"Papa Andre, Ara haus."
Sedikitnya Andrean kehilangan fokus. Ia sampai lupa memberikan minuman yang anaknya minta sedari tadi.
"Maafkan Papa, Ara." Andrean meminta maaf, ia menyodorkan minuman di tangannya pada Ara, membantu pula sang anak untuk minum.
"Papa sudah." Lagi Andrean tersentak. Kabar kehamilan Marsha cukup mampu mengusik dirinya. Pikirannya seolah penuh akan bayangan di masa lalu. Apa yang Marcel lakukan untuk Marsha, saat tahu Marsha hamil? Ia tak paham mengenai itu.
Andrean meletakkan gelas bekas minum Ara di atas nakas. Pikirannya masih terus berpikir, yang entah apa. Semua seolah kusut dalam otaknya. Ia buntu.
"Papa Kak Zy dan kak Io bangun.”
Melirik tempat tidur anak-anaknya, Andrean melihat kedua mata anaknya mengerjap kemudian terbuka. Terlihat Izy dan Cio langsung bangun dengan wajah panik.
"Papa Marcel!" keduanya berteriak. Membuang selimut yang tadinya menyelimuti mereka berdua lalu turun dari ranjang tempat tidur.
"Cio, Izy kalian mau ke mana?" cegah Andrean, menghalangi kedua anaknya pergi.
"Lepaskan! Aku mau Papa Marcel! " berontak Izy atas pegangan Andrean pada pergelangan tangannya. Sementara Cio, anak itu tidak berontak tapi tubuh kecilnya bergetar.
Tidak mudah menjelaskan kepada anak-anak yang masih belum mengerti tentang kondisi yang mereka alami tadi apalagi tentang kehidupan termasuk tentang kematian. Menjelaskan pada mereka, jika papa Marcel yang mereka sayangi telah tiada.
"Aku mau Papa Marcel!"
Andrean merangkul Cio dan Izy, pria itu berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan anak-anak. Ia pun tidak perduli dengan rasa sakit pada tubuhnya akibat pukulan serta gigitan ditangan yang Izy lakukan untuknya.
"Ara diam di sana ya, Nak," Kata Andrean tertuju kepada Ara. Anak perempuan kecil itu kembali menangis di atas ranjang, melihat kedua kakaknya menangis.
"Lepas! Aku benci kau!"
Andrean sontak terkejut atas bentakkan Izy padanya.
“Apa? mau marah? Aku enggak takut. Aku mau Papa Marcel! Lepas!”
"Papa tahu kamu benci Papa. Papa tidak akan marah. Papa hanya minta kamu tenang dulu."
"Enggak mau! Aku mau Papa Marcel!
"Izy … Izy ... Dengarkan Papa—"
"Kau bukan Papaku!"
Menghembuskan nafasnya, Andrean kembali berbicara setelah menenangkan hati dan pikirannya. Ia sudah biasa ditolak dan penolakan kali ini baginya bukan apa-apa. Ia sudah kebal. Ia hanya harus banyak bersabar.
"Papa Andre janji akan membawa kalian bertemu Papa Marcel,” putus Andrean akhirnya.
"Sekarang?" pertanyaan singkat berupa gumaman dari Cio sampai ke indra pendengaran Andrean.
"Besok."
"Sekarang!" bantah Izy.
"Waktu untuk menemui Papa Marcel di rumah sakit sudah habis. Kita tidak bisa ke sana sekarang, nanti diminta pergi. Kalau diminta pergi kita semua tidak akan boleh mengunjungi Papa Marcel di rumah sakit untuk besok dan besoknya lagi. Kalian mau?" berbohong itu tidak baik. Namun, Andrean harus melakukannya. Demi anak-anak.
Andrean menatap satu persatu anak-anaknya. Dalam hati ia harap-harap cemas akan tidak dipercayai oleh mereka atau tidak. Tetapi dengan Izy tidak berontak lagi seperti tadi, cukup baginya tahu bahwa anak-anak mulai percaya padanya.
Ara menyeka air mata di pipi. "Papa Andle janji?"
"Ya, Papa Andre janji. Papa akan bawa kalian menemui Papa Marcel besok pagi. Sekarang kalian jadi anak baik dulu. Kita makan terus tidur.”
Izy berjalan kembali menuju ranjang dan merangsek masuk ke dalam selimut lagi. Tidak menghiraukan ucapan Andrean.
"Cio duduk bersama adik-adik dulu ya. Papa Andre ambilkan makan."
"Pa, Mama di mana?" tanya Cio sebelum Andrean pergi.
"Mama juga lagi istirahat, besok ‘kan mau bertemu Papa Marcel bersama-sama.”
Sekian detik Cio dan Andrean saling tatap. Andrean tahu anaknya itu berbeda, dan hal itu mampu mendebarkan jantungnya. Takut jika Cio mengatakan hal yang tidak ingin ia dengar sekarang.
Akhirnya, Andrean bisa bernafas lega begitu Cio mengangguk kemudian berbalik menjauhi dirinya melangkah menaiki ranjang kembali.
Dalam hati Andrean membatin, "Terima kasih, Tuhan . Terima kasih Cio."
***
Usai menemani anak-anak makan. Tentunya dengan sedikit bujukan, akhirnya mereka mau makan. Setidaknya lima sampai enam sendok makanan masuk ke dalam perut mereka.
Paling susah Izy. Cukup keras kepala dan susah di bujuk. Melihatnya saja tidak mau, apalagi diminta makan. Anak itu akan tetap bergelung dalam selimutnya. Menyembunyikan dirinya di sana. Kalau tidak ia ingatkan akan pergi ke tempat Marcel, Izy tidak akan mau keluar. Meski begitu Izy tetap tidak mau ia suap. Lebih meminta Asisten rumah tangga yang menjaga mereka saat dalam pengaruh obat tidur tadi untuk menyuapinya. Ada rasa sakit, tapi tidak lebih penting dibanding kesehatan anak-anak bukan?
"Saya akan membawa mereka ke tempat Marcel besok pagi," ucap Andrean pada Catherina. Rio sendiri sudah pamit, dia pergi ke tempat Marcel sebelum menjelang malam. Sedangkan anak-anak kembali tidur ditemani sang asisten rumah tangga.
"Kau serius? Ini terlalu cepat buat mereka." Ketidaksetujuan akan rencana Andrean terlihat jelas di wajah Catherina.
"Sampai kapan mau menyembunyikan dari mereka mengenai ini, Nyonya. Mereka tidak akan berhenti mencari Marcel meski kita telah membohongi berulang kali nantinya. Dan saya merasa itu salah, mereka terlalu biasa bersama Marcel."
Catherina memalingkan muka darinya.
".Mereka khawatir akan kondisi Marcel. Kita bahkan tidak tahu bagaimana situasi yang mereka hadapi tadi. Bahkan tidak ada dari anak-anak yang mau berbicara. Mereka butuh waktu. Setidaknya mereka butuh orang terdekat untuk mencurahkan isi hati dengan mudah. Sayangnya, itu bukan saya. Dan—"
"Dan mereka mengharapkan Marcel baik-baik saja," potong Catherina.
Andrean mengangguk menyetujui perkataan Catherina."Sedangkan Marcel tidak baik-baik saja. Dia sudah tiada."
Keduanya memilih keheningan mengambil alih kondisi mereka berdua saat ini, Setelah cukup lama, Andrean kembali membuka suaranya.
"Kalau ada cara lain selain membohongi mereka, saya akan melakukannya. Sayangnya, saya lebih memilih untuk jujur pada mereka. Pastinya dengan bahasa yang mampu mereka pahami di usia mereka ini hingga mereka tidak akan bertanya-tanya tentang Marcel lagi."
Dan mau tidak mau Catherina menyetujuinya, menyadari membuat anak-anak mencari-cari yang sudah tiada akhirnya akan membuat mereka kecewa nantinya, bukan sikap baik yang didapat melainkan pemberontakan. "Terserah. Kau ayahnya Andrean. Kau tentu tahu yang terbaik bagi mereka.”
Andrean memainkan kukunya, mempertimbangkan apa yang akan ia katakan. "Soal Marsha ..."
Ia menatap Catherina yang juga langsung menatapnya begitu ia mengatakan tentang Marsha. Ia sudah memikirkan ini baik-baik, ia berharap bisa menjalani seperti yang Marcel dulu jalani.
"... biarkan saya yang menjaganya serta anak dalam kandungannya.”
Catherina kaget tentunya, Namun suara teriakan dari kamar Marcel yang kebetulan dekat dari posisinya sekarang, lebih mengagetkannya juga. Hal sama pun dirasakan Andrean, membuat keduanya segera beranjak dari tempat.
"Marcel!"