Mempermalukan Keluarga

1476 Words
"Adik kalian memang keterlaluan! Bisa-bisanya dia pergi di hari pernikahannya. Ya Tuhan, apa dosaku? Kenapa anak perempuanku takut sekali untuk menikah?" Edrick selalu dibuat sakit kepala dengan tingkah anak bungsunya. Kenapa pernikahan seolah momok yang menakutkan bagi Merri? Seluruh anggota keluarga pun memiliki tanda tanya yang besar di benak mereka masing-masing. "Aku sudah bilang, biarkan cucuku mencari pasangannya sendiri! Jangan paksa-paksa dia untuk menikah!" berang Nenek Syan. Wanita tua berumur tujuh puluh tahun itu menangis tiada henti sejak beliau diberitahu bahwa Merri tak ada di dalam kamarnya. Seluruh anggota keluarga sudah berpencar untuk mencari keberadaan wanita itu, bahkan para karyawan hotel pun turut direpotkan dalam proses pencarian ini. Akan tetapi Merri tak juga diketemukan keberadaannya karena ia memang sudah meninggalkan tempat ini secara diam-diam. "Ini salahmu, Median! Aku sudah bilang, beri pengamanan di depan kamar Merri tapi kamu bilang kalau adikmu yang nakal itu tidak mungkin melarikan diri. Lalu apa kenyataannya?" amuk Marshell kepada adiknya. "Bang, aku minta maaf, tapi ... bisakah kita jangan berdebat?" Median berusaha calm down meski abang dan juga ayahnya terlihat emosional. Lelaki itu memang memiliki pembawaan yang lebih tenang dari dua lelaki yang ada di rumah yang lebih mudah meledak dan tersulut amarah. "Benar kata nenek, ada baiknya jangan paksa Merri untuk buru-buru menikah kalau dia memang belum ingin menikah," sahut Anna dengan wajah lesu. Beliau menundukkan kepalanya tak berani menatap suaminya yang kini mengarahkan netra tajamnya menghunus beliau seolah ingin menerkam. Meski tak ada tetes air mata yang jatuh di pipi wanita itu, tapi dia sangat mengkhawatirkan keadaan putrinya. "Apa katamu, Anna?" tanya Edrick dengan nada tinggi. Beliau meletakkan kedua tangan di pinggang hingga jas formal hitam yang beliau kenakan terlihat terangkat. "Bukannya kamu sendiri yang kerap mengeluh karena terus dicibir oleh ibu-ibu arisan karena hanya anak wanitamu yang belum menikah? Sekarang kamu bilang seperti ini seolah menyalahkan kami? Kamu setuju anak kita menikah dengan Satria karena dia lelaki yang baik, tapi sekarang kamu berpihak kepada anakmu?" serang Edrick, tak terima jika istrinya justru berbicara yang menyudutkan dirinya. "Sampai kapan kita menunggu Merri mencari pasangannya sendiri? Sampai dia berumur tiga puluh tahun? Empat puluh tahun atau sampai dia sudah keriput seperti ibuku?" cecar Edrick membuat Anna tak dapat menjawab apapun selain 'Maaf' yang keluar dari mulut beliau karena perkataannya yang menyinggung hati suaminya. "Berbicaralah yang baik tentang anakmu, Edrick! Atau aku bunuh kau dengan tanganku sendiri!" murka Nenek Syan lalu mengancam anak lelakinya itu dengan garang. "Sekarang cari cucuku!" perintah Nenek Syan dengan galak. Wanita renta itu ingin segera bertemu dengan cucu kesayangannya. Tak akan beliau biarkan siapa pun memaksa Merri untuk menikah lagi. "Sebentar! Aku terhubung dengan Agnes," ucap Median menghentikan langkah kaki Edrick dan juga Marshel yang hendak pergi keluar dari kamar hotel Merri yang kondisinya acak-acakan seperti kapal pecah. Setelah mencoba berkali-kali, akhirnya Agnes menjawab panggilannya. Semua anggota keluarga Edrick Arswendo Winata terpaku menatap ke arah Median yang terlihat sedang bertukar suara dengan sahabat baik Merri. "Oh ... jadi dia nggak ada di situ? Oke ... oke ...." Dari perkataan Median, semua orang pun tahu kalau bukan rumah Agneslah tempat Merri melarikan diri. o0o "Bercanda lu nggak lucu sama sekali, Bro! Hahahaha .... " Satria terkekeh ketika mendengar kabar dari sahabatnya yang menghubungi dirinya melalui sambungan suara. Lelaki berumur tiga puluh dua tahun itu tak menganggap serius apa yang Marshel beritakan. Ia kini sudah berada di dalam mobil-perjalanan menuju ke tempat ia akan melakukan akad nikah. Tubuh tegap Satria sudah berbalut dengan jas bermodel double breasted. Jenis jas yang memiliki enam kancing di depannya ini atau biasa dikenal dengan istilah I talian style suite sangat pas dikenakan oleh Satria. Marshel terus mengoceh di seberang sana, hingga Satria mulai percaya bahwa apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu bukan bualan, bukan juga prank setelah ia mendengar tangisan nenek Syan yang terus memanggil-manggil nama Merri. "Lu serius, Marshel?" tanya Satria dengan sekujur tubuh yang mendadak lemas seperti kekurangan tenaga. Padahal dia sudah meminum segelas s**u dan juga roti bakar dua slices pagi ini. "Gue serius, Sat. Tolong maafkan adik gue!" pinta Marshel benar-benar tak enak hati atas ulah adiknya. Telepon genggam yang ada di tangan Satria terlepas dan jatuh ke kolong jok mobil. Tak pelak hal ini membuat kedua orangtua Satria yang duduk di kanan dan kirinya segera menoleh dan bertanya ada apa. "Semua baik-baik saja kan, Satria?" tanya Willi yang mendadak mendapatkan sinyal buruk setelah melihat anak lelakinya itu diam mematung dan melamun tak memperhatikan pertanyaan beliau. "Sayang, apa yang terjadi?" tanya Denias, Ibu kandung Satria. Perlahan Satria menggerakkan tubuhnya. Lalu kepalanya menunduk lesu. Tak tahu bagaimana kecewa dan marahnya ibu dan ayahnya jika tahu bahwa calon menantunya pergi karena menolak untuk dinikahkan. o0o "Ini penghinaan untuk kami, Edrick! Kalau anak wanitamu tak mau untuk menikah dengan anak lelakiku, kalian bisa mengatakannya dari awal karena kami tak akan memaksanya!" sentak Willi. Begitu sampai di hotel beliau segera mencari keluarga Merri yang masih berkumpul di kamar Merri. "Maafkan aku, Willi! aku benar-benar minta maaf! Merri bilang dia bersedia untuk menikah, tapi ... tapi aku tidak tahu kalau akhirnya dia nekat pergi seperti ini," sahut Edrick sangat menyesal dengan semua yang terjadi. "Lalu bagaimana ini? Semua undangan sudah tersebar? Keluarga besar kita akan menjadi bahan cemoohan orang-orang!" murka Willi. "Tuan, acara sebentar lagi akan dimulai. Penghulu sudah menunggu di altar pernikahan." Salah seorang crew wedding organizer sewaan mereka datang untuk mengingatkan bahwa acara sudah ready seratus persen untuk digelar. Bahkan penghulu sudah stand by sejak sepuluh menit yang lalu. "Apa kamu sudah menikah?" tanya Willi kepada lelaki berseragam biru putih dengan name tag bernama 'Aidil Fitri' di dadanya. "Saya belum menikah, Tuan," jawab crew WO tersebut meski dia bingung kenapa diberi pertanyaan seperti itu oleh ayah dari calon pengantin pria. "Bagus! Bawa pacarmu kemari dan menikahlah! Karena anakku tidak akan menikah! Pernikahan ini dibatalkan!" tegas Willi lalu menarik tangan istrinya. "Kita pergi dari sini, Denias!" perintah Willi. Beliau benar-benar sangat terhina. Merri seperti melempari wajah beliau dengan kotoran ayam. "Permisi!" Denias menuruti perintah suaminya. Wanita bersanggul modern dikepalanya dengan kebaya putih berjarit cokelat itu pun sama kecewanya, tapi wanita itu tak banyak suara. Apa yang suaminya katakan sudah cukup mewakili isi hatinya. Willi dan Denias berjalan melewati anggota keluarga Merri yang nampak tak dapat berkata apapun lagi. Malu sekali rasanya bahkan untuk menegakkan wajah mereka pun seolah tak bisa. "Ayo, Satria! Untuk apa kamu masih berdiri di situ?" teriak Willi menghentikan langkah beliau di ambang pintu kamar-menoleh ke belakang ketika menyadari anaknya tak mengikuti apa yang beliau lakukan. "Ayah, aku mau mencari Merri bersama Marshel," sahut Satria membuat Willi meradang dengan niat anaknya. "Untuk apa? Apa kamu tidak berpikir bahwa wanita itu pergi bersama dengan lelaki lain?" decit Willi. Seorang pengantin wanita melarikan diri dengan kekasihnya di hari pernikahan adalah alasan yang paling masuk akal ketimbang si wanita pergi karena memang belum siap menikah. "Willi, Merri belum memiliki kekasih. Aku berani menjamin kalau dia tak pergi dengan lelaki lain," ucap Edrick. "Tidak ada yang perlu kamu jamin, Rick! Kecuali kamu bawa anakmu ke hadapanku detik ini juga," tantang Willi dengan angkuhnya. Beliau mendongakkan kepalanya seraya membenarkan jasnya dengan satu tangan. "Itu tidak mungkin," lirih Edrick. "Ayo kita pergi, Suamiku!" ajak Denias karena tak ingin terlalu lama di tempat ini. Beliau pun juga tak ingin mendengar keributan apapun lagi. Semua sudah jelas, pernikahan batal dan mereka harus menanggung malu karena bisa dipastikan akan banyak pertanyaan setelah ini yang mampir di telinga mereka. Entahlah mau ditaruh mana muka mereka? "Satria! Ayo kita pulang!" "Tapi, Ayah .... " "Pulang ayah bilang!" sentak Willi dengan nada tinggi dan mata terbelalak. Satria pun menuruti perintah ayahnya karena tak mau membuat darah tinggi beliau menjadi kumat karena terlalu banyak pikiran. Meski bila diukur tensi Willi saat ini pasti sudah melonjak drastis, kepala lelaki itu pun sudah mulai berputar-putar karena efek dari emosionalnya yang mencapai level paling atas. "Satria, ayo! Penghulu sudah siap menikahkanmu," tegur salah satu tamu undangan yang tak lain adalah teman satu tongkrongannya dengan Marshel juga. Lelaki itu didapuk untuk menjadi bridesmaid di pernikahan Satria dan Merri. Dia menghadang Satria ketika lelaki itu justru berjalan melewati ballroom di mana ia akan melangsungkan akad. "Tidak ada pernikahan! Pernikahan batal karena pengantin wanitanya pergi bersama dengan lelaki lain!" tekan Willi dan didengar oleh banyak orang yang ada di sana. "Apa?" Lelaki itu bertanya singkat dengan kening berkerut-kerut. Apa yang dia dengar tak bisa dengan mudah ia percaya. "Maafkan aku!" Satria mengatupkan kedua tangannya dengan wajah muram. Bola matanya telah diselimuti oleh embun bening yang ia tahan sekuat mungkin agar tak jatuh di depan banyak orang. Kenapa kamu tega, Merri? Kenapa kamu tidak menolakku dari awal? Ini sakit sekali, Merri. Di saat hatiku begitu bahagia menyambut pernikahan kita, kamu justru menghancurkannya, batin Satria dengan langkah kakinya yang lebar meninggalkan ballroom yang sudah dihias seindah mungkin. Tak masalah tentang kerugian materi, mereka dari keluarga kaya raya, yang mereka pikirkan adalah nama baik keluarga dan juga hati yang terluka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD