8. Tidak Memiliki Pilihan Lain

1033 Words
Sementara Wolf terus bertanya-tanya, kakinya terus melangkah mengikuti Yuriko. Ia tidak mempedulikan para karyawan berlalu-lalang mulai kembali ke ruangannya masing-masing. Ia bahkan mengabaikan sapaan bawahannya dan terus menatap punggung Yuriko yang kian menjauh. "Sepertinya rencanaku mengubah beberapa poin di surat perjanjian nikah kontrak memang benar," bisik Wolf sambil menahan senyumnya. Tidak jauh dari lift, Yuriko nampak ragu-ragu. Wanita itu ingin langsung pergi ke ruangan Wolf, tetapi tidak tahu harus mengatakan apa nantinya. Akhirnya, ia masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka tiga puluh satu. "Aku harus sampai ruanganku lebih dulu," bisik Wolf lekas berlari setelah melihat lift yang Yuriko naiki menuju ke lantai tiga puluh satu di mana ruangannya berada. Pria itu masuk ke dalam lift khusus direktur. Memencet tombol dengan tidak sabaran. Berjalan ke sana kemari memikirkan Yuriko keluar lift lebih dulu. Benar saja apa yang ia pikirkan. Ketika lift terbuka, ia melihat Yuriko melangkah ke depan. "Oh my God, oh my God," lirih Wolf terkejut. Pria itu melihat Yuriko membalikkan tubuhnya. Ia lekas menutup lift takut akan ketahuan. Lalu, ia menekan tombol lift lagi dan pintu perlahan terbuka. Ia melihat Yuriko berjalan bolak-balik seolah ragu untuk menuju ruangannya. Hingga pada akhirnya, Yuriko kembali masuk ke dalam lift dan menuju ruang kerjanya sendiri. "Aku yakin, Yuri sedang kebingungan," lirih Wolf sambil melangkah keluar. Menatap lift yang Yuriko gunakan sebelum akhirnya pergi ke ruangannya. Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Wolf yang sedang sibuk memeriksa dokumen tidak berpikir bahwa orang itu adalah Yuriko. "Masuk!" seru Wolf. Sepersekian detik kemudian, pintu terbuka dan terpampang sosok Yuriko. Wolf yang sedang sibuk menatap lembar dokumen tidak berniat membuka suara. "Selamat siang, Pak," sapa Yuriko. Mendengar suara wanita yang mampu membuatnya hilang kendali, sontak Wolf mengangkat pandangan. Menatap Yuriko berbinar dengan senyum tipis menghiasai wajahnya. "Untuk apa kau datang ke sini? Bukankah sudah kubilang untuk tidak muncul di depanku lagi?" tanya Wolf dingin. Raut wajahnya pun langsung berubah tidak kalah dingin dengan suaranya. "Ma-maaf. A-anu ... Sa-saya ... Saya hanya ingin mengembalikan ini." Dengan suara yang terbata-bata, Yuriko melangkah maju, dan meletakkan paper bag berisi jas di meja, "Terimakasih atas bantuan Anda semalam, Pak," sambung wanita itu dengan suara yang sedikit bergetar. Kemudian, ia kembali melangkah mundur. "Jadi, kau menemuiku hanya untuk mengembalikan ini?" Wolf menatap Yuriko tidak percaya, "Buang saja ke tempat sampah. Aku sudah tidak menginginkan jas itu," lanjut Zeus sambil mendorong paper bag itu hingga jatuh ke lantai. Saat ini, Wolf sedang berpura-pura bersikap dingin. Kekesalan yang Yuriko buat sebelumnya sudah musnah dan sekarang digantikan dengan rasa ketidaksabaran. Ia sudah tidak sabar ingin mendengar Yuriko mengajaknya menikah. Ya, meskipun itu hanya nikah kontrak, tetapi itu hanya sebuah alibi. Wolf sudah meminta Reza untuk menambah beberapa poin dan mengubahnya juga. Ia meletakkan lembar kosong di antara lembar lainnya dan akan mengubah poin kontrak satu tahun menjadi selamanya. Selain itu, masih ada poin yang diganti dan ditambah. "Jika sudah selesai, keluarlah karena masih banyak pekerjaan yang harus aku urus," usir Wolf dingin. Pria itu kembali fokus pada lembar dokumen dan tidak mempedulikan Yuriko. Entah sudah berapa lama, akhirnya ia mengangkat pandangan dan melihat Yuriko berdiri sambil memilin ujung bajunya. "Kenapa kau masih di sini? Kau akan pergi sendiri atau aku yang akan menyeretmu keluar!" ancam Wolf. "Mmm ... A-anu, Pak." Yuriko terlihat sangat kebingungan. "Anu apa?" tanya Wolf dingin sambil menatap tajam Yuriko. "Untuk tawaran nikah kontrak, apa masih berlaku?" Akhirnya meluncur juga pertanyaan yang Wolf tunggu-tunggu, "Kalau masih, mari kita lakukan sekarang," sambung Yuriko yakin. Ia tahu bahwa dirinya tidak memiliki pilihan lain. Neneknya harus segera dioperasi dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Gajinya per bulan tidak akan ada artinya dan apabila mencari pekerjaan paruh waktu lain pun, ia tidak akan langsung mendapatkan uang banyak hari itu juga. Mungkin jika bisa, hanya pekerjaan menjual diri yang bisa ia lakukan. "Kenapa Pak Wolf diam saja? Masih berlaku atau tidak?" tanya Yuriko tidak sabaran. "Tidak. Pergilah dan jangan ganggu aku," sahut wolf mengusir. "A-apa?" Yuriko begitu terkejut mendengar jawaban Wolf, "Kenapa tidak? Baru lewat beberapa jam dan sudah tidak berlaku?" Wanita itu melangkah maju karena kesal. "Memangnya kenapa? Terserah aku mau masih berlaku atau tidak. Salahmu sendiri menolak tawaranku sampai dua kali. Memangnya kau pikir kau siapa? Kenapa aku harus memberimu kesempatan sampai tiga kali?" Wolf balik bertanya dengan nada malas. Pria itu sengaja jual mahal karena yakin kalau Yuriko akan berusaha membujuknya. Hal itu terjadi karena ia memiliki kunci di mana Yuriko membutuhkan banyak uang untuk biaya operasi neneknya. "Untuk masalah itu, saya minta maaf. Saya mengaku salah. Jadi, bisakah Anda membuka kembali penawaran nikah kontrak?" pinta Yuriko sambil mengatupkan kedua telapak tangannya. "Apa untungnya buat aku?" tanya pria itu masih berusaha mengulur waktu. "Untuk keuntungannya, hanya Pak Wolf sendiri yang tahu karena Pak Wolf yang menawari saya nikah kontrak," sahut Yuriko membalikkan jawaban. "Aku tahu." Raut wajah Wolf berubah tidak enak karena pembalikan itu. Ia lekas meraih map perjanjian nikah kontrak di rak dan menyerahkannya pada Yuriko, "Tandatangani ini di setiap lembarnya." Tanpa pikir panjang, Yuriko melangkah maju dan meraih map itu beserta bolpoin. Kemudian, mulai menandatangani di setiap lembarnya tanpa membacanya lebih dulu. "Sudah selesai. Jadi, bisakah saya meminta imbalan dari nikah kontrak ini sekarang?" kata Yuriko sambil menyodorkan map itu kembali pada Wolf. "Kenapa kau jadi tidak sabaran seperti ini, Yuri?" tanya Wolf sambil mengerutkan keningnya. "Nenek saya harus dioperasi dan butuh biaya banyak. Jadi, bisakah kita pergi ke rumah sakit sekarang untuk menyelesaikan administrasi?" sanggah Yuriko menggebu. "Oh, begitu. Baiklah," ujar Wolf sedatar mungkin. Pria itu bergegas merapikan dokumen di meja dan beranjak berdiri. Berjalan memutari mejanya dan meraih tangan Yuriko. Ia bersikap seolah apa yang ia lakukan saat ini hal biasa. Sedangkan Yuriko, wanita itu mengerutkan keningnya sambil menatap tangannya dan Wolf bergantian. "Pak Wolf?" panggil Yuriko. "Ya, ada apa?" tanya pria itu. "Ngomong-ngomong, bisa lepaskan tangan saya tidak, Pak. Saya takut karyawan lain akan melihat kalau kita berjalan sambil berpegangan tangan," pinta Yuriko menjelaskan. Masuk ke ruangan Wolf saja langsung jadi pergunjingan seluruh perusahaan. Apalagi kalau sampai ada yang melihat dirinya tengah bergandengan tangan dengan Wolf di perusahaan. Bisa habis diamuk seluruh karyawan wanita nanti. "Pak?" panggil Yuriko dengan nada merengek. Pasalnya, meskipun ia sudah menjelaskan, tetapi Wolf tidak mau melepaskan tangannya dan justru semakin mengeratkan genggaman tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD