2. Kenyataan Pahit

1179 Words
                “Terimakasih banyak, mbak.” Ucapku sambil menerima satu kantung plastik berisi obat yang tadi diresepkan dokter yang bertugas. Ngomong-ngomong saat ini aku sedang berada di puskesmas terdekat, mengantarkan laki-laki yang tadi pingsan.                 Jujur, aku masih ragu kalau laki-laki itu adalah Kak Dimas yang aku cari. Wajahnya banyak berubah. Kak Dimas yang dulu memiliki warna kulit sawo matang, tapi laki-laki tadi kulitnya putih bersih. Belum lagi garis wajahnya yang tajam juga rahang yang kokoh. Apa mungkin seseorang bisa berubah sedrastis itu dalam kurun waktu sembilan tahun? Kreek,                 Aku membuka perlahan pintu ruangan tempat laki-laki tadi di rawat. Baiklah, di sini aku  belum berani memanggilnya Kak Dimas sebelum aku benar-benar memastikan bahwa laki-laki itu adalah Kak Dimas yang aku cari.                 Aku berhenti sejenak di depan pintu, ketika melihat laki-laki itu sudah sadar. Dia duduk bersandar di ranjang sambil sesekali memegangi kepalanya. “Ehm!” Aku berdehem agak keras, dan itu sukses membuat laki-laki itu menoleh.   “Kamu yang namanya Shila?” tanyanya saat itu juga. Aku mengangguk sambil meletakkan obat yang aku bawa ke atas meja.   “Iya, saya Shila. Ini resep obat dari dokter. Kata dokter, masnya kena darah rendah akut, jadi untuk beberapa hari kedepan harus banyak istirahat dan makan makanan yang bisa meningkatkan tensi darah. Saya permisi.” Setelah mengatakan itu, aku segera balik badan lalu pergi. Namun laki-laki itu segera menahan tanganku. “Terimakasih,” Ucapnya, lalu melepaskan tanganku.  “Sama-sama.” “Sebentar,” Lagi-lagi, dia menahan tanganku lalu melepasnya. “Ada apa?” “Saya minta nomor rekening kamu, saya harus ganti biaya perawatan hari ini dan obat itu.” Ucapnya sambil menunjuk kantung plastik yang tadi aku bawa. “Tidak usah-“ “Tulis di sini.” Laki-laki itu menyodorkan ponselnya.                 Aku mendongak dan mata kamipun bertemu. Laki-laki ini memiliki tatapan mata yang cukup tajam. Apa benar laki-laki ini adalah Kak Dimas yang dulu aku temui di musholla sekolah? Kenapa rasanya seperti orang yang berbeda? Tapi, andai dia bukan Kak Dimas yang aku cari, apa mungkin ada orang yang memiliki nama yang sama persis sedangkan nama itu sama sekali bukan nama pasaran?                 Akhirnya aku menerima ponselnnya lalu segera menuliskan nomor rekeningku. Laki-laki itu mengangguk lalu mengambil jaket yang tergeletak di sudut ranjang. “Sekali lagi, terimakasih banyak.” “Sama-sama.”                 Laki-laki itu tersenyum tipis, sebelum akhirnya keluar ruangan terlebih dahulu. “Ka- masnya! Sebentar!” Aku berlari keluar ruangan dan memanggil laki-laki itu. Laki-laki itu berhenti lalu menoleh. “Saya? Ada apa?” “Boleh saya tanya satu hal?” Tanyaku sambil berlari mendekat ke arahnya. “Tanya apa?” “Kalau boleh tahu, dulu masnya alumni SMA mana?”                 Kening laki-laki itu mengernyit heran begitu mendengar pertanyaanku. “Saya alumni SMA 5, kenapa?” “SMA 5?”                 Seketika jantungku berdebar sangat keras ketika mendengar itu. Pasalnya aku juga alumni SMA 5. “Dulu kelas XII IPA 1?” “Saya nggak begitu ingat dulu saya kelas IPA berapa, tapi dulu saya memang anak IPA. Kenapa? Kamu kenal saya? Atau kita dulu satu sekolah?” kali ini, laki-laki itu tersenyum. “E-enggak. Bukan, saya nggak kenal. Masnya mirip sama teman saya.” Bohongku. “Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya permisi dulu. Sekali lagi, terimaksih banyak.” Ucapnya sambil mengangkat obat yang dia bawa di tangan kanan. Setelah mengatakan itu, dia pergi meninggalkanku.                 Aku langsung mencari tempat duduk terdekat karena tiba-tiba saja badanku terasa sangat lemas dan jantungku berdetak sangat cepat. Perlu kalian tahu saja, laki-laki itu benar Kak Dimas yang aku cari. Meski banyak sekali yang berubah dari fisiknya, namun senyum itu masih sama. Sama persis. ***                 Tarik napas, keluarkan. Tarik napas lagi, keluarkan lagi. Begitu terus kuulangi sampai mungkin ada tujuh kali. Jantungku berdegup kencang nggak karuan mengingat hari ini aku ada interview perekrutan karyawan baru di perusahaan Kak Dimas, dan saat ini aku sedang menunggu hasilnya. Ya, aku sudah memastikan lagi kalau laki-laki yang kemarin aku temui itu memang Kak Dimas.                 Apa aku boleh berharap, kalau pertemuan kami kemarin adalah pertanda baik untukku?                 Aku mengedarkan pandangan dan tiba-tiba saja nyaliku langsung menciut melihat sainganku rata-rata perempuan cantik dan modis. Ada juga sih laki-laki, dan mereka juga tak kalah modis. Modis disini boleh kalian artikan rapih dan enak dipandang. Sangat tampak kalau mereka sudah mempersiapkan kostum dengan matang untuk interview hari ini. Oh iya, aku juga dengar kalau rata-rata dari mereka adalah alumni administrasi perkantoran. Rasanya semakin ciut saja nyaliku, mengingat aku lulusan design grafis. “Atas nama Arshila Ayu, ada?” Aku langsung mendongak, begitu mendengar namaku di panggil. “Saya, mbak.” Aku mengangkat tangan, lalu HRD langsung mengisyaratkanku untuk masuk kembali ke ruangannya. Seketika jantungku berdebar dan semakin berharap kalau akan ada pertanda baik. “Silahkan duduk.” “Terimakasih, mbak.” Aku tersenyum ramah, lalu duduk di kursi yang tadi pagi sempat kugunakan waktu interview. “Sebelumnya saya mau memastikan lagi, Mbak Shila ini benar-benar pernah bekerja sebagai konten kreator ya?” “Iya, mbak. Saya bekerja sebagai konten kreator hampir tiga tahun.” “Kenapa tiba-tiba minat jadi sekretaris mbak?” “Sebenarnya waktu saya jadi konten kreator sebelum ini, diluar jobdesk, saya sering diajak diskusi dengan leader untuk membantu beberapa permasalahan yang kiranya saya bisa. Beberapa kali, saya bahkan ikut rapat penting dengan manager dan owner. Dari situ saya sering berfikir kalau ikut meringankan beban orang lain, ada kepuasan tersendiri buat saya. Selain itu, saya juga sudah terbiasa mencatat hasil rapat ketika saya diikut sertakan. Jadi, begitu saya melihat ada lowongan sekretaris, saya langsung tertarik untuk mendaftar.”                 HRD itu tersenyum mendengar jawabanku. Meski yang tadi aku katakan bukan alasan utama, tapi aku berkata jujur. Dulu waktu masih kerja di Jakarta, aku memang sering dilibatkan dalam rapat. “Selamat ya mbak, anda diterima. Yang barusan saya hanya ingin tahu lebih jauh lagi tentang Mbak Shila.” Mendengar itu, seketika mataku melebar kaget. “Serius mbak?” “Iya. Saya serius. Selamat ya?” Mbak Tian, HRD yang bertugas merekrut karyawan, mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku. “Terimakasih banyak mbak.” Jawabku sambil mengulurkan tangan, menjabat tangan Mbak Tian. “Sama-sama. Untuk kapan mulai kerjanya, nanti kami infokan via email ya.” “Siap mbak.” “Oke. Habis ini, saya minta tolong panggilkan yang namanya Asni Dewi.” “Baik mbak.”                 Setelah keluar dari ruangan HRD dan memanggil yang namanya Asni Dewi, aku langsung keluar dari perusahaan dengan perasaan senang yang tak bisa kudeskripsikan. Aku senang karena aku tidak menganggur lagi, dan lebih dari itu, aku akan sering melihat Kak Dimas.                 Sepanjang menuju parkiran, aku tak bisa menyembunyikan senyumku. Bahkan sesekali aku bersenandung lagu favoritku. Namun, langkahku tiba-tiba berhenti ketika melihat Kak Dimas bersama perempuan cantik dengan rambut lurus sepunggung. Mereka berdiri berhadapan di samping mobil merah yang ada di parkiran.                 Seketika map yang aku pegang di tangan jatuh, ketika melihat perempuan itu berjinjit untuk mencium pipi Kak Dimas sebelum masuk mobil, sementara Kak Dimas tersenyum lebar lalu melambaikan tangan ke arah perempuan itu. “Dasar bodoh! Harusnya dari awal aku tahu kalau laki-laki setampan dan semapan Kak Dimas tidak mungkin tidak memiliki kekasih.” Gumamku pelan, lalu tertawa sumbang.  ***                     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD