Win-Win Solution

1275 Words
Garry Mahardika Widjaja, laki-laki muda yang lebih suka bergeming ketimbang turut serta dalam pengambilan keputusan. Namun, entah kenapa saat ini ia sedang menolak dengan keras, sejumlah acara yang tengah di jelaskan pihak penyelenggara. "Saya tidak suka, jika anda lebih menyuruh para gadis lebih bekerja untuk ini semua." Ucap Garry, seraya menujuk ke arah senior yang sedang menatapnya dengan tajam. "Ada masalah apa emangnya? Toh memang urusan para wanita untuk memasak, mencuci piring, serta merapihkan tempat tidur?" "Benar! Kewajiban wanita kan memag hanya itu, di dapur, kasur, dan sumur." Timpal senior lain, dengan suara yang sedikit meledek. Tentu saja semua ucapan itu membuat para gadis lagsung risih, dan membuang tatapannya. Hingga membuat beberapa gadis meninggalkan aula pertemuan, karena saking tidak nyaman. Membuat Garry semakin naik pitam, dan langsung menghampiri para senior itu di depan. "Omongan lo jaga ya! Lo kira fungsi cewek cuman di tiga tempat itu doang!" "Lo ada masalah apaansi sebenernya! Masaah pribadu atau dengan acara yang mau gua buat?!" Ketus senior yang kini kerah bajunya sedag dicengram oleh Garry. Melihat temannya begitu, Roman langsung menyusul Garry yang semakin bersi tegang dengan senior. Namun, bukan menyusl untuk meredakan Garry, melainkan, "Lo kalo ngomong juga yang bener! Gak bakal dapet cewek yang bener kalo pikiran lu masih begitu." Teriak Roman. "Maksut lo, gua bakal dapet cewek gak bener? Gitu, hah?!" "Iyalah, gak usah ditegesin. Malu!" Perkataan Roman semakin menjadi, hingga membuat para penonton bertepuk tangan ria. Sementara para senior hanya bisa melongok. Ralat, senior yang mencemooh kaum hawa tadi. Selebihnya mendukung Roman serta Garry, yang kini sedang beradu argumen. Sangat sehat bukan pertengkaran mereka. Tidak ada adegan pukulan ataupun tonjokan. Yang ada hanyalah saling berteriak dengan penuh ujaran kebencian. Seisi kebun binatang San Fransisco keluar semua, mulai dari binatang kecil hingga besar. "GARR! UDAH!" Bahkan suara yang sangat dikenali oleh Garry, tidak bisa menghentikan laju perkataannya. "Sekali lagi lo ngerendahin cewek, gua bubar dari nih orgabnisasi! Ogah banget gua jadi calon ketua umum gantiin manusia kaya lo." Garry menyentak senior tersebut, dan langsung menanggalkam kemeja yang sedang ia pakai. Membuat tampilannya kini, hanya memakai kaos oblobg bewarma putih. "Gua juga gak mau digantiin sama manusia kaya lo! j*****m!" Senior itu baru berteriak, saat melihat Garry sudah jauh dari dirinya. Membuat salah satu wanita yang juga mengenakan pin organisasi mendekatinya, "Kan lo yang minta buat Garry yang gantiin lo." Dengan nada suara pelan, namun sangat tajam. Mengalahkan belati yang baru diasah. Senior itu menoleh padanya, dan tanpa rasa takut sedikitpun ia juga membalas tatapannya. Sambil mendongakkan kepala, serta bertolak pinggang, "Kenapa Lo?" Ketusnya. Ivanna yang melihat Garry tadi, langsung mengikuti langkah Garry yang ternyata memasuki gedung fakultasnya sendiri. "Wehhh, abang jago. Mau kemana, buru-buru aja." Kata Ivanna, yang berhasil menyamakan la gkahnya dengan Randi. "Mau kelas. Gua lupa kalo ada kelas." Balas Garry, diikuti dengan kikihan khasnya. Hanya dia yang mempunyai kikihan layaknya orang tidak bersalah, walaupun telah melupakan hal penting serta kewajibannya sebagai mahasiswa. "Anjir! Bisa-bisanya lu ada kelas, tapi malah ikutan event gak jelas begitu. Berantem juga lagi." Cibir Ivanna. "Yaaaa lu kayak gak tau gua aja." Mereka berdua berjalan bersama, sementara Ivanna yang terus mencari topik pembicaraan, untuk memutar-mutar. "Lo mau ngapain sebenernya? Tumben banget lo ke gedung bahasa." DEG' Jantung Ivanna seolah berhenti, ketika Garry yang mungkin mengetahui keganjalan semua ini. Pasalnya juga, seorang Ivanna yang cuek bebek, tidak mungkin tidak ada keperluan sampai rela untuk menghampiri Garry di gedung bahasa, yang lumayan jauh dari gedung Seni. "Sebenernya," Ucapannya menggantung, membuat Garry semakin penasaran. Ia menghentikan langkahnya, menatap Ivanna sebentar. Menunggu dan membiarkan gadis itu siap untuk menyelesaikan ucapannya. "Gua mau balik lagi ke agensi Freddy, Gar. Bisa gak ya?" Lirih Ivanna, menyelesaikan ucapannya tanpa menoleh pada Garry. Mungkin rasa Ivanna malu, atas ucapannya tadi. Tapi, Garry pun tidak ambil pusing. Karena itu haknya. Sebelum membalas ucapan Ivanna, Garry menyimpulkan senyumnya sebentar. "Lo ke basecamp aja, pasti diwelcome kok sama anak-anak. Lagian, lo ngapain ngundurin diri si dulu." Mendengar balasan dari Garry, membuat kepalanya terangkat sedikit demi sedikit. "Seriusan?" Ivanna memastikan. Garry mengangguk antusias, seraya mendekatkan diri pada telinga Ivanna. "Ajak temenlo juga dong, gua kangen sama dia. Udah jarang satu jadwal nih." Kata Garry, dengan suara yang penuh kharismanya. "Lah? Emang Ody gak satu tim lagi sama lo?" Garry menggeleng pasrah, karena ada suatu hal yang kini membuat Ody harus pindah ke channel milik Nathan. "Okay, okay. Kalo itu urusan gampang! Yang penting, lo bantuin juga pas nanti gua ngomong ke Freddy." Ivanna mengajak Garry bernegosiasi, untuk mencari win-win solution untuk mereka berdua. Dan, tanpa basa basi, Garry langsung menyetujui itu semua dan langsung bersalaman dengan Ivanna. "Kata orang, perihal take and give adalah : apapun yang kita lakukan, untuk mempermudah orang lain. Dan, semua itu akan dibalas oleh semesta, yang akan mempermudah hidupnya sendiri." Sejenak, untaian kata indah kembali. terangkai pada fikiran Garry, sesaat menampilkan jajaran giginya. Seolah memakai kata ganti orang kedua. Yang seharusnya orang pertama. Garry sudah duduk dalam kelas, dan menengok kebelakang. Mencari keberadaan teman karibnya, "Roman mana?" Guntur yang membaca tulisan Garry yang berada dua kursi didepannya, langsung menganggkat bahu tanpa basa-basi. Karena, dirinya juga tidak tau kepergian Roman. Bahkan dirinya sendiru baru melihat Garry, yang duduk di kursi yang kosong tadi. Garry langsung menaruh bukunya, dan menatap lurus kedepan. "Yang tengkar di samping gua kan Roman ya, astaga!" Gumam Garry, yang langsunh berdiri (kembali) dari kursi yang belum 5 menit ia duduki. "Saya permisi sebentar, sir." Garry meminta izin pada proffesor yang sedang mengajar mata kuliah linguistik saat itu. Melihat Garry yang keluar dari kelas, Guntur tidak mau tinggal diam dan terjebak sendiri, pada kelas yang seharusnta mereka jalani bersama-sama. Karena sudah berjanji satu sama lain, dan mengambil kelas yang sama pada semester ini. "Mau kemana anda, mr. Guntur?" Tanya Proffesor yang moodnya seketika berubah. Mungkin ia juga sudah lelah, karena beberapa mahasiswanya sedari tadi banyak yang keluar dari kelasnya. Membuat kelasnya menjadi sepi, bagaikan mata kuliah pendukung yang terpaksa diambil oleh mahasiswa. Yang padahal, mata kuliahnya adalah mata kuliah inti dari semua penghuni jurusan sastra Indonesia, di San Fransisco. "Saya, mau ke--" "Mau kemana? Kalau tidak penting duduk kembali." Ketus Proffesor, membuat lidah Guntur semakin kelu. "Selamat siang, proff. Saya izin menemui Guntur, karena ada masalah organisasi Fakultas." Suara dari seorang gadis, membuat Guntur menghembuskan nafas lega. Ia langsung menoleh pada sumber suara, dan mendapati seorang Sofia yang sedang meminta izin seraya berjabat tangan dengan proffesornya. "Ohh, anak ini anggota organisasi Fakultas?? Tanya Proffesor. Sofia langsung berbohong, demi Guntur. Cih. Demi Guntur, yang padahal dirinya juga sedang memerlukan laki-laki itu. Namun, apa boleh buat. Mungkin ini adalah satu-satunya cara, agar si proffesor mengizinkan Guntur keluar dari kelasnya. Menggunakan salah satu organisasi yang sangat bergengsi di Fakultas Bahasa dan Seni, yang mempunyai anggota terbaik dari yang paling baik, ya ng tergabung di dalamnya. "Baik, kalau begitu. Silahkan Guntur." "Thanks, Proffesor." Guntur dan Sofia bergantian, dan langsung keluat dari ruang kelas. Mereka berdua mencari tempat untuk mengobrol, serta ada pertanyaan dari Guntur yang membuat penasaran. "Lo tumben baik ke gua, ada maunya pasti." Kata Guntur langsung, yang sedang malas berbasa-basi. Karena, dirinya sedang buru-buru untuk mencari keberadaan Garry. "Hell, yeah. Lo mau balik lagi? Gak salah?" Guntur langsung membuang pandangannya dari Sofia. Bukan karena ia malas, Guntur sangat terkejut dengan perkataan Sofia yang ingun kembali lagi. Yang padahal, ia sendiri yang memutuskan dengan melimpahkan semua alasan dengan keberadaan dirinya. Hingga membuat Guntur sangat terpukul saat itu, dan membuat dirinya juga diinterogasi oleh semua temannya, akibat alasan dari Sofia. Yang Guntur sendiri pun tidak tahu, kenapa Sofia tega dan sangat dingin saat mengucapkan semua itu. Membayangkan saja kembali, membuat d**a Guntur mendadak sesak, serta kehilangan arah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD