selalu menolaknya.
"Kamu mah gak pernah nyatet, pake alasan lupa segala. Nih, tapi jangan kasi tau yang lain" Ledek Andira pada sahabat karibnya itu.
Andira menyerahkan catatan super miliknya yang berwarna biru dongker kepada Sila, namun sebelum menyerahkan buku itu, ia harus menoleh ke segala arah agar tidak di lihat oleh temannya yang lain.
"Yes. Thanks a lot sayangkuh" Ucap Sila mengucapkan rasa terima kasihnya dengan gelagat yang sengaja dilebih-lebihkan.
"Andira!" Panggil seorang pria berkaca mata.
Dia adalah Angga Tiordana, mahasiswa fakultas kedokteran. Seorang pria tampan dengan kaca mata yang selalu bertengger di hidungnya, rambut klimis, garis rahang yang tegas, dan semua pahatan wajah maupun tubuhnya bagaikan seorang dewa.
Merasa di panggil, Andira menoleh ke sumber suara, begitu juga dengan Sila. Ia menghentikan aksi menulis cepatnya dan melihat suara yang dikaguminya sejak semester 3.
"Kok my love panggil kamu sih Ira. Kenapa dia tidak memanggilku atau jangan-jangan kamu berkhianat di belakangku?" Tanya Sila curiga.
"Jangan ngadi-ngadi deh. Mana mungkin aku berkhianat sama sahabat rasa saudaraku yang cantik jelita ini. Aku ada project sama dia. Tenang, kami tidak berdua kok. Kami satu tim yang isinya dua belas mahasiswa, jadi tenang saja. Aku tidak akan mengambil your love kok. Aku pergi ya, banyak yang nunggu aku. Dadah!"
Andira meninggalkan Sila yang masih merenggut dan kesal. Ia menghampiri Angga yang sedang menunggunya di depan pintu kelas dan mereka pergi setelah Angga menyadari kehadiran Andira.
"Kok lama banget sih. Kamu bicara apa sama si cempreng?" Tanya Angga penasaran.
"Penasaran ya?" Ledek Andira.
"Ni anak memang bener-bener" Ujar Angga kesal.
"Hahaha"
Andira tertawa dan menularkannya kepada Angga.