Satu

1145 Words
Hari yang melelahkan untuk Andrean. Ia baru saja tiba dari luar kota bertemu klien mengurus pekerjaan beberapa hari di sana. Ia tidak sabar menunggu hari esok, bertemu dengan anak-anaknya kembali. Mereka belum sepenuhnya menerima. Tapi Andrean tidak menyerah begitu saja. Cukup pertemuan singkat dengan mereka di dampingi oleh Marcel, itu sudah menyenangkan hatinya. Semenjak menikah, Marcel cenderung mengantar jemput si kembar tiga. Dibilang senang, senang. Andrean senang anak-anaknya mendapat ayah tiri yang baik. Dibilang iri, iya. Rasanya ia ingin di posisi Marcel. Tetapi hal itu bisa ia kesampingkan oleh kebahagiaan yang dirasakan anak-anaknya. Apalagi saat ulang tahun ketiga anaknya yang ke enam tahun sebulan lalu, ia iri tidak mendapat kue pertama. Hanya bisa menyaksikan dari jauh pula. Malangnya. Namun Andrean cukup sadar. Bersamanya, belum tentu kebahagiaan itu ada. Terkesan pesimis ya? Memang. Ara. Anak itu membuka tangan untuk dirinya. Ia ingat saat Ara, mengatakan senang mempunyai dua Papa dan memeluk dirinya. Entah, apa yang Marsha dan Marcel ajarkan. Namun, hal kecil itu mampu membuatnya terharu. Sayangnya, anak itu akan menjauh apabila Lea bersamanya. Walau sesak, ia mengerti akan hal itu. Ara masih takut, kejadian waktu itu terulang kembali. Sedangkan Izy dan Cio, kedua anak itu tidak lagi menghindar darinya. Duduk makan bersama mereka lakukan meski sama sekali tak ada obrolan. Ketika ia ajak untuk mengobrol, kedua anak itu hanya fokus dengan makanannya tanpa menatap dirinya. Menjawab pertanyaan apalagi. Singkat. Yang ia bisa lakukan hanya menghela nafas. Bersabar. Untuk sekarang, mereka mau menyalaminya dan berada satu ruang bersamanya saja itu sudah kemajuan. Tinggal menunggu waktu agar ia dan anak-anaknya bisa dekat selayaknya anak dan orang tua. Ayah dan Anak. Mengingat ketiga anaknya, membuat keinginan untuk bertemu dalam hati Andrean meningkat. Huh, rindu. “Dad..” Baru membuka pintu utama, suara Lea menyambutnya. Dia sedang belajar bersama guru pribadinya. “Lea rindu, Dad!” Andrean tersenyum ke arah anaknya itu. Waktu Marsha memintanya melihat kondisi Lea, ia melakukannya. Bertemu dengannya, anak itu menangis dan meminta ikut pulang dengan dirinya saja dibanding ikut nenek dari ibunya. “ Daddy!” “ Lea.” Andrean terkejut melihat Lea keluar dari rumah sederhana dan berlari ke arahnya. “ Dad, Lea mau pulang. Lea enggak mau di sini,” ujarnya sembari menangis. “ Kenapa sayang? Ada yang menyakitimu?” tanya Andrean, ia menelusuri tubuh anaknya dari atas sampai bawah. Takut-takut ada bekas luka. Dan jika ada, ia tak segan-segan menyakiti siapa pun yang menyakiti anaknya. Lea menggelengkan kepalanya. “ Lea baik, Dad.” “ Sungguh?” Dengan cepat Lea mengangguk. Tak berapa lama, keluarlah sepasang paruh baya dari rumah yang sama. Salah satunya, menatapnya tidak senang. “ Baguslah kau datang. Bawa anak pembawa masalah itu pergi. Aku tak sudi merawatnya,” ketus Erista. Ibu dari Griya yang tengah menghampirinya bersama Tio suaminya. Tangan Andrean mengepal. Wanita paruh baya ini benar-benar keterlaluan. Andai tidak ada Lea di sini, ia akan lepas kendali. Andai ia tidak mengingat Cio, Izy dan Ara, ia dengan mudah kehilangan kontrol seperti dulu. “ Dia. Anak yang Anda sebut sebagai pembawa masalah adalah cucu Anda sendiri Nyonya Erista,” tekan Andrean seraya menatap tajam Erista. Tidak ada rasa takut, wanita paruh baya itu balik menatapnya seolah tengah menantang dirinya. “ Aku tidak sudi.” “ Hentikan, Ma,” potong Tio cepat. Pria paruh baya itu tahu, istrinya pasti akan mengatakan hal yang tidak pantas didengar oleh anak seusia Lea. Erista melotot pada suaminya, yang dibalas delikan tajam balik oleh suaminya. “ Lea, masuk ke dalam mobil. Nanti Dad akan menyusul.” Mematuhi ucapan Andrean, Lea masuk ke dalam mobil dengan pintu yang sebelumnya telah dibuka oleh Andrean sendiri. Tak ingin berdebat terlalu panjang apalagi dengan Erista, Andrean merogoh sakunya. Ia mengambil dompet dan mengeluarkan selembar cek yang sudah ia tanda tangani. “ Tuan Tio, tulis nominal angka berapa pun yang Anda mau. Setelah itu, bawa istri Anda pergi dari sini dan cegah dia mengganggu keluargaku lagi. Biarkan aku yang merawat Lea,” ucap Andrean, ia menyodorkan cek itu di hadapan Tio. “ Tidak perlu Andre–“ “ Setuju. Begini dong dari kemarin-kemarin.” Dengan tidak tahu malunya, Erista mengambil cek tersebut dari tangan Andrean. “ Mama,” kejut Tio. Ia tadinya ingin menolak cek itu. Ia malu atas tingkah istri dan anaknya. Dan kini lebih malu lagi dengan istri yang sangat keterlaluan. Bayangkan, Andrean bukan lagi bagian keluarganya, bukan lagi menantunya. Andrean hanya mantan menantu, mantan menantu yang sudi merawat cucunya yang jelas-jelas bukan darah dagingnya sendiri. Harusnya ia berterima kasih. Bukan malah memalak seperti ini. “ Kalau begitu saya permisi.” Sedikit kesal, Andrean memilih pergi. “ Andrean tunggu!” Tio mengejar Andrean, pria itu menghentikan langkahnya walau membelakangi dirinya. “ Maafkan istriku dan juga anakku. Aku tahu aku tidak becus menjadi kepala keluarga. Aku janji setelah ini tidak akan membiarkan mereka mengganggu keluargamu. Tapi Andrean sebelum itu ...” Keraguan jelas terlihat dari wajah Tio. “... kau tahu di mana anakku?” “ Aku tidak tahu,” singkat Andrean. “Dan tidak pernah mau tahu lagi. Aku dengannya dua minggu lagi akan resmi bercerai. Dia tidak pernah hadir dalam persidangan,” lanjut Andrean. Ia sudah tak mau tahu lagi, di mana dan ke mana Griya. Ia tidak peduli. Yang pasti, dari pengacaranya dan pengadilan telah membuat surat panggilan sidang ke apartemen wanita itu. Dan wanita itu tidak pernah datang. Hal itu malah bagus untuknya. Dengan begitu mudah baginya bercerai dengan Griya. “ Begitu ya, aku akan mencarinya lebih giat lagi. Kalau begitu titip cucuku. Bersama kami hidupnya pasti tidak akan tenang mengingat tingkah anak dan istriku. Terima kasih Andrean dan sekali lagi maafkan kami.” “ Hmm ... apartemen Nirwana lantai Lima. Surat dari pengadilan selalu dikirim ke sana,” ujar Andrean. Sebelum pergi ia memberikan nama Apartemen di mana ia menemukan Griya dulu. Yang jelas, itu Apartemen milik Griya sendiri. Ada tidaknya wanita itu, bukan urusannya. *** “Dad juga rindu padamu.” Andrean jongkok dan menerima pelukan Lea. “Andrean, syukurlah kau sudah pulang.” Andrean mengerutkan dahinya, melihat ibunya turun tergesa dari tangga menghampiri dirinya. Saat itu pula, perasaannya jadi tidak enak. “Lea kembali belajar ya, Nenek mau bicara dengan Daddymu.” Raut wajah Lea sesaat menunjukkan keengganan, sebelum akhirnya mengangguk menyetujui permintaan Neneknya. “Iya, Nek.” Se perginya Lea, Keke langsung menarik tangan Andrean untuk keluar rumah. “Ada apa, Ma?” “Marcel, Andrean.” “Ada apa dengan Marcel?” tanya Andrean tak sabaran. “Marcel meninggal, ia celaka waktu menyelamatkan anak-anakmu dari penculik.” Tubuh Andrean menegang. “A-apa?” “Pergilah Andrean, pergilah ke rumah duka. Rumah Marcel. Catherina menghubungiku untuk datang ke sana. Kau pergilah, lihat kondisi Marsha, Cio, Izy dan Ara. Mereka pasti membutuhkanmu Andrean. Biar Mama yang jaga Lea di sini.” Andrean berdiri kaku. Hingga sentuhan dari sang mama menyadarkannya dari lamunan sesaatnya tadi. “Cepat pergi, Andrean!” Dan Andrean pun langsung beranjak dari rumahnya untuk pergi ke rumah Marcel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD