Tiga

1396 Words
“Bohong!” Andrean bergegas turun dari mobil, saat matanya menangkap Marsha mendorong seorang pria sekiranya usianya tak jauh beda dengannya seraya berteriak. “Apa yang kau katakan? Marcel masih hidup. Dia tadi jemput anak-anak sekolah. Teman macam apa kau, menuduh temanmu sudah mati, hah?!” Marsha berulang kali memukul pria di depannya. Ia tak terima suaminya dikatakan telah tiada. “Dia masih hidup. Jelas aku melihatnya tadi. Tanya Mom, tanya Andrean kalau tidak percaya.” Marsha berbalik menghadap Andrean dan Catherina yang berdiri bersisian. “Iya ‘kan Mom, iya ‘kan Andrean. Kalian lihat Marcel ‘kan di tempat tadi?” Dan keduanya diam, Andrean memalingkan muka sedangkan Catherina menunduk ke bawah sembari meremas kedua tangannya. “Kenapa diam? Kalian melihatnya ‘kan?!” Air mata Marsha mengalir, ia perlahan berjalan mundur kemudian menatap tiga orang yang berada di tempat sama dengannya. Di jalan, tepat di depan rumah Marcel. Rumah yang Marsha, Marcel serta si kembar tiga tinggali sejak Marsha dan Marcel menikah. Marsha menghapus air matanya kemudian tertawa. “Kalian pasti sekongkol dengan Marcel untuk mengerjaiku. Huh, aku akan memarahinya kalau dia datang. Tidak berfikir apa, kalau sungguhan bagaimana? Tega dia, meninggalkan aku dan anak-anak. Apalagi dia belum tahu, aku punya kejutan buat di—“ “Cukup Marsha! Cukup!” Tak tahan lagi, Catherina menghampiri anaknya itu. Marsha harus tahu dan bisa menerima kenyataan ini. Ia tau pasti berat, ia juga pernah mengalaminya saat suaminya pergi meninggalkannya, sama. Tapi mau bagaimana lagi? Ini sudah kehendak Tuhan. Catherina mencengkeram kedua lengan atas Marsha. “Sadarlah Nak, sadar! Marcel sudah tiada, yang dikatakan Rio benar. Kau harus menerimanya, ikhlaskan. Mom mohon, jangan seperti ini.” Marsha menatap Catherina tidak percaya. “Ke-kenapa Mom ikut-ikutan dia? Dia bohong Mom, Dia pasti bersekongkol deng—“ “Tidak Marsha!” bentak Catherina disertai air matanya yang mulai mengalir di pipi. “Rio benar, Marcel sudah tiada ...” lanjutnya lirih. Marsha masih keukeuh, ia menggelengkan kepalanya tidak percaya akan perkataan Catherina. “Mom bohong.” “Percayalah Nak, tempat yang kita kunjungi tadi, tempat itulah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Marcel.” Deras sudah air mata Marsha mengalir. Catherina merasa ini lebih baik, biarkan Marsha menangis sepuas-sepuasnya supaya lega. Tidak diam layaknya patung hidup sejak mendengar Marcel meninggal sampai Marcel dikebumikan. “Mama!” seru seorang anak perempuan, anak itu berlari menghampiri para orang dewasa di jalan di depan rumah. “Mom bohong!” Marsha menghempas tangan Catherina dan masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan sosok anak kecil yang spontan menghentikan larinya karena terkejut mendengar teriakan sang Mama. “Nenek.” Anak itu menangis. “Ara.” Catherina menghapus air matanya lalu menghampiri Ara, hal sama dilakukan oleh Rio. “Maafkan Nyonya, Nona Ara bangun terlebih dulu dan memberontak mencari Nyonya Marsha.” Catherina mengangguk paham, ia meminta asisten rumah tangganya untuk menjaga Ara, Izy dan Cio yang sengaja diberi obat tidur dosis kecil agar tidak lagi memberontak takut serta berteriak memanggil-manggil Marcel yang terluka bersama mereka. “Ma-mama.” “Mamamu tidak apa-apa. Mamamu mungkin lelah hingga tidak melihat anak cantiknya berada di sini.” Catherina menetralkan wajahnya, ia berusaha bersikap seperti biasa di depan Ara. “Ta-tapi—“ Melihat anaknya, Andrean menghampiri. “Ara.” Ara yang tengah menangis pun mendongakkan kepala, menatap sosok yang memanggil namanya. “Papa Andre!” serunya pelan, Ara kecil dengan cara bicara yang khas karena belum bisa mengucap huruf R dengan benar kemudian mengangkat kedua tangannya. Bermaksud agar Andrean menggendongnya. Saat Andrean telah menggendongnya, kedua tangan Ara dilingkarkan ke leher Andrean dan kepalanya ia sembunyikan di ceruk leher papanya itu. “Ara takut, Pa. Papa Marcel berdarah banyak,” ucapnya disela tangis. Siapa yang tidak sedih, jika anaknya mengalami hal seperti ini. Melihat kondisi yang tak seharusnya mereka lihat di usia yang mana bisa mempengaruhi kondisi psikis mereka. “Sstt ... Tenang ya. Di sini ada—“ Andrean tidak melanjutkan ucapannya, ia melihat Marsha keluar lagi dengan terburu-buru dan membawa selembar kertas. “Marsha kau mau ke mana?” Rio menarik tangan Marsha, menghentikan langkah wanita itu. “Lepaskan aku!” “Tidak, kau mau ke mana?” “Tentu saja mau menemui suamiku. Kau pikir aku mau ke mana?!” Rio mencengkeram lebih erat pergelangan tangan Marsha, menahan Marsha agar tidak pergi. “Pa, Mama kenapa?” “Kita masuk ke rumah ya, Sayang. Papa Andre juga mau lihat kakak-kakakmu,” bujuk Andrean sembari menghapus jejak-jejak air mata di kedua belah pipi chubby Ara. Ia ingin mengalihkan saja perhatian sang anak agar tak tertuju pada Marsha. Wajah Ara menunjukkan keengganan. “Tapi, Pa ...” “Ara sayang Mama.” Ara mengangguk. “Kalau begitu biarkan Mama bersama nenek ya. Mama sekarang lagi ada masalah. Ara enggak boleh ganggu, nanti masalah Mama enggak selesai terus Mama sedih.” “Ala enggak mau Mama sedih,” polosnya, seolah melupakan apa yang sedang menimpa dirinya tadi, bersama kedua kakak serta Papa Marcelnya. “Kalau gitu kita masuk ke dalam rumah ya.” Bunyi tamparan keras mengiringi langkah Andrean dan Ara yang memutuskan masuk ke dalam rumah. Andrean jelas mendengar, beruntung kepala Ara berada di ceruk lehernya, ia bisa menutup sebelah telinga Ara dengan tangannya. Toh, yang satunya pasti tertutup oleh lehernya ‘kan? Setidaknya anak ini tidak mendengar dengan jelas bunyi tersebut. “Mom tampar aku?” lirih Marsha seraya memegang pipinya yang baru saja di tampar oleh Catherina, percayalah itu gerakan spontan seorang ibu yang melihat anaknya berada di ketidakberdayaan atau sang anak tidak mau mendengar penuturan sang ibu, yang nyatanya itu baik untuk dirinya dan sang ibu kesal karena tak didengar. “Aku merasa tidak salah apa pun, Mom. Aku hanya ingin menunjukkan Marcel ini.” Marsha mengangkat kertas ditangannya. “Marcel selalu menunggu hal ini. Mom lihat.” Marsha membuka kertas itu dan menunjukkan pada Catherina. Senyum itu ada, Catherina miris melihatnya. Dalam hatinya pun, terbesit penyesalan telah menampar sang anak. Dengan tangan bergetar, Catherina menerima kertas tersebut. Matanya terbelalak begitu melihat isinya. “Mom senang kan? Marcel pasti senang juga. Aku jadi tak sabar ingin memberitahunya, ingin lihat ekspresinya juga,” riang Marsha. “Maafkan aku, Marsha.” Sebelum Marsha melakukan hal di luar batas, Rio terlebih dulu membekuk leher belakang Marsha hingga wanita itu pingsan. “Maafkan saya Nyonya Catherina, dia butuh istirahat,” sesal Rio. Sejujurnya ia pun tak ingin melakukan ini. Tetapi ia harus melakukannya. Untuk Marsha sendiri dan Untuk Marcel. Ia tidak mau sahabatnya sedih di atas sana. Maafkan aku Marcel, di akhir hidupmu aku berada jauh darimu. Aku harus mempersiapkan pernikahanku, aku ingin kau hadir. Sayangnya, Tuhan lebih sayang padamu. Do’akan aku dari sana ya. Rio akan menikah, sudah satu minggu dia berada di Bali mengurus pernikahannya bersama sang kekasih. Rencananya seminggu dari sekarang ia akan melaksanakan pernikahan. Dan kabar ini datang mengejutkan dirinya, padahal ia telah menyiapkan satu stelan lengkap untuk Marcel dan juga keluarganya. Keluarga Marcel ia anggap sebagai bagian dari keluarganya di pernikahannya nanti. Namun, takdir berkata lain. Marcel tidak menghadiri pernikahannya malah sebaliknya ia hadir di sini untuk mengantar Marcel. Walau terlambat, ia pasti akan mengunjungi teman, sahabat sekaligus keluarga baginya itu. Satu lagi Tuan Jail, kau akan mempunyai harta berharga loh. Selamat, turut senang untukmu, Marcel. Catherina hanya mampu melirik sang anak yang berada dalam gendongan Rio. Tuhan, kenapa kau beri cobaan berat lagi untuknya? Kenapa hal sama harus terulang lagi? Keduanya masuk ke dalam kamar Marsha dan Marcel, Rio meletakkan Marsha di kasur dan Catherina menyelimutinya. Wanita itu mengecup kening Marsha, kemudian bergumam seraya membelai kepala Marsha. “Kau kuat, Nak. Mom bersamamu.” Menegakkan tubuhnya, Catherina menghadap Rio sambil menghapus air matanya. “Tolong jaga dia sebentar, aku akan memanggil dokter. Aku takut terjadi apa-apa. Dia sempat lari-lari tadi.” Rio mengangguk dan membiarkan Catherina pergi. Keluar dari pintu kamar, Catherina melihat Andrean turun dari tangga. “Aku mau mengambilkan Ara minum.” Tak berkata apa pun, Catherina mengulurkan kertas yang sedari tadi ia pegang. Sedikit lecek karena tanpa sadar ia remas. Andrean menerima kertas itu. “Terulang kembali,” ujar Catherina sebelum pergi meninggalkan Andrean. Jantung Andrean berdegup kencang, sedikitnya perkataan Catherina mempengaruhinya. Semoga bukan hal buruk. Memang bukan hal buruk. Harusnya ini kabar gembira untuk Marcel dan cukup mengejutkan untuknya di kondisi seperti sekarang ini. “Marsha hamil,” gumam Andrean. Andai kondisinya berbeda ia pasti akan turut bahagia. Kini ia mengerti maksud dari perkataan Catherina padanya. Terulang kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD