chapter 2

2059 Words
Mendengar perkataan itu, Kacak makin meradang. Hatinya bertambah panas, lebih-lebih mendengar nama orang yang dikatakan Kadirun itu, orang yang tidak disukainya. Sejak kenduri di masjid, hatinya sudah mulai benci kepada Midun. Dengan tidak berkata-kata lagi, lalu diturutnya Midun.  Ketika ia sampai di hadapan Midun, kebetulan Midun sedang tersenyum. Pada pikiran Kacak menertawakannya. Ia tidak ber- tanya lagi, terus ditinjunya. Midun mengelak, ia tak kena. Kacak menyerang berturut-turut, tetapi Midun selalu mengelak diri, sambil undur ke belakang. Kesudahannya Midun tersesak ke balai-balai dangau, lalu bertalian. Kacak menyerbukan diri dengan deras. Midun melompat dan mengelak ke kiri. Karena  deras datang, tangannya tertumbuk ke tonggak dangau. Tonggak dangau itu rebah, Kacak terdorong ke dalam, diimpit oleh atap dangau itu. Orang tertawa karena geli melihat kepala Kacak tersembul pada atap rumbia. Jenang lalu melompat akan melerai perkelahian itu. Makin disabarkan, makin keras Kacak hendak menyerang. Midun sabar saja, sedikit pun tak ada terbayang hati marah pada mukanya.  Setelah Kacak disabarkan, Midun disuruh orang menerang- kan apa arti kata "cempedak hutan" yang dikatakan Kadirun itu. Midun mencari Kadirun dengan matanya di dalam orang banyak, akan menyuruh menerangkan arti perkataan itu. Tetapi ketika perkelahian terjadi, Kadirun sudah melarikan diri karena ketakutan.  Midun berkata, katanya, "Kawan-kawan saya tertawa itu sekali-kali tidak menertawakan Engku Muda Kacak. Tentu saja mereka itu tidak berani menertawakannya. Mereka tertawa karena mengenangkan perangainya semasa kanak-kanak. Dahulu waktu kami kecil-kecil, pergi menggembalakan kerbau ke hutan. Sampai dalam hutan, kami duduk saja di atas punggung kerbau masing-masing. Sambil memberi makan kerbau kami bernyanyi dan bersenda gurau sesuka-suka hati. Karena pekerjaan itu tidak berfaedah, melainkan menghabiskan hari saja, saya ajak kawan-kawan mufakat di bawah sepohon kayu yang rindang. Saya katakan kepadanya, daripada ber- nyanyi, lebih baik kita mencari hasil di hutan itu. Kawan-kawan tidak mau, karena mereka takut kerbaunya diserang binatang buas. Maka saya terangkanlah kepada mereka itu bagaimana cerita ayah saya tentang keinginan kerbau menjaga diri dalam hutan. Saya katakan juga, manakala kerbau diserang harimau misalnya, tidaklah akan terjaga, sebab kita semuanya masih kanak-kanak.  Mendengar saya mengatakan 'harimau', apalagi di dalam hutan, kawan-kawan saya ketakutan. Mereka melarang saya menyebut nama itu sekali lagi. Jika saya hendak menyebut juga, disuruhnya panggilkan saja 'inyi!' Perkataan kawan-kawan saya itu saya bantah pula. Sedangkan nama Allah disebut orang, istimewa nama binatang. Apalagi binatang itu tidak akan mengerti perkataan orang.  Dalam pada saya bercerita itu, tiba-tiba kedengaran bunyi sebagai barang jatuh dua kali. Bunyi itu kedengaran tidak jauh daripada kami. Kawan-kawan saya terkejut dan kecut hatinya.  Pada persangkaan mereka, tak dapat tiada harimau yang melompat. Mereka itu duduk berdesak-desak, masing-masing hendak ke tengah akan melindungi diri. Berimpit-impit tidak bertentu lagu. Kelihatan tak ada ubahnya sebagai onggokan kecil. Seorang pun tak ada yang berani mengeluarkan per- kataan, karena lidahnya sudah kaku dan mulut terkatup. Saya pun sudah tersepit di tengah-tengah, hampir tidak dapat bernapas lagi. Dengan segera saya terangkan, bahwa hal itu tak usah ditakutkan sebelum diperiksa dahulu. Lalu sayapun pergi- lah ke arah bunyi itu datang, akan melihat apa yang menyebab- kan bunyi itu.  Amboi, bunyi yang kami takutkan itu, kiranya 'cempedak hutan' yang baru jatuh. Ketika itu timbullah pikiran saya hendak memperolok-olokkan kawan-kawan. Saya ambil kedua cempedak itu, lalu saya berjalan perlahan-lahan ke tempat kawan-kawan saya. Setelah dekat, saya lemparkan kedua cempedak itu, sambil berseru, 'Koyak, makan cempedak hutan!' Mereka itu berjeritan dan bersiap hendak lari. Tetapi kaki mereka itu tak dapat lagi diangkatnya, sebab sudah kaku karena ketakutan. Sekonyong-konyong Maun berseru, katanya, 'Jangan lari, kawan, cempedak hutan kiranya.'  Sudah itu berbagai-bagailah senda gurau untuk menghilang- kan ketakutan kami. Lebih-lebih Kadirun yang membuat ulah ini, selalu kami perolok-olokan dengan cempedak hutan itu. Sakit-sakit perut kami tertawa melihat tingkah lakunya yang amat menggelikan hati itu.  Demikianlah kisah kami dengan cempedak hutan masa kami kecil-kecil itu. Jadi nyatalah kepada Engku Muda Kacak ataupun sanak-saudara yang lain, bahwa kami tidak menertawakan Engku Muda, melainkan tertawa mengenangkan perangai dahulu jua."  Segala orang yang mendengarkan cerita itu jangankan diam, semakin jadi tertawanya. Amat geli hati orang mendengar cerita Midun itu. Kacak mendengar orang makin bernyala-nyala. Rasakan hendak ditelannya Midun ketika itu. Pada pikirannya, jangankan Midun mendiamkan tertawa orang, tetapi seakan- akan mencari-cari perkataan akan menggelikan hati, supaya orang makin jadi tertawa. Tetapi apa hendak dikatakan, ia terpaksa berjalan dari tempat itu karena malu. Akan berkelahi sekali lagi, tentu tidak dibiarkan orang. Dengan pemandangan yang amat tajam kepada Midun, Kacak pun pulanglah ke  rumahnya.  Permainan sepak raga dihentikan, karena hari sudah jauh petang. Maka orang di pasar itu pun pulanglah ke rumahnya masing-masing. Midun pulang pula ke surau. Sepanjang jalan tampaktampak olehnya pemandangan Kacak yang amat dalam pengertiannya itu. Hatinya berdebar-debar, khawatir kalau- kalau hal itu menjadikan tidak baik kepadanya. Tetapi kemudian timbul pula pikirannya, dan berkata dalam hati, "Ah, tidak berutang tak membayar, tidak berpiutang tak menerima, masakan saya akan dimusuhinya. Karena perangai Kadirun saya akan dimusuhinya, tidak boleh jadi. Lagi pula masakan perkara yang sekecil itu akan menjadikan dendam kepada Kacak."  2. Senjata Hidup  TIDAK lama antaranya, perkelahian Kacak dengan Midun sudah tersiar ke seluruh kampung. Di lepau-lepau nasi dan pada tiap- tiap rumah, orang memperkatakan perkelahian itu saja. Percakapan itu hanyak pula yang dilebih-lebihi orang. Yang sejengkal sudah menjadi sehasta. Dari seorang makin bertambah-tambah jua. Ada yang mengatakan, Kacak amat payah dalam perkelahian itu, sehingga minta-minta air. Ada pula yang berkata, Midun minta ampun, sebab takut kepada Tuanku Laras, mamak si Kacak. Berbagai-bagailah perkataan orang, ada yang begini, ada pula yang begitu, semau-maunya saja, akan mempertahankan orang yang disukai dan dikasihinya.  Anak-anak lebih-lebih lagi. Mereka itu berlari-lari pulang akan memberitahukan apa yang telah terjadi di pasar hari itu. Baru saja sampai di rumah, dengan terengah-engah karena lelah berlari, ia menceritakan perkelahian itu kepada ibu dan adiknya. Ada pula yang menjadikan pertengkaran dan per- kelahian kepada mereka itu, ketika mempercakapkan hal itu dengan teman-temannya. Sebabnya, ialah karena anak-anak murid Midun mengaji mengatakan, gurunya yang menang. Tetapi yang bukan murid mengatakan Kacak yang berani. Belum lagi terbenam matahari, mereka itu sudah datang ke surau. Di halaman surau mereka itu duduk berkelompok-kelompok mempercakapkan keberanian gurunya. Kadang-kadang kecek- nya itu disertai pula dengan langkah kaki dan gerak tangan, meniru-niru bagaimana perkelahian itu terjadi.  Tetapi orang yang berdiri sama tengah dan melihat dengan matanya sendiri perkelahian itu, memuji kesabaran hati Midun. Begitu pula ketangkasannya mengelakkan serangan Kacak, sangat mengherankan hati orang. Mereka itu semuanya menyangka, tak dapat tiada Midun ahli silat, kalau tidak masakan sepandai itu benar ia mengalahkan serangan Kacak. Tetapi di antara orang banyak yang melihat perselisihan Kacak dengan Midun di pasar itu, ada pula yang amat heran memikirkan kejadian itu. Apalagi melihat kemarahan hati Kacak dan caranya menyerang Midun, menakjubkan hati orang. Pada pikiran mereka itu, masakan sesuatu sebab yang sedikit  saja, menimbulkan amarah Kacak yang hampir tak ada hingganya. Tentu saja hal itu ada ekornya, kalau tidak takkan mungkin demikian benar kegusaran hati Kacak kepada Midun.  Memang sebenarnyalah pikiran orang yang demikian itu. Sejak waktu masih kanak-kanak, sebelum mamak Kacak men- jadi Tuanku Laras, Midun dan Kacak sudah bermusuhan. Ketika mereka masih kecil-kecil, acap kali terjadi pertengkaran, karena berlainan kemauan. Hampir setiap bulan ada-ada saja yang menyebabkan hingga mereka itu keduanya terpaksa berkelahi, mengadu kekuatan masing-masing. Tetapi setelah muda remaja dan telah berpikiran, maka keduanya sama-sama menarik diri. Apalagi sejak mamak Kacak sudah menjadi Tuanku Laras, Midun telah menjauhkan diri daripada Kacak, dan ia sudah segan saja kepada kemenakan raja di kampung itu. Sekonyong-konyong ketika berdua belas di masjid, Kacak sudah mulai benci kepada Midun. Kebencian itu lama-kelamaan berangsur-angsur menjadikan dendam. Tidak saja karena waktu berdua belas itu Kacak menaruh sakit hati kepada Midun, tetapi ada pula beberapa sebab yang lain yang tidak menyenangkan hatinya. Pertama, Midun dikasihi orang kampung, dia tidak, padahal ia kemenakan kandung Tuanku Laras. Kedua, Kacak mendengar kabar angin, bahwa Midun sudah mendapat keputusan silat daripada Haji Abbas, tetapi dia sendiri minta belajar, tidak diterima oleh Haji Abbas. Ketiga, dalam segala hal kalau ada permufakatan pemuda-pemuda, Midun selalu dijadikan ketua, tetapi dia disisihkan orang saja. Pendeknya, di dalam pergaulan di kampung itu, Kacak terpencil hidupnya, seakan-akan sengaja ia disisihkan orang.  Oleh karena itu pada pikiran Kacak, tak dapat tiada sekaliannya itu perbuatan Midun semata-mata. Sesungguhnya, jika tidak dipisahkan orang dalam perkelahian di pasar itu, memang ia hendak menewaskan Midun benar-benar. Kebencian dalam hatinya sudah mulai berkobar. Dan lagi karena mendengar kabar Midun pandai bersiIat, dan dia sudah paham pula dalam ilmu starlak, menimbulkan keinginan pula kepadanya hendak mencobakan ketangkasannya kepada Midun.  Sebermula akan si Midun itu, ialah anak seorang peladang biasa saja. Sungguhpun ayah Midun orang peladang, tetapi pemandangannya sudah luas dan pengetahuannya pun dalam. Sudah banyak negeri yang ditempuhnya, dan telah jauh rantau  dijalaninya semasa muda. Oleh sebab lama hidup banyak dirasai, jauh berjalan banyak dilihat, maka orang tua itu dapatlah memperbandingkan mana yang baik dan mana yang buruk. Tahu dan mengertilah Pak Midun bagaimana caranya yang baik menjalankan hidup dalam pergaulan bersama. Dengan pengetahuannya yang demikian itu, dididiknyalah anaknya Midun dengan hemat cermat, agar menjadi seorang yang berbahagia kelak.  Setelah Midun akil balig, timbullah dalam pikiran Pak Midun hendak menyerahkan anaknya itu belajar silat. Ia amat ingin supaya Midun menjadi seorang yang tangkas dan cekatan. Pak Midun merasa, bahwa silat itu berguna benar untuk membela diri dalam bahaya dan perkelahian. Lain daripada itu, amat besar faedah silat itu untuk kesehatan badan. Karena Pak Midun sendiri dahulu seorang pandai silat, insaf benarlah ia bagaimana kebaikan pergerakan badan itu untuk menjaga kesehatan tubuh.  Ketika Pak Midun dahulu hendak menyerahkan anaknya, dicarinyalah seorang guru yang telah termasyhur kepandaian- nya dalam ilmu silat. Maka demikian, menurut pikiran Pak Midun, jika tanggung-tanggung kepandaian guru itu, lebih baik tak usah lagi anaknya belajar silat. Seorang pun tak ada yang tampak oleh Pak Midun, guru yang bersesuaian dengan pikirannya di negeri itu. Lain daripada Haji Abbas, guru Midun mengaji dan saudara sebapak dengan dia, tak ada yang ber- kenan pada pikirannya. Tetapi sayang, sudah dua tiga kali maksudnya itu dikatakannya, selalu ditolak saja oleh Haji Abbas. Haji Abbas memberi nasihat: supaya Midun diserahkan kepada Pendekar Sutan, adik kandungnya sendiri. Dikatakan- nya, bahwa sudah tua tidak kuat lagi. Dan kepandaiannya bersilat pun boleh dikatakan hampir bersamaan dengan Pendekar Sutan.  Maka diserahkanlah Midun belajar silat oleh ayahnya kepada Pendekar Sutan. Karena Pak Midun seorang yang tabu dan alif, tiadalah ditinggalkannya syarat-syarat aturan berguru, meski- pun tempat anaknya berguru itu adik sebapak dia. Pendekar Sutan dipersinggah (dibawa, dijamu) oleh Pak Midun dengan murid-muridnya ke rumahnya. Sesudah makan-minum, maka diketengahkannyalah oleh Pak Midun syarat-syarat berguru ilmu silat, sebagaimana yang sudah dilazimkan orang di Minang- kabau. Syarat berguru silat itu ialah: beras sesukat, kain putih  sekabung, besi sekerat (pisau sebuah), uang serupiah, penjahit (jarum) tujuh, dan sirih pinang selengkapnya.  Segala barang-barang itu sebenarnya kiasan saja semuanya. Arti dan wujudnya:  Beras sesukat, gunanya akan dimakan guru, selama meng- ajari anak muda yang hendak belajar itu; seolah-olah me- ngatakan: perlukanlah mengajarnya, janganlah dilalaikan sebab hendak mencari penghidupan lain.  Kain putih sekabung, "alas tobat" namanya; maksudnya dengan segala putih hati dan tulus anak muda itu menerima pengajaran; samalah dengan kain itu putih dan bersih hati anak muda itu menerima barang apa yang diajarkan guru. Ia akan menurut suruh dan menghentikan tegah. Dan lagi mujur tak boleh diraih, malang tak boleh ditolak, kalau sekiranya ia kena pisau atau apa saja sedang belajar, kain itulah akan kafannya kalau ia mati.  Besi sekerat (pisau sebuah) itu maksudnya, seperti senjata itulah tajamnya pengajaran yang diterimanya dan lagi janganlah ia dikenai senjata, apabila telah tamat pengajarannya.  Uang serupiah, ialah untuk pembeli tembakau yang diisap guru waktu melepaskan lelah dalam mengajar anak muda itu, hampir searti juga dengan beras sesukat tadi.  Penjahit tujuh, artinya sepekan tujuh hari; hendaklah guru itu tcrus mengajarnya, dengan pengajaran yang tajam seperti jarum itu. Dan meski tujuh macamnya mara bahaya yang tajam-tajam menimpa dia, mudah-mudahan terelakkan oleh- nya, berkat pengajaran guru itu. Pengajaran guru itu menjadi darah daging hendaknya kepadanya, jangan ada yang meng- halangi, terus saja seperti jarum yang dijahitkan.  Sirih pinang selengkapnya, artinya ialah akan dikunyah guru, waktu ia menghentikan lelah tiap-tiap sesudah mengajar anak muda itu, dan lagi sirih pinang itu telah menjadi adat yang biasa di tanah Minangkabau.  Setelah beberapa lamanya Midun belajar silat kepada Pendekar Sutan, maka tamatlah. Sungguhpun demikian Pak Midun belum lagi bersenang hati. Pada pikirannya kepandaian Midun bersilat itu belum lagi mencukupi. Yang dikehendaki Pak Midun: belajar sampai ke pulau, berjalan sampai ke batas. Artinya silat Midun seboleh-bolehnya haruslah berkesudahan atau mendapat keputusan daripada seorang ahli silat yang  sudah termasyhur. Oleh sebab itu, ingin benar ia hendak menyuruh menambah pengajaran Midun kepada Haji Abbas. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD