Dua

1060 Words
Tiba di pemakaman, Andrean tidak langsung turun dari mobil. Macetnya ibu kota, membuatnya datang terlambat ke rumah duka. Sampai di sana, ia diberi tahu jika jenazah telah diberangkatkan sejak dua puluh menit yang lalu. Sekarang di sinilah ia, menunggu para pelayat, satu persatu mulai pergi meninggalkan pemakaman . Sejujurnya Andrean masih tidak menyangka, bagaimana bisa Marcel semudah ini pergi sedangkan pernikahannya dengan Marsha baru terjadi hampir empat bulan. Hari itu, ia melihat sendiri kebahagiaan keduanya. Berada di atas pelaminan bertemakan putih dan cream. Dengan baju pengantin serba putih serta tiga orang anak mendampingi mereka. Kebahagiaan itu terpancar tanpa kepura-puraan. Hal yang mampu membuatnya iri. Pernikahannya Dulu, tak sebahagia itu. Ia bahagia sementara mantan istrinya pasti pura-pura bahagia bersamanya demi tidak menanggung malu karena hamil di luar nikah. Dirinya korban yang telah dibohongi selama bertahun-tahun. Pernikahan cukup menyedihkan baginya. Andrean turun dari kendaraannya begitu pemakaman menyisakan dua orang. “Nyonya.” Andrean menepuk pundak seorang wanita paruh baya hingga wanita paruh baya tersebut menoleh. “Andrean.” “Marsha.” Catherina wanita paruh baya itu kembali menatap depan. Menatap seseorang yang tengah berjongkok di samping sebuah pusara. “Seperti yang kau lihat,” singkat Catherina. Ia kemudian berjalan menuju seseorang yang sedari tadi ia tatap dengan sendu. “Marsha, ada Andrean.” Sayangnya wanita itu tetap tidak bergeming. “Marsha,” panggil Catherina lagi. Kali ini ia berhasil, ia memperoleh atensi. “Mommy.” Catherina tersenyum sayang begitu Marsha memanggilnya. Walau lirih ia dapat mendengarnya. Pasalnya selama mereka mendapatkan kabar duka dari rumah sakit sampai di mana Marcel di kebumikan pun Marsha diam, tak ada air mata atau pun jerit tangis walau dia melihat keseluruhan proses kepengurusan jenazah. Yang Catherina tahu, sinar mata Marsha redup. Baginya, lebih baik Marsha menangis menjerit kan luka hatinya daripada diam tanpa suara bahkan saat orang-orang mendatanginya mengucapkan belasungkawa. Marsha, seolah tidak membiarkan orang lain tahu, apa yang kini tengah hatinya rasakan. “Ada Andrean, dia datang.” Marsha menoleh ke belakang, di mana pandangan Catherina tertuju pada sosok Andrean. Ia menatap Andrean cukup lama tetapi tidak bersuara atau pun berniat untuk menyapa. “Marsha.” Atas inisiatifnya sendiri, Andrean menyapa Marsha terlebih dulu. Marsha tersenyum dengan cepat ia bangkit dan berlari ke arah Andrean. Andrean yang mengira Marsha akan menghampirinya pun mendadak terkejut ketika Marsha melewati dirinya dan terus berlari. Seolah mendapatkan kejutan beruntun, Andrean mendengar sangat jelas Marsha meneriaki nama Marcel. “Marcel tunggu!” “Tunggu aku Marcel, jangan pergi!” “Marsha!” teriak Catherina. Wanita paruh baya itu berlari mengejar Marsha. Teriakan Catherina mampu menyadarkan Andrean akan keterkejutannya. Setelahnya, ia pun ikut mengejar Marsha. Catherina berhasil mengejar Marsha. Ia menarik tangan Marsha agar tidak berlari lagi. “Mom lepaskan aku, itu Marcel, aku harus mengejarnya!” Sudut hati seorang Catherina tercubit, begitu ia melihat arah yang ditunjuk oleh Marsha, ia tidak mendapati seorang pun di sana. “Marcel berhenti! Tunggu aku!” “Marsha.” “Kenapa Marcel diam saja aku panggil Mom? Kenapa dia malah pergi?” Catherina tidak lagi bisa berkata-kata mendengar hal tak terduga keluar dari mulut Marsha. “Tenanglah, Sayang.” Catherina menarik Marsha dalam pelukannya. Sementara Andrean berada di belakang ibu dan anak itu sesekali melihat ke sekelilingnya, sejujurnya ia tidak mempercayai yang Marsha katakan. Tidak mungkin orang yang sudah tiada bisa hidup kembali ‘kan? Tapi ia merasakan sesuatu yang berbeda sejak pertama ia menginjakkan kaki di sini. Perasaan itu benar adanya, di ujung lain yang berbeda dari yang Marsha tunjuk. Ada sosok pucat berdiri dengan wajah sendu menatap ke arah Marsha dan Catherina. Andrean menutup kedua matanya, ia meyakinkan diri kalau ia tidak sedang berhalusinasi. Perlahan ia membuka matanya, nyatanya sosok itu tidak hilang bahkan kini berganti menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Mencoba tak acuh, ia berusaha untuk tidak memandang ke arah yang sama lagi. Ia memilih memfokuskan pandangan ke arah Marsha dan sepertinya itu juga bukan pilihan yang tepat kalau hanya menimbulkan sesak di hatinya. “Marcel marah ya padaku? Dia pergi, dia tidak menungguku,” gumam Marsha dalam pelukan Catherina. “Marsha,” panggil Catherina, iba. “Ah ya, aku harus meminta maaf padanya, takutnya aku ada salah tapi aku enggak tau. Sekalian aku mau buat kejutan buat dia Mom. Bagaimana aku bisa melupakan ini?” Marsha melepaskan pelukan Catherina dan menarik ibunya itu supaya ikut bersamanya. “Kenapa Mom jalannya lama. Kita harus cepat Mom. Pokoknya kita harus tiba di rumah sebelum Marcel ya Mom. Tapi kemungkinan Marcel ke restoran dulu ya,” ujar Marsha pada Catherina dan juga pada dirinya sendiri. “Sayang.” Catherina memegang tangan Marsha yang tengah menariknya. Bermaksud ingin menghentikan anaknya itu, tapi ia tidak bisa. “Ayo Mom! Kita pulang.” Catherina membiarkan Marsha menarik tangannya, membawanya menuju kendaraan pribadi miliknya yang di sampingnya sudah ada sopir pribadinya. Ia bingung harus mengambil sikap seperti apa. Anaknya ini tengah terluka dan tengah berada di titik di mana dia masih syok. Dia masih tidak percaya kalau suaminya sudah tiada. Ingin rasanya Catherina menangis, melihat kondisi anaknya ini. Menoleh ke samping, Catherina melihat Andrean. Berniat meminta tolong. Sayangnya Andrean juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pikirannya buntu, apalagi saat Andrean sekali lagi melihat arah yang tadinya tidak ingin ia lihat. Sosok itu masih ada, dan tetap menatapnya. Begitu Marsha dan Catherina melaju dengan mobil. Andrean mengikuti dari belakang bersama kendaraannya sendiri. Ia tidak pulang ke rumah. Dikondisi ini, ia merasa tidak bisa meninggalkan Marsha. Ada sesuatu dalam dirinya menyuarakan agar tidak pergi. Ditambah ia belum melihat kondisi anak-anak, di mana mereka sekarang? Apa kondisi mereka baik-baik saja? Ia masih belum tahu. Ia berharap anaknya dalam kondisi baik, tidak kurang atau pun lecet. Penculikan itu, ia tidak akan memaafkan siapa pun yang melukai anak-anaknya. Dan Marcel, terima kasih untuk pengorbanan mu. Terima kasih untuk kasih sayang mu pada anak-anakku. Aku janji, akan menjaga mereka sehebat kau menjaga mereka. Menyayangi mereka sebesar kau menyayangi mereka, bahkan lebih. Terima kasih untuk semuanya Marcel. Tidak ada perpisahan yang paling menyakitkan kecuali kematian. Melihat untuk terakhir kali, tak pernah terbayangkan sebelumnya. Senyumnya, wajah teduhnya, bahagianya, cerianya, sedihnya, kini hanya terkenang dalam ingatan. Tidak akan pernah tersentuh lagi. Terbayang samar dan berada dalam rindu yang tak akan pernah tertuntaskan. Ini pilihan, memilih mengikhlaskan yang sudah pergi atau larut berkabung dalam duka. Tetap menjalani hidup seperti biasa atau menyerah akan kenyataan. Takdir Tuhan yang telah digariskan, tak akan bisa di rubah, yaitu kematian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD