+#- 2. tak sama

1558 Words
Rangga. Pagi menjelang, jalanan tak seramai biasanya karena mungkin ini masih terlalu pagi untuk mereka beraktifitas, gue baru saja memarkiran motor gue, meletakan helm dan langsung melesat ke kantin. Perut gue sudah meronta meminta untuk segera di isi, mungkin karena dari semalam gue nggak makan makanya sekarang gue ngerasa laper banget. Jangan tanya kenapa gue nggak sarapan di rumah, tentu saja alasan gue bukan nggak mau, tapi malas, terlebih orang tua gue lebih sibuk dengan pekerjaan ketimbang memperhatikan gue yang notabennya adalah anak kandungnya. Gue kadang iri dengan mereka yang memiliki keluarga harmonis, sarapan bareng keluarga, jalan bareng bercengkrama dan bercanda gurau, sedangkan gue? Dari kecil gue lebih sering bersama mbok narmi, pembantu di rumah gue. Tumbuh besar di lingkungan pekerja kerasa dan di didik dengan prinsip perfeksionis membuat gue tumbuh menjadi sosok yang kurang kasih sayang dan harus fokus dengan nilai akademik gue. Jujur gue bosen, gue juga ingin bebas seperti mereka yang bisa menikmati kehidupan remaja, menjajah dan memuaskan rasa penasaran jiwa muda. Bukan malah terjebak dengan dunia les bimbel dan sehal hal lainnya. "Mang bubur ayam satu sama tes s**u ya," Gue mengitari pandangan menyusuri penjuru kantin, sekolah masih sepi karena jam masih menunjukan pukul 06:12, gue bisa bernafas lega karena ini, tanpa berdesakan gue bisa menikmati makanan sepuas hati gue tanpa terganggu, dan pergi setelah kantin mulai ramai nanti. "Bubur ayam sepesialnya sudah siap, silahkan di nikmati!" Ucap mang Dimas meletakan Nompan berisi semangkok bubur, mangkok kecil berisi kuah dan segelas teh s**u, Dari aromanya saja sudah menggugah selera makan gue, perut gue bahkan makin keroncongan saat aroma khas ini masuk kedalam Indra penciuman gue. "Wehh, udah di kantin aja Lo pagi gini!" Gue menoleh sekolah, menemukan Anjar sahabat gue berjalan kearah gue dengan tangan menenteng sepiring nasi goreng. "Laper gue." Balas gue memilih menikmati bubur kesukaan gue dan membiarkan Anjar duduk tepat di hadapan gue. "Nggak sarapan emang?" "Kagak." Jawab gue pelan, "males aja makan di rumah pagi ini." "Wahhh, sayang amat tuh makanan mbok Narmi, kagak ada yang makan. Ngapa nggak lu bungkus aja, elah. Tau gitu gue nggak perlu jajan di kantin ini." "Kalo Lo mau, tinggal ambil aja di rumah nanti. Nggak ada yang makan juga." Gue menyingkirkan mangkuk bubur yang sudah kosong ke sisi kiri sambil menyeruput teh s**u gue, menatap Anjar yang lahap dengan nasi gorengnya. "Lo makan nggak pesen minum?" Anjar menggeleng pelan tanpa menoleh, masih fokus menikmati makanannya dan gue cuma terkekeh pelan, gue mengangkat tangan untuk memanggil mang Dimas yang tak lama langsung mendekat kearah gue. "Kopi s**u biasa, pesenam Anjar mang." "Ohh siap, dek. Tunggu ya?" Ucap mang Dimas beranjak pergi. Gue mangalihkan tatapan gue kearah Anjar yang masih saja sibuk dengan makanannya. Sahabat gue ini selalu disiplin saat makan, ia tak pernah sedikitpun mengalihkan perhatiannya atau mengeluarkan suara saat makan. Dan setelah selesai barulah ia bersuara. "Tumben amat mesenin gue kopi?" Ucap Anjar menyingkirkan piring kosong menjauh dari dirinya. "Itung-itung buat persiapan ulangan nanti. Gue takut aja kan, nanti pas ulangan kepala lo ngebul karena belum ngopi." Ucap gue mengejek sembari terkekeh pelan, gue tahu Anjar, setelah kepindahannya kemari dia sosok yang cukup ramah dan supel, mudah bergaul dengan siapa saja. Termasuk gue dan kedua sahabat gue lainnya, Anjar sosok keras tapi tau dimana tempat dia mengeluarkan kekerasannya. Mengenal kurang lebih 5 bulan membuat gue sedikit banyak tahu tentang kehidupannya. Hanya sedikit karena gue belum mengenal lebih jauh sosok yang ada di hadapan gue ini, Anjar terlalu tertutup untuk gue gapai. "Sialan Lo, tau aja kalo gue butuh kopi pagi ini!" "Iyalah, gue udah tau kebiasaan Lo apaan." Ucap gue mengeluarkan ponsel dalam saku saat mendengan suara notifikasi. Gue membaca sekilas sebelum kembali memasukan ponsel kedalam saku celana gue. "Yaudah, Lo abisin dah itu kopi, gue ke kelas duluan." Gue beranjak menepuk pundak Anjar. "Thanks kopinya!" Gue hanya mengangkat tangan kanan gue sebagai jawaban teriakannya tadi. Gue beranjak memilih kembali ke kelas. Gue mengerutkan kening sekilas saat melihat sosok El duduk di kelas sendirian dengan buku di tangannya, gue mengangkat tangan sebelah kiri dan mengintip jam yang melingkar di tangan gue. Masih jam 7 dan El sudah duduk santai di dalam kelas, tumben amat, nggak biasanya El serahin ini. "Tumben Lo udah di sekolah jam segini?" Tanya gue memperhatikan El yang mengangkat wajahnya dengan tatapan lelah sepertinya, bahkan kantung mata hitam jelas menandakan jika El begadang malam ini. "Biasa mamah". Jawab El dengan senyum tulus sembari mengangguk pelan "Korupsi waktu?" Sekali lahi El mengangguk pelan. Bukan rahasia umum lagi jika Mak Nana, ibu dari Elina adalah sosok yang cukup unik dengan segala tingkah konyolnya. Dan melihat El sudah duduk anteng di kelas sepagi ini tentu saja karena ulah mamah El. "Keren sih, kalo kata gue mah." "Keren sih keren. Tapi, yakali bikin gue sengsara gini, nggak sadar apa kelakuan dia bikin gue kalang kabut dan ugal-ugalan karena takut telat?" "Bukan salah mamah kalo menurut gue," ucap gue meletakan tasnya di dalam laci, lalu duduk bersandar di meja menghadap ke arah El yang masih memasang tampang kesel. "Lo aja yang ceroboh, nggak cek cermat dan langsung ambil kesimpulan tanpa di pikir!" Dia mendengus keras, gue tahu kebiasaan dia yang suka susah kalau urusan bangun pagi, dan kerennya lagi Mak Nana selalu punya cara tersendiri untuk membangunkan putrinya yang kebo ini. Gue terlibat beberapa obrolan dan gua tau El belum mengerjakan tugas MTK karena semalam gue lihat dia buat snap tentang maraton anime. Dan setiap maraton nonton anime El akan lupa dengan tugas-tugasnya, El sempat terkejut saat gue menanyakan soal tugas MTK, dan setelah gue menyerahkan buku latihan gue barulah dia sadar dan segera menyalin tugas dalam diam. "Wah, wah, wah. Lo orang ini emang bener-bener murid teladan ya. Jam berapa coba ini udah di kelas aja?" Gue menoleh saat suara Adit menghampiri telinga gue, dia masuk kedalam kelas dengan gaya selengekan khas dirinya, terbar senyum dan tebar pesona, gue berdecak pelan dengan gayanya yang sok cool itu. "Berangkat jam berapa kalian?" Tanya Adit yang sudah meletakan tasnya di atas meja lalu duduk di atas meja tepat di hadapan gue. "Biasalah, gue karena mamah aja makanya udah di sini jam segini." Balas El yang sudah selesai dengan tugasnya lalu mengulurkan buku ke gue. "Ada tugas apaan btw?" "MTK, Lo udah?" Tanya gue setelah menyimpan kembali buku kedalam tas. "Ohh, MTK gue udah, capek nyontek terus mah." "Baguslah kalo Lo sadar!" Kata gue yang di bahas tawa oleh Adit. Dia ini sahabat yang menurut gue easy going, wellcome dengan semua suasana, mudah bergaul dan tidak mudah tersinggung, jadi mau Lo hujat seperti apa juga si Adit ini paling cuma cengengesan nggak guna. Gue terlalu hapal dengan sifat dia, apa lagi dengan mulut manis dia yang bisa ngeluluhin siapa aja yang udah di ajak ngobrol sama si dudul ini. Nggak terhitung lagu jumlah cewek yang sudah menjadi korban baper dari Adit. "El, Lo bontot?" Tanya Adit yang membuat gue menoleh menatap kotak bekal berisi roti bakar yang tengah di nikmati El di saat membaca buku seperti pagi biasanya. "Iya, mamah kayaknya yang masukin ke tas, secara dia juga yang punya ide bangunin gue dengan cara bar-bar." Dengus El mencomot roti bakarnya dan melahap dengan santai, bahkan El tak perlu menoleh hanya untuk melihat wajah Adit. "Bagi! Laper gue." Ucap Adit mencomot roti bakar buatan mamah Nana, "Lo mau?" Gue langsung mencomot tanpa di tawari untuk kedua kalinya, ya kali nolak rejeki. Pamali. "Uhh emang the best nih roti buatan mamah Nana mah." Ucap Adit dengan senyum bangga di sela kunyahannya. "Tapi sayang kemanisan, bisa diabetes gue." kening gue berkerut, "manis apaan? Orang pas gini juga." protes hue dengan apa yang di ucapkan adit. "Meh, konslet tuh lidah Lo, orang manis gini geh, apalagi makannya di depan El, sambil liat betapa manisnya Lo pagi ini, El." "Bangkek!" Ucap gue yang hampir saja tersedak roti saat mendengar gombalan receh dari Adit yang sumpah nggak banget. Dia ini pinter banget cari celah untuk ngegombal. "Lebai loh mah, dit." Jawab El cuek. Untuk orang seukuran El yang hampir tiap hari gue yakin dia nggak Akan semudah itu kemakan omongan manis dari Adit, dan bisa gue tebak El bisa saja muak dengan perkataan manis dari Adit. "Serius kali El, Lo tau nggak manisnya gula itu bisa aja buat diabetes, tapi manisnya Lo itu beda banget. ibarat madu, mau seberapa banyak di konsumsi pun nggak akan bikin penyakit!" "Kok gue pengen muntah ya?" Ucap El sambil beranjak dari tempatnya. "Sama, telinga gue rasanya menjerit minta tolong pas denger suara nggak jelas kayak tadi." Balas gue menyusul El yang sudah beranjak meninggalkan Adit. "Kanting aja lah El, pengen muntah ini telinga gue rasanya lama lama dengar omongan manis model buaya kayak dia." "Woy, kalian mau kemana elah!" Kami menggabaikan teriakan Adit, gue mengikuti langkah El, yang entah akan membawa kami kemana. "Aelah, yakali gue di tinggalin. Woy!" "Abaikan-abaikan." Ucap gue di belakang El yang langsung berhenti saat mendengar gue bergumang, El memutar tubuh dan menatap gue dengan sebelah alis terangkat. "Lo mau kemana?" Gue berhenti, ikut mengerutkan kening. "Lah, gue ikut Lo lah. Kan mau ke kantin?" "Yang mau ke kantin siapa? Orang gue mau ke toilet juga." Ucap El menunjuk toilet perempuan yang ada di ujung koridor. "Jadi?" Lanjutnya lagi menahan senyum mengejek dan tawa yang akan meledak saat itu juga. Gue mengumpat lalu berbalik dam meninggalkan El yang tertawa melihat wajah merah gua. Sialan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD