Lima

1364 Words
Seorang pria duduk di atas kursi besi panjang dengan sandaran dan dengan kelinci di pangkuannya. Begitu yang dilihat oleh seorang wanita tak jauh berada di depan Si pria. "Marcel," gumam wanita itu. "Marcel!" Kini ia berteriak memanggil, saat hatinya meyakini pria yang dilihatnya itu, pria yang ia sebut namanya, suaminya. Hanya terdengar bunyi daun-daun yang saling bergesek karena angin. Tak ada jawaban. Si pria masih menunduk mengelus punggung sang kelinci. "Marcel!" panggilnya lagi. Ia mulai berlari mendekat. "Berhenti di sana, Marsha!" suara itu terdengar tegas. Cukup untuk membuat Si wanita bernama Marsha menghentikan kakinya. Sekiranya ada jarak satu meter lebih diantara mereka berdua. "Marcel …." lirihnya. Ia heran, pasalnya selama ia mengenal Marcel sampai hidup bersama pun, laki-laki tersebut tak pernah berkata setegas itu dan dengan nada yang serendah. "Kau bukan Marsha yang aku kenal." "Apa maksudmu, Marcel?" Marsha menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mengerti." "Kau lemah, Marsha." "Lemah?" "Ya." Pria itu-Marcel- melirik tajam ke arah Marsha. "Marsha yang aku kenal tidak mungkin selemah ini." Marsha terdiam, ia menunduk dan meresapi yang Marcel katakan untuknya. "Kau marah padaku, Marcel?" "Tidak, aku marah pada diriku sendiri karena telah menjadikanmu wanita lemah." "Kalau karena air mataku ini kau menganggapku lemah dan menyalahkan dirimu sendiri, maafkan aku Marcel." Dengan kedua tangannya Marsha menghapus air matanya yang terus mengalir meski telah ia hapus berulang kali. "Aku tidak bisa menghentikan ini. A-aku terlalu senang kau pulang. Kau tahu, aku mencarimu sedari tadi. Mereka bilang kau--" Marsha tertegun, ia tak mau berkata itu. Baginya ucapan adalah do'a. Ia tidak mau seperti mereka yang mendo'akan Marcel. "Tidak jadi. Itu tidak penting. Mereka salah. Nyatanya kau masih disini. Bersamaku." "Kau tahu Marcel, aku merindukanmu dan aku punya kabar baik untukmu. Kau pasti senang," lanjut Marsha, ia terbayang akan kelakuan Marcel malam kemarin. Betapa besar harapan pria itu akan kehadiran buah hati mereka. "Anak-anak Papa. Tunjukin dong ke Papa dan Mama dan semua orang kalau kalian itu berkualitas. Cepat hadir diantara kami. Kami tak sabar mendapat kabar bahagia loh." Marsha membiarkan kelakuan suaminya. Hal yang biasa dilakukan Marcel setelah mereka berdua melakukan hubungan suami istri. Ia tak kaget akan tingkah suaminya itu. Berbicara dengan membelai perutnya dan tidur di atas dadanya. Terlalu sering ia tertidur meninggalkan suaminya berbicara sendiri. Ia terlalu lelah untuk sekedar menanggapi. Sekali dua kali sih, ia hanya menanggapi dengan bergumam. Tapi malam ini terasa berbeda. Ia terjaga karena merasa dalam perutnya ada sesuatu yang menggelitik saat Marcel membelainya. Sejujurnya akhir-akhir ia merasa ada yang aneh pada tubuhnya. Gampang capek, sering merasa mual dan yang terpenting tamu bulanannya di bulan kemarin tidak hadir. Meski begitu ia tak mau menduga-duga dulu, hal tersebut belum tentu menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Karena itu, besok ia akan memeriksakan diri ke dokter. "Sayang udah jadi belum sih? Udah ketemu sel telur Mama belum? Bicara dong! Jangan diam saja." Marsha terkekeh kecil. "Mana bisa, Sayang. Mereka tidak akan bisa bicara, kamu aneh-aneh saja. Jadi aja kita belum tahu, belum pasti juga.” "Eh, kamu belum tidur?" kejut Marcel, tak biasanya sang istri menanggapi omongan absurdnya. Kata-katanya panjang lagi. "Belum. Entah kenapa?" balas Marsha dengan membelai rambut Marcel di atas tubuhnya. "Kamu tahu BubbyGum, aku merasa malam ini berbeda. Aku merasa dia ada." "Dia siapa?" tanggap Marsha cepat. "Anak kita." "Ah, kamu mah sok tahu," jawab Marsha tak percaya. "Beneran. Kamu sih enggak pernah bicara dengan mereka. Habis kita main langsung tidur. Harusnya kamu semangatin mereka biar salah satu dari mereka bisa cepat jadi." Wajah Marsha merona mendengar kata main keluar dari mulut Marcel. "Tau ah, kamu. Aku tidur aja," ujar Marsha seraya menyingkirkan kepala Marcel dari atas tubuhnya. "Ihh, Mama kamu marah Sayang. Kan Papa serius ya." Cukup lama Marcel terdiam. Membuat Marsha kembali membuka mata, melihat sang suami duduk diam menatap perutnya dengan satu tangan dengan tetap membelai. "Meski Mamamu tidak percaya kamu sudah ada tapi tenang saja. Papa percaya kok. Kamu jangan sedih ya. Biar Papa saja yang sedih." Marsha terpaku, Marcel menangis. Walau dalam keremangan ia bisa melihat, tubuh pria itu bergetar. Menangis. "Entah kenapa Papa takut tidak bisa nyentuh kamu lagi, baik saat kamu berada di kandungan Mama, dan ketika kamu lahir nanti." "Maafkan Papa yang mellow ya sayang. Maafkan omongan ngawur papa juga. Papa pasti akan selalu di dekat kamu kok, tunjukkan kehadiranmu ya. Biar Mamamu percaya. Oke, Sayang." Marcel mengecup perut Marsha, kemudian menatap Marsha sejenak yang kembali menutup mata saat Marcel akan menoleh padanya, lalu pria itu mengecup lama dahi sang istri. Cukup lama hingga Marsha merasakan dahinya basah oleh tetesan air. "Aku mencintaimu, Marsha, BubbyGumku," gumamnya sebelum merebahkan diri di samping Marsha dan memeluknya erat, lebih erat dari biasanya. Keanehan Marsha rasakan, Namun ia tepis begitu saja. Ia berpikir positif, mungkin suaminya itu lelah. Ya, lelah. *** "Berhenti Marsha. Berhentilah menyalahi takdir. Sekuat apapun kau mengelak. Kau tidak bisa merubah takdirku." Marsha tersadar dari lamunannya saat suara Marcel mengejutkannya. "Sadarlah, kita kini berada di tempat berbeda. Sekarang yang ada. Kau di duniamu dan aku di duniaku" "Kita berada di dunia yang sama Marcel! Kenapa kau--" Marcel mengangkat tangannya meminta Marsha untuk diam. Sedangkan kelinci di atas pangkuan pria itu meloncat turun. "Percayalah Marsha. Seperti janjiku pada Tuhan. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Marcel beranjak dari kursi, menghampiri Marsha. "Aku selalu berada di dekat kalian. Kamu dan anak kita," telapak tangan pria itu menyentuh perut Marsha. "Akan ku jaga kalian dari tempatku. Tempat di mana aku bisa langsung memohon kepada Tuhan agar membantuku menjaga kalian semua. Aku bersyukur Tuhan masih memberiku kesempatan untuk berdiri di sisimu. Untuk hidup bersamamu. Bersama si kembar tiga. Dan membangun keluarga yang bahagia." "Marcel …" Marsha tak kuasa, dipeluknya suaminya seerat mungkin. "Aku mencintaimu." "Sampaikan salamku untuk tiga bocah di rumah ya. Katakan aku sangat, sangat dan sangat menyayangi mereka. Sampaikan salamku pada Rio, sahabatku itu akan menikah. Bilang, supaya jangan keluarin suara tikus kejepit waktu akad karena terlalu gerogi." Melepas pelukannya, Marsha memukul d**a Marcel. "Kau ‘kan bisa bilang sendiri ke mereka, kenapa bilang padaku?" Tak menghiraukan ucapan Marsha, Marcel berjongkok. "Apa yang Papa takutkan terjadi. Jaga Mama ya. Yang akur sama saudara-saudaramu. Kalau nanti gede enggak boleh nakal. Janji sama papa, oke." "Marcel apa yang kau katakan?! Kau berkata seperti itu seolah-olah kau tidak akan bersama kami lagi! Berhenti bicara begitu, aku enggak suka. Kau akan di sini bersama kita, enggak akan berubah" Marcel berdiri dan menghapus air mata Marsha, "Bangkit dan lepas aku dengan sebuah senyuman. Jangan ratapi aku. Jadilah wanita yang kuat, seperti aku bertemu wanita di stasiun kereta pertama kali. Kau tahu siapa wanita itu bukan?" "I-itu aku." Menangkup wajah Marsha, Marcel berujar sembari tersenyum. "Ya, itu kamu. Marshaku. BubbyGumku." Sebuah kecupan mendarat di dahi Marsha. "Aku sangat mencintaimu," lanjut Marcel kemudian berjalan mundur. "Marcel kau mau ke mana?!" Marsha berlari mengejar Marcel. " Marcel berhenti!" teriak Marsha pada Marcel yang perlahan menjauh pergi lalu ... "Marcel tunggu !" "Jangan pergii!!" ... Hilang dalam kabut. "Marcel kamu di mana?" "Kenapa kau meninggalkanku sendirian?" "Selamat tinggal Marsha." Marsha menoleh ke sekeliling mencari keberadaan sang suami. Tapi sayang, yang ia temui hanya kekosongan. Kelinci bersama Marcel tadi pun ikut menghilang. "Marcel!" teriaknya. "Marcel!" Nafas Marsha memburu, keringat membanjiri wajahnya. Ia bermimpi. Mimpi itu seolah nyata. "Marcel," gumamnya dan kembali menangis. "Marsha." Catherina dan Andrean masuk ke dalam kamar Marsha. Wanita itu menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan yang bertopang pada kedua lututnya. Tubuhnya bergetar hebat. Lagi, lagi dan lagi menangis. "Kamu jahat, Marcel. Kamu meninggalkanku dan anak-anak. Tega sekali," ucapnya disela tangis. Catherina yang mendengarnya, hanya mampu membelai rambut anaknya. Ia menahan tangis. Sedangkan Andrean memalingkan muka. Tak ingin menatap Marsha. Yang hanya akan menambah sesak di dadanya. Ketidakberdayaan wanita itu menjadi salah satu hal yang tak ingin ia lihat. Sungguh. "Tinggalkan aku sendiri, aku ingin sendiri." "Tapi Marsha--" "Please, Mom!" Catherina menatap Andrean sesaat, kemudian mengangguk. "Baiklah, berjanjilah untuk tidak menyakiti dirimu sendiri dan anak di kandunganmu. Ingat Ara, Cio dan Izy, Marsha. Mereka membutuhkanmu. Mereka butuh ibunya." Mendengarnya tangis Marsha mengencang, mengiringi kepergian Catherina dan Andrean yang membiarkan pintu kamar Marsha terbuka. Takut Marsha berbuat yang tidak-tidak nantinya. "Seperti katamu Marcel. Aku wanita kuat. Aku kuat." Mendongak Marsha menatap jendela yang terbuka hingga angin menerpa wajahnya dan membuat kelambu bergerak sesuai arah angin membawanya, "Terima kasih untuk segalanya, Marcel. Aku mencintaimu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD