bc

Menantang Takdir ( Putri yang Ditukar )

book_age12+
2.7K
FOLLOW
20.3K
READ
HE
opposites attract
blue collar
drama
office/work place
substitute
like
intro-logo
Blurb

Asmaulara Husna, terkadang merasa hidupnya mirip dengan kisah-kisah sinetron ikan terbang di televisi. Bagaimana tidak, ibu kandungnya lebih menyayangi Sesilia Hadinata, anak sang majikan dibanding dirinya sendiri. Setiap kali terjadi perselisihan antara dirinya dengan Sesil, sang ibu sudah pasti berada di pihak Sesil.

Hingga suatu ketika, Lara benar-benar tidak bisa mentolerir keputusan yang dibuat sepihak oleh sang ibu. Ibunya setuju untuk menukar identitasnya dengan Sesil, yang akan dinikahkan dengan anak sahabat ayahnya. Sesil yang tidak sudi dinikahi seorang petani seperti Bagas Antareja, meminta Lara menggantikan posisinya. Padahal Lara telah memilki kekasih hati.

Bagaimana akhir kisah cinta segitiga yang diawali dengan kebohongan jati diri para pelakunya? Rahasia besar apa yang disimpan oleh ibu Lara, yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri?

Bagaimana juga sikap Bagas setelah mengetahui bahwa pengantinnya telah tertukar?

Ikuti kisah hidup Lara, yang penuh dengan rahasia, intrik dan air mata.

chap-preview
Free preview
Chapter 1. Fitnah Keji
"Demi Allah, Bu Shinta. Bukan Lara yang mencuri jam tangan Non Sesil. Lara berani bersumpah!" Dengan mata sembab Asmaulara Husna kembali mengulangi kata-kata yang rasanya sudah puluhan kali ia ulang sejak dari rumah tadi. Sesilia Hadinata, anak majikannya menuduhnya mencuri jam. Lara baru saja pulang sekolah dan masuk dari pintu samping, saat Sesil tiba-tiba merebut tas ranselnya. Sesil kemudian membalik tas dan menumpahkan segala isinya ke lantai. Di sana, di antara buku-buku pelajaran dan alat-alat tulisnya yang berserakan, terselip sebuah jam tangan mahal. Jam tangan milik Sesil. Sesil lantas menuduhnya mencuri jam tangan barunya. Karena Lara tidak bersedia mengakui perbuatan yang memang tidak ia lakukan, Sesil membawanya ke rumah sakit di mana dokter Shinta, ibu Sesil praktek. Lara mengerti, Sesil ingin mengadukannya pada dokter Shinta. Sesil juga membawa serta ibunya yang selama ini mengasuh Sesil sedari bayi merah. Dengan disopiri oleh sang ayah, yang juga bekerja sebagai supir di keluarga Hadinigrat ini, Sesil memboyong semua keluarganya ke rumah sakit. Dan di rumah sakit inilah sekarang dirinya, Sesil dan ibunya berada. Di Rumah Sakit Jiwa Harapan Kita tempat dokter Shinta praktek. "Bohong! Kalau bukan lo yang mencurinya, bagaimana mungkin jam itu ada di tas lo? Apa jam gue itu punya kaki? Coba jawab!" Dengan geram Sesil menarik keras kuncir kuda Lara sekuat tenaga. Tak ayal kepala si empunya rambut tertarik keras ke belakang. "Aduh! Sa--sakit, Non Sesil. Lepasin, Non." Lara meringis kesakitan. Kulit kepalanya serasa tercabut berikut kuncir kudanya. "Nggak akan gue lepasin, sebelum lo ngaku, pencuri. Hayo ngaku!" Alih-alih melepaskan, Sesil menarik kuncir kuda Lara kian keras. "Apa yang harus saya akui. Saya benar-benar tidak mencuri jam tangan Non Sesil. Mengenai mengapa jam itu ada di tas saya, saya juga tidak tahu, Non. Sumpah!" Lara tetap menyangkal apa yang memang tidak ia lakukan. "Kalau kamu memang mencurinya, akui dan kemudian minta maaf, Lara. Jangan ngeyel seperti ini." Bu Ningsih memarahi putrinya. Ia sangat malu pada dokter Shinta karena merasa tidak becus mendidik anak. "Tidak, Bu. Lara bukannya ngeyel. Lara memang tidak pernah mengambil apapun yang bukan milik Lara. Demi Allah Lara bersumpah!" Lara sangat sedih karena ibunya pun tidak mempercayainya. Selalu seperti ini. Jikalau ia masalah dengan Sesil, ibunya cenderung menyalahkannya, tanpa mau mendengar penjelasannya. Ibunya terlalu takut dipecat oleh keluarga Hadinata Mendengar Lara terus membela diri, Sesil berdecih. Ia benci sekali kepada anak pengasuhnya ini. "Kalau tidak, mengapa jam itu ada di dalam tas lo, anak babu?!" sembur Sesil lagi. "Saya tidak tahu, Non. Lagi pula, logikanya kalau saya mencuri, untuk apa saya menyembunyikannya di tempat yang mudah ditemukan?" "Pinter ngomong lo, anak babu!" Sesil menarik sekali lagi kuncir kuda Lara. "Sesil, kamu tidak boleh kurang ajar seperti itu. Mbok Ningsih itu pengasuhmu sedari bayi. Lagi pula Mbok Ningsih itu teman kecil Ibu. Ibu tidak suka kalau kamu bersikap kurang ajar begitu. Minta maaf pada Mbok Ningsih!" Dokter Shinta berdiri dari kursinya. Sesil memang anak kandungnya. Namun ia tidak suka kalau Sesil menghina Ningsih. Sesil ini memiliki perangai yang kurang baik. Terlahir sebagai anak tunggal, menjadikan Sesil tumpuan segala cinta Hardi, suaminya. Akibatnya Sesil tumbuh menjadi anak yang tinggi hati, egois dan minim empati. "Sudah, Bu Shinta. Tidak apa-apa. Memang saya yang salah karena tidak becus mengurus anak. Jangan memarahi Non Sesil. Kasihan dia." Dokter Shinta menghela napas panjang. Tindakan pembenaran Bu Ningsih akan segala kesalahan Sesil seperti inilah yang membuat Sesil besar kepala. Sesil jadi tidak menyadari kesalahannya. Bu Ningsih, teman lamanya sekaligus pengasuh Sesil, terlalu memanjakan Sesil. "Sudah berulangkali aku katakan. Jangan menyela apapun yang aku perintahkan pada Sesil. Kenali batasanmu, Sih!" Dokter Shinta memberi Bu Ningsih peringatan keras. Bu Ningsih terdiam. Ia tidak berani lagi menyela. Kalau sedang memarahi Sesil, dokter Shinta tidak suka disela. "Kamu tidak mendengar apa yang Ibu perintahkan, Sesil?" Dokter Shinta menatap tajam putrinya. Ada ancaman nyata di kedua bola mata mamanya. Jika keinginan mamanya tidak ia laksanakan, ia pasti akan menerima hukuman. Lebih baik ia mengalah kali ini. Ia tidak sudi dihukum di depan mata anak pembantunya ini. "Gue minta maaf, Mbok." Sesil meminta maaf dengan setengah hati. "Yang benar minta maafnya. Jangan memakai kata gue pada orang tua." Dokter Shinta meminta Sesil mengulang permintaan maafnya. "Saya minta maaf, Mbok." Apa boleh buat, Sesil terpaksa mengulangi permintaan maafnya. "Kalau begitu kamu juga harus minta maaf pada Sesil, Lara. Akui perbuatanmu dan berjanjilah kalau kamu tidak akan mengulanginya lagi." Bu Ningsih meminta Lara melakukan hal yang sama. "Lara tidak salah, Bu. Untuk apa Lara harus meminta maaf?" Lara menggeleng keras. Ia tidak bersedia meminta maaf untuk sesuatu yang tidak ia lakukan. Plak! Lara terkesiap. Ibunya menampar pipinya keras. Lara menatap ibunya dengan pandangan terluka. Selalu saja begini. Ibunya akan menganiayanya jika ia menolak permintaannya. "Dasar anak tidak tahu diri. Sudah tertangkap basah, tapi masih saja tidak mau mengaku. Mau kamu Ibu hajar lagi? Ayo ngaku!" Bu Ningsih makin emosi. Lara ini keras kepala sekali. Susah sekali melenturkan sikap keras kepalanya. "Lara memang tidak mencurinya, Bu. Ibu harusnya percaya pada Lara. Lara ini anak kandung Ibu. Kewajiban Ibu adalah melindungi Lara. Bukan sebaliknya!" Tidak tahan terus ditekan, emosi Lara meledak. Tidak masalah bagi Lara kalau orang lain tidak mempercayainya. Ia peduli akan asumsi mereka, selama ia tidak melakukan kesalahan. Tapi kalau ibunya, ia tidak terima. Hakekatnya seorang ibu adalah memberikan cinta dan perlindungan pada anaknya bukan? Plak! Ibunya kembali memberikan tamparan kedua. Lara memandang lurus ke depan dengan mulut terkatup rapat. Ia tidak mau lagi memohon pada sang ibu. "Kenapa kamu tidak mau memandang Ibu? Oh kamu mau melawan Ibu ya? Baik. Ayo sekarang kita pulang. Ibu akan menghajarmu habis-habisan di rumah nanti sampai kamu mengaku. Dasar anak tidak tahu diri!" Bu Ningsih makin geram. Keras kepala Lara ini entah menurun dari siapa. Yang pasti, bukan darinya. "Sudah, Ningsih. Jangan memukuli Lara lagi. Mungkin ini hanya salah paham saja. Sekarang, kalian semua pulang dulu ke rumah. Masalah jam tangan ini aku anggap selesai sampai di sini. Jangan ada yang membahasnya lagi." Dokter Shinta melerai keributan di tempat prakteknya. "Tapi, Bu--" Sesil membantah. Ia tidak puas pada reaksi mamanya. "Cukup Sesil! Ibu tidak mau mendengar apapun lagi. Sekarang kalian semua pulang. Jangan merusuh di tempat ibu bekerja. Ayo kalian semua bubar. Dan kamu Ningsih, bersikap bijaklah. Kamu itu penggantiku di rumah saat aku sedang bekerja. Kalau ada masalah besar, kecilkan. Kalau hanya masalah kecil, upayakan menjadi tidak ada. Mengerti, Ningsih?" Dokter Shinta menegur Ningsih tegas. Bu Ningsih tidak segera menjawab teguran dokter Shinta. Sejenak ia balas menatap dokter Shinta tajam sebelum akhirnya mengangguk singkat. "Ayo, kita pulang Non Sesil, Lara." Bu Ningsih dengan kaku membalik badan. Sesil mengekori dengan wajah cemberut, diikuti Lara yang berjalan bagai robot. Lara sangat kecewa atas sikap ibunya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.5K
bc

My Secret Little Wife

read
95.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook