Tiga pasang mata menatap seseorang yang tengah meringkuk di atas kasur dengan kondisi tidak bisa di bilang rapi.
"Mama.”
"Mama kalian lagi tidur. Kita pergi tanpa Mama ya, perginya sama Nenek dan Papa Andre."
Ketiganya diam. Tak ada satu pun berniat mengiyakan perkataan Catherina.
"Kasian Mama loh, Mamanya kecapekan, Sayang."
Setelah terdiam cukup lama, ketiganya serempak mengangguk.
"Sekarang cium kening Mama. Pamit."
Satu persatu dari mereka mencium kening Marsha. Menuruti permintaan Catherina.
Selanjutnya Catherina mengajak ketiga anak kembar itu keluar kamar Marsha, melewati Andrean yang sedari tadi berdiri di depan pintu.
Sepeninggal Catherina dan ketiga anaknya, Andrean memberanikan diri berdiri di samping ranjang Marsha. Tepat di depan wajah Marsha yang dalam posisi tidur menyamping.
"Aku berharap kau bisa bangkit."
Diamatinya wajah Marsha, terlihat bekas air mata mengering di Pipi. Mata sembab, hidung memerah, cukup membuktikan jika Marsha menangis cukup lama.
"Aku tidak tahu sakitnya kehilangan karena takdir, tapi setidaknya aku tahu sakitnya kehilangan orang yang kita sayang. Aku tidak tahu yang kau hadapi saat ini. Kalau kau menganggapku teman. Seharusnya kau bisa berbagi padaku."
Andrean menipiskan bibirnya, sejenak ia terdiam.
"Aku menunggu untuk itu, Marsha."
Andrean merasa bodoh berbicara dengan orang tidur. Tetapi ia juga tidak bisa menyimpan terlalu lama unek-unek di hatinya tanpa mengungkapkan. Tipe-tipe, berucap tanpa berfikir dulu. Hal itulah yang menyebabkan dirinya berbuat kesalahan di masa lalu. Mulut dan perbuatannya yang mampu menyakiti orang lain. Orang lain yang saat ini ada di hadapannya.
"Tidak lama mengenalmu. Aku tahu kau wanita kuat. Kau bisa bangkit dan hidup seperti biasanya. Marcel pun pastinya tidak ingin melihatmu seperti ini."
Sinar matahari menerobos melalui jendela yang tak tertutup kelambu, menerpa wajah Marsha. Kondisi yang mampu memperjelas kondisi wanita itu. Membuat Andrean kembali merasakan dan bersalah secara bersamaan.
"Aku membutuhkanmu, Marsha. Aku tidak tahu cara menghadapi mereka. Kau jelas tahu, aku dan mereka tidak sedekat kau dan Marcel. Aku takut hilang kendali, aku juga takut salah bicara, aku takut karena sikapku mereka semakin menjauh dariku."
Andrean menutup matanya, kedua tangannya mengepal. Mengingat dirinya belum sepenuhnya berhasil membawa ketiga anaknya dalam dekapannya sepenuhnya.
"Semalaman aku berpikir. Apa yang harus aku katakan agar mereka mengerti kondisi ini? Mereka anak-anak, baru masuk tingkat dua di taman kanak-kanak. Bagaimana caraku menjelaskan soal hidup dan mati pada mereka?"
Andrean mengusap wajahnya kasar. "Sejujurnya aku sangat butuh bantuanmu. Tapi aku juga tidak ingin egois. Kau butuh waktu untuk menenangkan diri. Aku akan bicara, mencoba menjelaskan semampuku pada mereka. Aku harap mereka bisa mengerti penjelasanku, nantinya tidak membuat mereka marah dan semakin jauh dariku."
Tangan Andrean terjulur, mengambil selimut yang menggantung di samping ranjang sampai ke lantai. Ia memakaikan selimut itu pada Marsha.
"Kami pergi dulu, Marsha."
Seiring langkah kaki Andrean yang mulai menjauh. Kedua mata Marsha terbuka. Terlihat sendu dan kosong.
***
"Ini di mana, Nek? Papa Marcel ada di sini? Tempatnya kok sepi?" pertanyaan beruntun keluar dari mulut Izy.
"Tempatnya kok sepi, Nek. Ara takut," ujar Ara dengan cadelnya.
Catherina tidak menjawab, sama seperti Andrean, ia juga tengah memikirkan hal yang harus ia katakan pada cucunya.
"Kita berhenti di sini."
"Ini apa, Nek? Kita mau ketemu Papa Marcel. Kenapa di sini?" pertanyaan Izy berakhir tepat saat Andrean dan Cio berdiri di hadapannya. Di sisi yang lain.
Catherina menggigit bibir bawahnya. "Ini tempat tinggal Papa Marcel yang baru."
"Ara enggak tahu maksud, Nenek."
Genggaman Catherina pada Izy dan Ara menguat, ia sejenak mempersiapkan diri sebelum kemudian berjongkok mensejajarkan dirinya dengan Izy dan Ara. Direngkuhnya pinggang kedua anak itu agar lebih dekat padanya.
"Di dalam sini Papa Marcel sedang beristirahat." Sekuat tenaga Catherina berusaha menangis.
"Kenapa Papa Marcel istirahat di sini? Enggak di rumah aja."
Andrean ikut berjongkok, diikuti Cio. "Ara, Cio dan Izy percaya Tuhan?" tanya Andrean, saat itu juga ketiga pasang mata menatap Andrean.
"Ya. Kata Mama kalau enggak ada Tuhan kita enggak akan ada di sini. Tuhan yang ciptain kita."
"Benar. Kalian pernah bertemu Tuhan?"
Ara dan Cio menggeleng. Sedangkan Izy tetap diam. Ia tak lagi menatap Andrean tapi menatap papan kayu di sampingnya.
"Kalian tahu kenapa kalian belum bertemu Tuhan?" lagi keduanya menggeleng.
"Itu artinya kalian belum waktunya bertemu sama Tuhan. Tuhan beri kalian waktu untuk tetap di sini."
"Kapan kita bisa bertemu, Tuhan?"
Andrean menghembuskan nafasnya mendengar pertanyaan Cio. "Kalau waktu kita sudah habis. Kapan waktu kita habis di bumi ini? Itu hanya Tuhan yang tahu."
"Aku mau bertemu Papa Marcel bukan Tuhan?!" seru Izy. "Di mana Papa Marcel? Kau janji akan membawaku ke Papa Marcel 'kan?" cecarnya pada Andrean.
"Izy enggak boleh gitu. Dia yang Izy tunjuk juga Papa Izy. Izy harus--"
"Biarkan saja Nyonya Catherina," sela Andrean, ia kemudian kembali berbicara sembari menatap Izy. "Papa Marcel sudah bertemu, Tuhan. Kita tidak bisa bertemu lagi dengannya, kita hanya bisa mendo'akannya dari sini."
"Kau bohong? Aku mau bertemu Papa Marcel, di mana tempat Tuhan? aku mau Papa Marcel!" berontak Izy, namun tak bisa lepas karena Catherina merengkuhnya dengan kuat.
"Izy tenanglah. Yang dikatakan Papa Andre benar. Papa Marcel sudah tidak
bersama kita lagi. Papa Marcel bersama Tuhan sekarang."
Tetap Izy tak bisa diam. "Enggak Nenek bohong, dia juga bohong. Kalian bohong. Kita masih bisa bertemu Papa Marcel! Mana Papa Marcel? antar aku ke sana!"
Melihat kakaknya, Ara menangis. "Papa Marcel. Mau Papa Marcel!"
Keadaan menjadi kacau, Izy yang memberontak, Ara yang menangis seraya memanggil Marcel dan Cio diam dengan wajah sendu.
"Sampai kapan kita enggak bisa bertemu Papa Marcel?" tanya Cio, pertanyaan yang diucapkan seolah tengah berbisik lirih.
Andrean tidak tahu harus menjawab apalagi, ia sendiri mulai bingung. Ia blank.
"Sampai Tuhan mengizinkannya, Sayang." itu bukan suara Andrean atau pun Catherina.
"Mama!"
"Marsha."
Cio, Izy dan Ara berlari ke arah Marsha. Ketiganya berhambur memeluk ibunya. Dan mengadu semua yang Andrean katakan.
Marsha berjongkok, ia hapus air mata Ara dan juga Izy. "Kalian Mau Papa Marcel bahagia, tidak sedih?"
Ketiganya mengangguk.
"Kalau begitu, biarkan Papa Marcel bersama Tuhan." Marsha tersenyum sendu kearah ketiga anaknya. "Kalau kalian sedih dan terus mencari Papa Marcel. Nanti Papa Marcel bisa sedih. Kalian enggak mau 'kan?"
Gelengan kepala Marsha terima, balasan dari pertanyaannya.
"Percaya deh, jika kalian mau menjadi anak baik terus, nanti pasti bertemu Papa Marcel kok. Tapi enggak di sini dan enggak sekarang juga."
"Di mana, Ma?" tanya Cio, ia lebih terlihat tegar dari adik-adiknya. Meski matanya berkaca.
"Di surga. Tempat yang lebih indah dari di sini. Dan seperti apa surga itu? Itu rahasia Tuhan, kalian enggak boleh tahu. Nanti Tuhan Marah. Kalau Tuhan marah, nanti kalian dilarang bertemu Papa Marcel loh."
"Kapan, Ma?" lirih Izy. Air matanya kembali turun.
"Kan Mama udah bilang. Itu rahasia Tuhan, enggak boleh ditanya. Nanti Tuhan marah dan enggak ngebolehin kalian bertemu Papa Marcel. Untuk sekarang, Kalian anak-anak kesayangan Mama harus jadi anak baik. Enggak boleh mencari-cari Papa Marcel sampai menangis nanti Papa Marcel sedih dan minta Tuhan enggak bolehin kita bertemu gimana? Dan juga jangan lupa selalu mendo'akan Papa Marcel di mana pun ya."
Cio dan Ara mengangguk.
"Tapi, Ma, Izy belum minta maaf ke Papa Marcel. Gara-gara Izy Papa Marcel berdarah banyak."
Sontak baik Marsha, Andrean dan juga Catherina terkejut, ketiganya masih belum tahu jelas kronologi kejadian tersebut yang sampai menewaskan Marcel.
Tidak mempedulikan nyeri di dadanya, Marsha mengembangkan senyumnya lebih lebar. "Eh, kata siapa? Kalau Izy jadi anak baik, anak pintar, anak hebat. Enggak perlu minta maaf pun, Papa Marcel maafkan loh. Makanya, Izy harus do'ain Papa Marcel juga. Minta sama Tuhan, kalau Izy ingin bertemu Papa Marcel nanti di surga. Janji enggak nakal lagi. Pasti Tuhan akan kasih izin, kita semua berkumpul sama Papa Marcel di surga yang indah sekali."
"Tapi, Ma--"
"Izy, Papa Marcel sekarang sudah bahagia di surga dan sedang bersama Tuhan. Kita harus mendo'akan Papa Marcel dari sini agar Papa Marcel tambah bahagia dan juga tidak sedih. Sampaikan semua yang kalian ingin sampaikan kepada Tuhan, lewat do'a. Mama sudah ajari kalian berdo'a. Lakukan itu ya," jelas Marsha agak sedikit tegas seraya menatap satu persatu anak-anaknya.
Tak ada jawaban. Ketiga anak itu, hanya memberi jawaban diam sembari menatap Marsha.
"Surga itu jauh ya, Ma?" tanya Cio, akhirnya.
Marsha menggeleng. "Jadilah anak baik, maka surga dekat dengan kita, yang secara langsung nantinya mendekatkan kalian dengan Papa Marcel juga."
"Papa Marcel, Ara--"
"Ara tidak perlu sedih, Papa Marcel tidak akan meninggalkan kita. Papa Marcel sayang sama kalian anak-anaknya, Papa Marcel akan selalu jaga kita." Marsha menunjuk letak organ hati di tubuh Ara. "Tanamkan di sini dan yakinlah, Nak."
Senyum Marsha lemparkan ke arah anak-anaknya.
"Sudah, sekarang kasih Mama senyum dong. Mama mau lihat kalian tersenyum." Ara, Cio dan Izy pun tersenyum, dengan mudahnya Marsha mengembalikan senyuman di wajah mereka. "Sekarang peluk Mama!"
Marcel kau benar. Harusnya aku kuat, aku harus bisa bangkit. Ada mereka yang harus aku jaga. Anak-anak kita dan calon anak kita. Aku tidak berjanji untuk tidak menangis. Tapi aku berjanji untuk kuat menjalani hari-hariku lagi, tanpamu di sampingku.