chapter 3

2041 Words
Di dalam ilmu silat, memang Haji Abbas sudah termasyhur semana-mana di seluruh tanah Minangkabau. Sebelum ia pergi ke Mekkah, amat banyak muridnya bersilat. Di antara muridnya itu kebanyakan orang datang dari negeri lain. Tidak sedikit guru-guru silat yang datang mencoba ketangkasan Haji Abbas bersilat, semuanya kalah dan mengaku bahwa silat Haji Abbas sukar didapat, mahal dicari di tanah Minangkabau. Karena keahliannya di dalam ilmu silat itu, kendatipun ia tidur nyenyak, jika dilempar dengan puntung apiapi saja, tak dapat tiada barang itu dapat ditangkapnya.  Tidak hal yang demikian itu saja yang memasyhurkan nama Haji Abbas perkara silat, tetapi ada lagi beberapa hal yang lain. Semasa muda, ketika Haji Abbas dan Pak Midun berdagang menjajah tanah Minangkabau, tidak sedikit cobaan yang telah dirasainya. Acap kali ia disamun orang di tengah perjalanan, diperkelahikan orang beramai-ramai. Tapi karena ketangkasan- nya, segala bahaya itu dapat dielakkan Haji Abbas. Lebih-lebih lagi yang makin menambah harum nama Haji Abbas, ketika ia disamun orang Baduwi antara Jeddah dan Mekkah waktu dalam perjalanan ke Tanah Suci. Lebih dari sepuluh orang, orang Baduwi yang memakai senjata tajam hendak merampoknya; dengan berteman hanya tiga orang saja dapat ditewaskannya. Sungguhpun berteman boleh dikatakan Haji Abbas seoranglah yang berkelahi dengan Baduwi itu. Tak dibiarkannya sedikit jua segala Baduwi itu menyerang kawannya.  Dalam ilmu akhirat pun Haji Abbas adalah seorang ulama besar. Memang sudah menjadi sifat pada Haji Abbas, jika menuntut sesuatu ilmu berpantang patah di tengah. Sebelum diketahuinya sampai ke urat-uratnya, belumlah ia bersenang hati. Muridnya mengaji amat banyak. Baik anak-anak, baik pun orang tua, semuanya ke surau Haji Abbas belajar agama. Tidak orang kampung itu saja, bahkan banyak orang yang datang dari negeri lain belajar mengaji kepada Haji Abbas. Oleh karena Haji Abbas adalah seorang tua, yang lubuk akal gudang bicara, laut pikiran tambunan budi, maka ia pun dimalui dan ditakuti orang di kampung itu.  Keadaan yang demikian itu diketahui Pak Midun belaka. Itulah tali sebabnya maka besar benar keinginannya hendak menambah pengajaran Midun bersilat kepada Haji Abbas.  Karena Haji Abbas selalu menolak permintaan Pak Midun, dengan tipu muslihat dapat juga diikhtiarkannya Midun belajar silat dengan dia.  Demikianlah ikhtiar Pak Midun: Mula-mula Pak Midun bermufakat dengan Pendekar Sutan. Dikatakanlah kepada Pendekar Sutan, bahwa ia hendak menipu Haji Abbas. Sebabnya ialah karena Midun ingin hendak men- dapat sesuatu dari Haji Abbas, tetapi selalu ditolaknya saja. Maka diceritakannyalah oleh Pak Midun bagaimana tipu yang hendak disuruh lakukannya kepada Midun.  "Biarlah, Pendekar Sutan!" ujar Pak Midun, "bukankah silat Midun sekarang sudah boleh dibawa ke tengah. Tidak akan gampang lagi orang dapat mengenalnya. Meskipun dua-tiga orang mempersama-samakan dia, belum tentu lagi ia akan roboh. Oleh sebab itu, ketika Haji Abbas sedang tidur nyenyak di surau, kita suruh lempar oleh Midun dengan ranting kayu. Manakala Haji Abbas terkejut dan menangkap ranting kayu itu, saat itulah Midun harus menyerang Haji Abbas."  "Saya pun sesuai dengan pikiran Pak Midun itu!" jawab Pendekar Sutan. "Tetapi hal ini tidak boleh kita permudah saja. Boleh jadi Midun dapat dikenalnya, karena Haji Abbas guru besar dan sudah termasyhur silatnya. Sungguh, sebenarnya saya agak khawatir memikirkannya."  "Tak usah dikhawatirkan. Hal itu pun sudah saya pikirkan dalam-dalam. Tentu tidak akan kita biarkan Midun seorang diri saja. Kita harus serta pula menemaninya, akan mengamat- amati kalau-kalau ada bahaya. Tetapi hendaklah kita bersembunyi melihat kejadian itu."  "Kalau demikian, baiklah," kata Pendekar Sutan pula sambil tersenyum. "Saya pun ingin benar hendak melihat ketangkasan Haji Abbas, sebab dari dahulu saya hendak belajar kepadanya, selalu ditolaknya pula, hingga terpaksa saya berjalan kian kemari mencari guru silat."  Pada suatu hari, sesudah sembahyang lohor, kelihatanlah Pak Midun, Pendekar Sutan dan Midun di surau Haji Abbas. Pak Midun dan Pendekar Sutan bersembunyi di surau kecil di sebelah. Waktu itu Haji Abbas sedang tidur nyenyak di mihrab, karena sudah larut malam pulang dari mendoa semalam. Midun pun bersiaplah, lalu melempar Haji Abbas dengan ranting kayu. Haji Abbas terkejut dan menangkap ranting kayu itu. Ketika itu Midun melompat dan dengan tangkas diserangnya Haji Abbas.  Maka terjadilah pada ketika itu... ya, perkelahian bapak dengan anak. Tangkap-menangkap, empas-mengempaskan, tak ubahnya sebagai orang yang berkelahi benar-benar.  Setelah beberapa lamanya dengan hal yang demikian itu, sekonyong-konyong Midun terempas agak jauh. Jika orang lain yang tak pandai bersilat terempas demikian itu, tak dapat tiada pecah kepalanya. Tetapi karena Midun pandai silat pula, tak ada ubahnya sebagai kucing diempaskan saja. Ketika Haji Abbas bersiap akan menanti serangan, tampak olehnya Midun. Haji Abbas menggosok matanya, seolah-olah ia tidak percaya kepada matanya. Ia sebagai orang bermimpi, dan amat heran karena kejadian itu. Setelah beberapa lamanya, nyatalah kepadanya bahwa sebenarnyalah Midun yang menyerang dia.  "Sudah bertukarkah pikiranmu, Midun?" ujar Haji Abbas tiba- tiba dengan marah. "Hendak membunuh bapakmukah engkau?"  "Tidak, Bapak!" jatvab Midun dengan ketakutan. "Pikiran saya masih sehat; ayah dan Bapak Pendekar ada di surau kecil di sebelah."  "O, jadi mereka itukah yang menyuruh engkau melakukan pekerjaan ini?" kata Haji Abbas pula dengan sangat marah. "Apa maksudnya berbuat demikian ini? Bosankah ia kepadamu atau bencikah kepadaku, supaya kita salah seorang binasa? Panggil dia, suruh datang keduanya kemari! Terlalu, sungguh terlalu!"  Tidak lama antaranya Pak Midun dan Pendekar Sutan naiklah ke surau. Baru saja ia sampai, Haji Abbas berkata dengan marahnya, "Perbuatan apa ini yang Pak Midun suruhkan kepada anak saya? Apakah dendam kamu kedua yang tidak lepas, maka menyuruh lakukan perbuatan ini kepada Midun? Sungguh terlalu!"  "Janganlah terburu nafsu saja Haji marah," ujar Pak Midun dengan agak ketakutan. "Kejadian ini ialah karena kesalahan Haji sendiri."  "Kesalahan saya?" jawab Haji Abbas dengan heran. "Apa pula sebabnya saya yang Pak Midun salahkan? Bukankah perbuatan Pak Midun ini sia-sia benar?"  Ketika itu tampaklah kepada Pak Midun, marah Haji Abbas sudah agak surut. Pak Midun berkata sambil bersenda-gurau, "Selalu saya diusik anak Haji, supaya ia dapat menambah kepandaiannya dengan Haji. Beberapa kali saya disuruhnya mengatakan kepada Haji, karena ia ingin benar hendak men- dapat sesuatu tentang ilmu silat daripada Haji. Tetapi tiap-tiap  permintaannya itu saya sampaikan, selalu saja Haji tolak. Kesudahannya terjadilah yang demikian ini. Sekarang kami yang Haji salahkan. Haji katakan, apa dendam kami yang tak lepas. Kalau Haji ingin hendak mencoba, berdirilah! Memang saya sudah ingin hendak bersilat dengan Haji!"  Pak Midun berdiri, lalu mengendangkan tangan dan melangkahan kaki. Sambil menari ia berkata pula dengan tertawa, katanya, "Bangunlah, Haji, mengapa duduk juga? Ah, jadi muda lagi perasaan saya..."  Melihat kelakuan Pak Midun yang jenaka itu, marah Haji Abbas pun surutlah. Hatinya tenang bagai semula, dan tertawa karena geli hatinya. Pak Midun duduk kembali, lalu bermufakatlah ketiga bapak Midun itu. Maka dikabulkanlah oleh Haji Abbas permintaan Midun hendak belajar dengan dia.  Haji Abbas mengajar Midun amat berlainan dengan Pendekar Sutan. Midun diajar Haji Abbas tidak pada suatu tempat atau sasaran. Melainkan, tiap-tiap pulang dari mendoa atau pulang dari berjalan-jaIan, pada tempat yang sunyi, Midun sekonyong-konyong diserang oleh Haji Abbas. Maka bersilatlah mereka itu di sana beberapa lamanya. Demikianlah diperbuat Haji Abbas ada enam bulan, lamanya. Setelah itu barulah Midun diberi keputusan silat oleh Haji Abbas.  Pertama, Midun dibawa Haji Abbas bersilat pada sebidang tanah yang jendul dan berbonggol. Di situ sama-sama berikhtiar mereka akan mengenai masing-masing. Maksud Haji Abbas membawa Midun bersilat pada tanah yang demikian, ialah supaya kukuh ia berdiri, jangan tangkas pada tanah yang datar saja. Kedua, atas papan, misalnya di rumah yang berlantaikan papan. Bersilat di tempat itu sekali-kali tidak boleh berbunyi langkah kaki. Sekalipun terempas, hendaklah sebagai kucing diempaskan saja, tidak keras bunyinya dan tidak boleh tertelentang.  Ketiga, bersilat di dalam bencah atau pada sebidang tanah yang sudah dilicinkan. Midun tidak boleh jatuh, tetapi harus menangkis serangan guru.  Keempat, pada sebidang tanah yang diberi bergaris bundaran. Midun harus bersilat dengan guru tidak boleh melewati garis, tetapi guru berusaha, supaya Midun melewati garis itu.  Kelima, bersilat di dalam gelap dan hendaklah dapat mengalahkan serangan orang yang memakai senjata tajam. Bagian yang kelima inilah yang sukar. Bagi Midun belum sempurna benar dapatnya. Sebabnya, karena pada bagian ini, haruslah tahu lebih dahulu gerak, angin, dan rasa. Hal itu tidak dipelajari, melainkan timbul sendiri, setelah beberapa lamanya pandai bersilat.  Mengingat keadaan yang demikian itulah maka Pak Midun amat terkejut dan khawatir mendengar kabar perkelahian anaknya dengan Kacak. Dalam hatinya amat marah kepada anaknya, karena yang dilawan Midun berkelahi itu kemenakan Tuanku Laras. Tetapi setelah mendengar kabar dari Maun, yang kebetulan lalu di muka rumahnya hendak ke surau, agak senang hatinya. Sungguhpun demikian, sebelum bertemu dengan Midun belum senang benar hatinya. Pak Midun ingin hendak men- dengar kabar itu daripada anaknya sendiri. Rasakan dicabutnya hari menanti waktu magrib habis, karena waktu itu anaknya pulang makan. Tegak resah, duduk pun gelisah, sebentar- sebentar ia melihat ke jendela, kalau-kalau Midun datang.  "Maun, suruh pulang anak-anak itu semua!" kata Haji Abbas. "Katakan kepada mereka itu, malam ini tidak mengaji. Malam besok saja suruh datang. Saya dengan Midun akan pergi mendoa malam ini. Engkau tinggal di surau dan kalau ada orang menanyakan kami, katakan kami pergi mendoa ke rumah Pakih Sutan."  Sesudah sembahyang magrib, Haji Abbas dan Midun turunlah dari surau. Sebelum pergi mendoa, lebih dahulu mereka itu singgah ke rumah Pak Midun. Setelah sudah minum dan mengisap rokok sebatang seorang, Haji Abbas pun berkata, katanya, "Betulkah tadi engkau berkelahi dengan Kacak? Belum cukup sebulan engkau tamat bersifat sudah berkelahi. Itu pun yang engkau lawan bukan sembarang orang pula."  "Tidak, Bapak, tapi sudah umpama berkelahi juga namanya; bukan saya yang salah, melainkan dia," jawab Midun dengan ragu-ragu, sebab ia sendiri merasa tidak ada berkelahi. Akan dikatakannya berkelahi, ia tidak ada meninju Kacak, melainkan Kacak yang menyerang dia.  "Ganjil benar jawabmu! Apa maksudmu mengatakan umpama berkelahi itu?"  Midun melihat kedua bapaknya itu sebagai tidak bersenang hati mendengar jawabnya. Tampak dan nyata kepadanya pada  muka mereka itu kekhawatiran atas kejadian hari itu. Maka Midun menerangkan dengan panjang lebar asal mula per- selisihannya dengan Kacak waktu bermain sepak raga. Satu pun tak ada yang dilampauinya, diterangkannya sejelas-jelasnya. Mendengar perkataan Midun, legalah hati kedua bapaknya itu. Apalagi keterangan itu, bersesuaian dengan berita orang kepada mereka, yang melihat sendiri kejadian petang itu. Tidak lama kemudian Haji Abbas berkata pula, katanya,  "Meskipun engkau tidak bersalah, tapi percayalah engkau, bahwa kejadian petang ini tidak membaikkan kepada namamu. Biarpun tidak salahmu, tapi kata orang keduanya salah. Tak mau bertepuk sebelah tangan. Yang akan datang saya harap jangan hendaknya terjadi pula macam ini sekali lagi. Saya tidak sudi melihat orang suka berkelahi. Kebanyakan saya lihat anak- anak muda sebagai engkau ini, kalau sudah berilmu sedikit amat sombong dan congkak. Tidak berpucuk di atas enau lagi. Pikirnya, tak ada yang lebih daripada dia. Lebih-lebih kalau ia pandai bersilat. Dicari-carinya selisih supaya ia berkelahi, hendak memperlihatkan kecekatannya. Salah-salah sedikit hendak berkelahi saja. Begitulah yang kebanyakan saya lihat.  Padamu kami harap jangan ada tabiat yang demikian. Hal itu semata-mata mencelakakan diri sendiri. Tidak ada yang selamat, binasa juga akhir kelaknya. Daripada sahabat kenalan kita pun terjatuh pula. Contohnya ilmu padi, kian berisi kian runduk. Begitulah yang kami sukai dalam pergaulan bersama. Satu pun tak ada faedahnya memegahkan diri, hendak mem- perlihatkan pandai begini, tahu begitu. Asal tidak akan merusakkan kesopanan diri, dalam percakapan atau tingkah laku, lebih baik merendah saja. Bukanlah hal itu menghabiskan waktu saja. Pergunakanlah waktu itu bagi yang mendatangkan keselamatan dan keuntungan dirimu.  Berani karena benar, takut karena salah. Akuilah kesalahan itu, jika sebenarnya bersalah. Tetapi perlihatkan keberanian, akan menunjukkan kebenaran. Anak muda biasanya lekas naik darah. Hal itu seboleh-bolehnya ditahan. Dalam segala hal hendaklah berlaku sabar. Apalagi kalau ditimpa malapetaka, haruslah diterima dengan tulus ikhlas, tetapi bilamana perlu janganlah undur barang setapak jua pun; itulah tandanya bahwa kita seorang laki-laki. Begitu pula halnya dengan hawa nafsu. Hawa nafsu itu tak ada batasnya. Dialah yang kerap kali menjerumuskan orang ke dalam lembah kesengsaraan. Jika tak  pandai mengemudikan hawa nafsu, alamat badan akan binasa. Jika diturutkan hawa nafsu, mau ia sampai ke langit yang kedelapan—jika ada langit yang kedelapan. Oleh karena itu, biasakan diri memandang ke bawah, jangan selalu ke atas. Hendaklah pandai-pandai me-megang kendali hawa nafsu, supaya selamat diri hidup di dunia ini. Pikir itu pelita hati. Karena itu pekerjaan yang hendak dilakukan, pikirkan dalam- dalam, timbang dahulu buruk baiknya.  Lihat-lihat kawan seiring, kata orang. Dalam pergaulan hidup hendaknya ingat-ingat. Jauhi segala percederaan. Bercampur dengan orang alim. Tak dapat tiada kita alim pula. Bergaul dengan pemaling, sekurang-kurangnya jadi ajar. Sebab itu pandai-pandai mencari sahabat kenalan. Jangan dengan sembarang orang saja berteman. Kerap kali sahabat itulah yang membinasakan kita. Daripada bersahabat dengan seribu orang bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD