+#- 3. sepesial nggak pake telor.

1743 Words
Elina. "El...?" "Hm..." "El!" "Iya" "Elina!?" "Iya. apaan, Adit! Tabok juga nih!" Gue menoleh, menatap kesal kearah Adit yang sejak tadi terus mengganggu konsentrasi gue nulis, bahkan dengan resehnya dia mencolek dan menusuk lengan gue yang bikin mood gue ambyar, ini satu anak emang belum ngerasain makan sepatu gue kali, kesel juga gua, nggak ada hari tanpa bikin rusuh, kadang gue heran dengan ini anak, dari ketiga sahabat gue cuma dia yang otaknya gesrek. "Lo lagi sibuk ngapain sih?" "Makan!" Jawab gue kesel. "Lo nggak liat dari tadi gue megang pen sama buku, yang artinya gue lagi nulis, Adit." Adit mengangguk polos dengan tatapan tak berdosa dan tak bersalah setelah mengganggu kegiatan gue sedari tadi. Dia ini emang juaranya bikin kesel gue. "Nulis nama gue dan kisah cinta kita berdua ya? Uwu banget sih." Ucap Adit menoel kembali lengan gue yang membuat gue ingin muntah, sumpah ya ini anak nggak ada habisnya gombalin gue, mulut nya itu loh kelewat manis bikin gue diabetes kelamaan Deket sama dia. "Iya nulis nama Lo, yang gue kasih gelar buat masa depan!" "Gelar apa? Suami ya? Uwu... makasih banget loh, kok Lo cocwit banget sih. Jadi makin cinta." Gue mendengus, memincingkan mata menatap dari ekor mata. Menatap aneh dengan segala tingkah unik yang sukses bikin gue mual, walau sebenarnya Adit ini sosok baik dan nggak suka main-main tapi tetap saja, ucapannya itu ibarat racun yang siap mebunuh siapa saja yang menelannya mentah-mentah, dan gue bukan salah satu dari mereka yang mau begitu saja menerima ucapan Adit tanpa di filter dulu. Banyak polusi di dalam kandungan ucapan Adit, dan itu berbahaya buat kesehatan d**a gue. Apalagi kalau udah berdetak tak menentu, kadang bikin gue lupa sama daratan sangking asiknya nge-fly. Untung aja ganteng, kalo jelek udah gue buang ke laut ini orang! "Almarhum bapak Adit yang terhormat, puas Lo!" ucap gue menekankan kata almarhum yang di sambut tawa kedua sahabat gue lainnya. Bahkan Anjar langsung terbahak dan langsung memukul pundak Adit kuat. "Almarhum? Bhahahaha sejak kapan Lo mati, pak?" Tanya Anjar yang di ikuti tawa oleh Rangga. Banyolan seperti ini memang sudah menjadi makanan sehari-hari untuk mereka, dan nggak akan ada yang akan tersinggung. termasuk gue. "Bentar lagi mungkin. mati karena kesedak omongan manis dia sendiri." Cibir Rangga lagi. Mereka semakin terbahak, dan gue lebih memilih melanjutkan tulisan gue, nggak mau sampai kelupaan mencatat tugas dan materi penting hari ini. Bisa berabe gue nanti. "Azab mulut manis yang suka ngegombal!" Sambung Anjar tak mau kalah dengan ucapan Rangga, gue menatap kelakuan mereka dari ekor mata gue, mereka ini sahabat terdekat gue, walau mereka cowok tapi gue nyaman dengan mereka. Entah kenapa berteman dengan cowok itu menurut gue nggak munafik dan nggak baperan. Mereka akan berbicara tentang apapun tanpa memandang gue yang notabennya satu-satunya cewek di lingkungan mereka, justru mereka malah berbicara seenak hati mereka untuk memberi gue antisipasi agar tak terjerumus di dunia yang salah. Apalagi Anjar yang memang sudah rusak sebelum masuk ke sekolah gue, dia yang paling banyak ngasih wejangan dan banyak gambaran gimana gelapnya dunia bebas. Anjar senior di dalam dunia itu, tapi itu dulu, saat dia belum mengenal kami, dan Emi murid pendiam di kelas tapi berhasil menjadi si penakluk hati Anjar dan pawang dari macan liar ini. bersahabat dengan cowok itu banyak plusnya, gue lebih banyak di perhatikan, di khawatirkan dan yang pasti selalu di jagain, ada yang berani macem-macem sama gue mereka nggak akan tinggal diam dan seolah nggak lihat. Mereka justru akan memberi pelajaran untuk mereka yang berani menyakiti gue. Untuk masalah baper gue nggak tau, mereka punya perasaan masing-masing dan gue nggak tau dengan perasaan mereka, dan untuk gue sendiri. Entah lah gue juga masih bimbang untuk itu. "Njirr, Lo kira gue tokoh di sinetron ikan terbang? Segala azab Lo sebut!" Balas Adit dengan wajah garang yang di buat-Buat dan menurut gue itu nggak pantes banget sih. Adit ini nggak ada passion untuk menjadi galak. Kalem dan genit baru pantes. Mereka terbahak setelahnya, begitupun dengan gue yang selalu tertawa puas bersama mereka. Selalu saja ada tingkah konyol yang menjadi pemicu riuhnya suasana pagi. "Iya, muka Lo kan penuh dengan azab, bahkan aura Lo itu itu aura azab, makanya jauh-jauh gih, nular nanti!" ucap Rangga dengan santainya membuat Anjar langsung terbahak saat itu juga. Gue hanya menggeleng melihat kelakuan konyol sahabat gue ini, sekali nyinyir ya udah selesai lah sudah. "Bangkek! Lo kira gue virus HIV!" Gue terbahak saat melihat Adit berlari mengejar Rangga, mereka berlarian bagai anak kecil yang berhasil mengundang gelak tawa dari penghuni kelas. Bahkan gue sampai lupa dengan kegiatan mencatat tadi. Mereka ini buangnya kerusuhan di kelas. °°°akhir_penantian... "Nggak ke kantin?" Gue menoleh, menatap Rangga yang bersandar di meja tepat di sebelah gue, dan gue heran entah sejak kapan Rangga seolah hobi menyandarkan pantatnya di meja itu, bahkan hampir setiap dia berbicara dan Negor gue dia selalu bersandar di sana. Bel istirahat baru saja berdering, pak Joko baru saja keluar kelas di ikuti para murid yang kelaparan dan ingin segera menerjang kantin sekolah, rela berdesakan demi mendapat makanan favorit mereka untuk mengisi perut keroncongan. "Adit, Anjar kemana?" Tanya gue saat tatapan gue nggak menemukan dua cecunguk sialan itu. "Udah ke kantin duluan, laper kayaknya mereka" "Bilang aja udah ngebul itu otak mereka." Balas gue beranjak berdiri lalu melangkah keluar menyusuri koridor menuju kantin. "Mungkin. tau sendiri kapasitas otak mereka kalo di ibaratkan ram ponsel palingam cuma berkapasitas 1-1.5 GB." Kata rangga santai. Gue terkekeh pelan dan setuju aja dengan apa yang di ucapkan Rangga, apalagi Adit dan Anjar itu paling malas dengan pelajaran dan wajar saja jika otak mereka nggak akan sanggup nangkep materi dari pak Joko tadi. Apalagi pak Joko termasuk guru yang mengharuskan muridnya untuk mandiri, mencari materi secara mandiri tanpa perlu banyak bertanya, dan kerja dia cuma duduk ngawasin kita sampai ketiduran. Guru terbaik memang. "Lo mau pesen apa?" Gue menatap Rangga sekilas, lalu mengedarkan pandangan hingga menemukan Anjar dan Adit yang sudah santai duduk di singgah sananya menikmati secangkir jus. "Roti bakar deh, Bu Mina ya!" Ucap gue yang di anggurin oleh Rangga. Gue memilih menghampiri kedua sahabat gue meninggalkan Rangga memesan makanan gue. Setengah langkah gue sempat menoleh memanggil Rangga yang belum beranjak dari tempatnya. "Oh ya jus mangga sekalian." "Ada lagi?" Gue menggeleng pelan. "Itu aja. Yang sepesial tapi ya!" "Pakek telor nggak?" "No!" "Terus?" Tanya Rangga bingung. "Sepesial pake cinta?" Gue terbahak setelahnya, entah sejak kapan gue jadi ikutan gila kayak si Adit, atau mungkin virus dia udah nyebar ke penjuru tubuh gue? "Cinta siapa dulu nih? Bu Mina? Mang Ujang?" Tanya Rangga polos, gue tau sahabat kaku gue itu selalu nggak mempan sama gombalan receh semacam ini. "Cinta Abang Rangga, boleh?" jawab gue menahan tawa yang berhasil membuat perut gue sakit. Rangga terlihat mengangguk pelan seolah paham dengan apa yang gue ucapin, padahal gue jamin otak dia maksa banget buat mikirin hal beginian, cinta dan Rangga itu dua partikel yang nggak bisa di satukan. Sama halnya kayak minyak dan air, bisa bersanding tapi tak bisa bersama. Aelah apaan dah nagco amat gue ini. "Serius mau pake cinta gue? Atau gue tambahin aja sekalian sama ajiku Semar mesem?" Ucap Rangga setelahnya berhasil membuat gue menatap horor kearahnya, tawa gue hilang berganti tatapan was-was. "Berani! Gue congkel mata kaki lo pake garpu!" Teriak gue horor. Rangga tertawa setelahnya sembari meninggalkan gue, tertawa puas dengan celoteh yang membuat gue merinding, apalagi saat teringat apa yang di katakan oleh Anjar tempo lalu perihal ajian sesat penakluk wanita, yang katanya bisa membuat seorang wanita melupakan hidupnya dan patuh dengan apa yang di ucapkan oleh si pria yang memiliki ajian itu. Bahkan nyawa dan tubuh pun bisa di kuasai dengan sesuka hati. Nggak tau deh apa yang ada di pikiran orang seperti itu sampai mencari sebua pengasihan untuk mencari jodoh, atau memang sebegitu nggak lakunya dia Sampek rela mencari pengasihan yang sama sekali nggak ada guna kalau menurut gue, hubungan yang harusnya harmonis harus berjalan karena sebuah paksaan. Ikatan yang tak terlihat. Nggak pernah terpikir app jadinya kalau semua terjadi sama gue. Mit amit deh, jangan Sampek gue kena begituan, ngerih juga sih kalo Sampek gue kena sama ilmu hitam begitu, bisa hancur masa depan gue. Gue bejalan sedikit berlari kearah meja di mana Adit dan Anjar duduk, membayangkan hal itu entah kenapa selalu membuat gue merinding disko. "Lo kenapa?" Tanya Anjar melihat tingkah aneh gue. Gue menggeleng pelan, menatap lulur kedepan dan berpikir positif, ada sahabat gue yang akan selalu ngelindungi gue dari hal begituan jadi buat apa gue takut. Tenang aja, El tenang. "Nggak, gue nggak papa. efek laper." Ucap gue mencomot martabak kesukaan Adit dan melahapnya langsung hingga membuat mulut gue penuh. "Martabak guee.... Tidakkk." Gue melirik ke gah kearah Adit yang sok dramatis saat gue mengunyah martabak kesukaannya, gue yang mang udah kesel sekalian aja buat alaynya dia keluar. "Nih martabak kesukaan Lo masuk kedalam perut gue!" Ucap gue dengan mulut penuh. "Sadis Lo El, potongan terakhir gue, tuh." "Ucu ucu ucu, cucian, potongan paling nikmat ya. Maaf deh ya, martabak lo udah jadi bagian penghuni perut gue." Jawab gue enteng, gue melirik piring gue serabi Anjar yang masih tersisah dia potong di sana. "Apaan! Jajan terakhir gue nih!" Gue mendengus saat melihat Anjar mengamankan piringnya dan gelas kopi milik nya, gue menggembungkan pipi kesal melihat tingkah sahabat gue yang satu ini. "Sepotong doang, elah!" "Nggak, martabak Anjar masih kurang emang?" Gue mengangguk. "Ganjel doang itu pun nggak lama, masih laper gue!" Rengek gue manja. "Rangga kemana elah, laper gue Rangga!" Teriak gue kesal, gue tuh paling nggak bisa nahan laper, beneran aja. Kalau laper bawaannya pengen teriak Mulu, pengen makan pengen ngemil. "Apaan elah, teriak-teriak. Di liatin noh!" Gue menoleh, menemukan Rangga menenteng nampang berisi roti bakar kesukaan gue dan Jum mangga favorit. "Uluh, cepet banget sih. Tau aja gue laper?" Gue menyerobot piring roti bakar dengan tak sabar. "Bagi." Ucap Adit mencoba menyerobot pesanan gue yang langsung gue amankan "Enak aja. Pesen sendiri Sono!" Ucap gue melotot kearahnya. Enak aja asal serobot, gue laper juga kali. "Lah, lu tadi ambil martabak gue, kapan gue minta punya Lo kok nggak boleh." "Minta-minta, beli sono. Enak aja minta!" "Udah elah, timbang makanan doang juga!" Ucap Rangga yang sudah duduk tepat di sebelah gue. "Pesen lagi sono!" "Lo yang bayar?" Tanya Adit girang, "Iyee..." Gue mencibir pelan melihat kelakuan Adit. "Dih cowok nggak modal!" "Bodo amat. Intinya makan gratis!" Ucap Adit beranjak untuk memesan makanan lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD