Student Exchange [Garry]

1427 Words
Lesung pipi yang begitu dalam, membuat beberapa pasang mata menatap ke arahnya yang sedang berteman dengan laptop, “Gimana, Garr?” Suara dari laki-laki yang membuat ia langsung menutup laptop bewarna silvernya. “Nonton begituan lu, yaaa? Wah parah! Gua bilangin ke nyokap lu baru tau rasa” pekik laki-laki yang sedang menanggalkan tas ransel jansport miliknya, “Gila lu ya, dasar roti Perancis.” Cibir Garry, menggunakan penggantian kata untuk meledek temannya. Membuat laki-laki yang bernama Roman yang mempunyai rambut panjang nan rapih, mengalahkan rambut wanita di sekitarnya terkikih geli, karena mengetahui kiasan yang dibuat oleh Garry. “Lo udah dapet kabar dari fakultas belom? “ Tanya Roman,dengan tangan yang sibuk mengambil laptop dari ranselnya, Garry langsung menoleh dan menatap Roman dengan lekat, seolah teman di depannya mengetahui apa yang terjadi. “Wah, keterima lu ya. Anjir juga temen gue, bukan main! Makan-makan lah, yok pocajang yok!” Pekik Roman, dengan wajah yang sangat antusias, namun terselip rasa kecewa dalam hati. “Maafin gue ya, Man. Bukan maksut hati mau ninggalin lu nih. Ya tapi kan, gua lebih pinter dari lu, jadi wajar kan ya kalo gua yang keterima, lu yang ditolak?” Pertanyaan Garry dibalut dengan candaan khas mereka, agar Roman tidak tersinggung dengan semua ucapannya. “Anjir! Emang lu doang yang keterima, gua juga nih! Gila aja kali, mahasiswa kaya gua gak berangkat ke California!” Jelas Roman, dengan memamerkan surel yang diterimanya tadi pagi. Membuat mata Garry terbelalak, menelaah lebih lanjut surel yang di terima Roman. “Anjir! Kita bareng lagi ke California!” Garry langsung berdiri dan berteriak, setelah yakin jika surel yang diterima Roman, sama dengan surel yang ia terima. Akibat teriakan dari Garry, yang menjadikan mereka berdua menjadi pusat perhatian semua mahasiswa yang sedang bersantai di taman Fakultas Bahasa dan Seni, Omron University. “Norak!” “Bacot!” Garry langsung menyambar cibiiran dari seorang gadis yang bergerombol melewatinya, membuat Roman langsung melepaskan rangkulan Garry, “Itu ada cewe gua! Minggir lo!” Pekik Roman, dan langsung meninggalkan Garry sendiri, yang harus menjaga semua barang-barang dari Roman. Wajar saja ia diperlakukan begitu, karena Garry adalah satu-satunya orang dalam lingkungan pertemanan mereka yang belum mempunyai kekasih. Jadi mau tidak mau, dan suka tidak suka, saat jam kosong peralihan mata kuliah, hanya Garry lah yang bertugas untuk menjaga barang-barang, dan mengabari ke grup sebelum jam mata kuliah dimulai. ** Garry menyendok pancake berbalut sirup maple kesukaannya, seraya menunggu gadis yang selama ini dekat dengannya, “Apa kursi ini tidak terpakai?” Tanya seorang gadis dengan tangan yang siap menarik kursi di depan Garry. “Sorry, itu terpakai. Kau bisa pakai yang lain.” Balas Garry singkat, tanpa menoleh kearah lawan bicaranya, karena dirinya sudah jenggah akibat pertanyaan yang sama berulang kali. Mungkin wajar bagi mereka bertanya pada itu ke Garry, karena dirinya sudah berada sekitar 1 jam dan hanya duduk sendiri di meja yang seharuskan ditempati oleh dua orang, sambil memakan menu yang selalu sama. Namun bagi Garry, ada sebuah alasan yang logic jika nanti ia ditanya oleh teman wanitanya, yang sedang melakukan ibadah minggu di gereja dekat restoran ini. Drrrtttt drrtttt drtttt' [“So sorry, Garr. Aku harus menghadiri acra perjamuan setelah ini, bagaimana pertemuan ini diundur?”] BRKKK' Garry melepas pisau dan garpu di tangannya, dan langsung bangun dari posisinya, “Kau bisa mengambil kursi ini.” Jelas Garry pada wanita berambut pirang yang tadi. “Sekeras apapun berusaha, pada akhirnya kita akan lebih mencintai pencipta-Nya dibanding ciptaan-Nya” Seutas kata-kata kembali tertanam dalam fikiran Garry, saat melangkahkan kaki ke luar restoran yang tadinya akan menjadi tempat pertemuaan kedua insan yang saling mencinta. Namun anehnya, hati Garry tidak merasakan kecewa, marah atau apapun itu saat membaca pesan yang dikirimkan oleh gadisnya. Ia lebih kepada untuk memaklumkan semua kegiatan yang sudah ia ketahui sejak awal dalam hubungan ini. ** Kelima mahasiswa dan mahasiswi yang telah mendapatkan surel dari Fakultas Bahasa dan Seni, diminta datang ke kantor Fakultas untuk diberikan beberapa surat dan berkas yang harus mereka lengkapi, sebelum kepergiannya satu minggu kemudian. Garry langsung menghubungi beberapa temannnya yang juga diterima untuk pertukaran pelajar ke California, “Gua nunggu di depan kantor Fakultas ya. Buru dah lo pada, jangan bucin mulu anjeerrrr.” Ia mengirim voice note pada grup chatting nya. Garry berjalan dengan satu tangan dimasukkan ke saku celana, karena itu adalah gaya andalannya yang bisa membuat kaum hawa menatapnya dengan pesona yang telah ia pancarkan. Jelas saja, siapa yang tidak akan termakan oleh pesona Garry, mahasiswa jurusan sastra Indonesia, yang terkenal rapih nan bergaya necis.Terlebih lagi saat Garry mengenakan kaos bewarna hitam dan polos, yang bisa menambah 100% pancaran auranya. Dan juga dikarenakan, hanya Garry lah satu-satunya mahasiswa yang tidak berambut gondrong, seperti mahasiswa fakultas bahasa lainnya. Bahkan sampai semester 3, dirinya sama sekali tidak tergoda untuk memanjangkan rambut, seperti teman-temannya, karena menurut pandangannya, rambut panjang hanyalah untukk wanita. Kodrat laki-laki adalah berambut pendek, dan rapih. Itulah pandangan Garry, yang merupakan bukan tokoh agama, dan bukan orang baik yang memegang teguh agamanya. Namun setidaknya, ia tidak mau menyalahkan kodratnya sebagai laki-laki. ‘persetan anak-anak ngaret!’ Batin Garry membenci semua temannya, yang sangat mencerminkan warga Negara yang ia tinggali saat ini. Ia mendorong pintu kaca, “Pagi, Bu. Saya mau mengambil dokumen buat pertukaran pelajar.” Ucap Garry pada resepsionis, yang langsung berdiri ketika ia memasuki ruangan berdominasi warna-warni, kebanggaan fakultas Bahasa dan Seni. “Dari jurusan apa ya, Mas?” “Sastra Indonesia, Mahardia Garry Widjaja. Npm 1908—“ “Langsung masuk aja, Mas. Ketemu sama Bu Rumi.” Si resepsionis langsung mengarahkan Garry yang belum selesai memperkenalkan dirinya kembali. Seperti kebiasaan yang selalu memperkenalkan diri sebelum masuk ke dalam ruang Fakultas. Entah apa yang membuatnya seperti itu, seolah menggoda resepsionis yang selalu mengajukan pertanyaan yang sama pada Garry, yang padahall akhir-akhir ini sering menghiasi ruang Fakultas. “Makasih Mba, saya masuk dulu boleh?” Balas Garry, dengan nada yang menggoda. Membuat si resepsionis terkikih dengan ulahnya, yang memilih duduk kembali ke kursinya, ketimbang meladeni Garry yang ia tahu, tidak akan habis menggoda dirinya. Setelah Bu Rumi, mengizinkan Garry masuk ke ruangannya, ia langsung terkejut saat melihat beberapa temannya yang sudah berada di kursi bersama Bu Rumi, “Gila, setia kawan anak sastra perlu ditanyain lagi nih, rupanya.” Cibir Garry dengan sangat santai, yang padahan ada dekan jurusannya yang mendengar semua perkataanya. Namun bu Rumi hanya terkikih melihat mahasiwanya melakukan itu semua, menurutnya semua itu wajar dan terjadi sangat alami. Sebagai dekan yang pernah merasakan masa muda, dan saat ini menjabat sebagai dekan jurusan sastra Indonesia, yang banyak bertemu dan berbahasa bebas dengan semua mahasiwanya, ia masih memaklumkan perbuatan Garry, “Mahardia, silahkan duduk! Kalau masih mau pergi ke California.” Ujar Bu Rumi, dengan nada suara bercanda, namun penuh ancaman. “Duduk ya wahai matahari anak-anak kampus, yang padahal cuman ayam.” Goda Roman, menggunakan beberapa kiasan dan di dukung oleh Guntur, yang sedikit menambahkan bumbu godaan. “Bu,” Panggil Garry, mengacuhkan semua godaan teman-temannya. “Kenapa, Mahardia?” Balas Bu Rumi, yang selalu memanggil Garry dengan nama depannya. “Kenapa si, tikus-tikus begini ikut harimau seperti saya ke sana, ngerusah vibes, Bu.” Sambung Garry, dengan membuat beberapa kata pengganti, untuk menyebut kedua temannya yang berada di seberang. Seketika Roman dan Guntur langsung saling menyahuti ucapan Garry, membuat ruangan dekan terlampau berisik, “Berkas-berkas ini saya tarik lah ya, dari sastra Indonesia gak ada yang beangkat! Biar anak seni rupa aja yang berangkat semuanya.” “Yah jangan dong, Bu!” Pekik mereka bertiga dnegan kompak, dan langsung menoleh kea rah Bu Rumi, yang sedang merapihkan berkas-berkas di meja. “Duh, Bu Rumi makin cantik kaya bunga sakura bulan mei di Osaka yaaaa” Ujar Garry, seraya mengambil perlahan-lahan berkas yang di meja kembali. Begitupun dengan Roman dan Guntur, yang langsung membuat beberapa kiasan untuk meggoda dekan mereka. Membuat Bu Rumi, yang terlalu senang dengan beberapa cuitan gombal dari ketiga mahasiswanya yang tidak diragukan lagi, bisa melulhkan hati-hati wanita. “Pokoknya ini lengkapi ya, Saya tunggu paling lambat 3 hari dari sekarang, kalo lewat dari batas, lupakan California!” pekik Bu Rumi,untuk mengingatkan mereka bertiga. “Yah, Ibu. Janganan 3 hari, besok saya lengkapin deh, Bu.” Ujar Guntur, dengan ucapan tanpa menelaah kembali, jika ada beberapa dokumen yang membutuhkan waktu untuk mengurusinya. “Canda, Ibu. Ya kali aja besok lengkap, 3 hari deh ya, Bu.” Ia  kembali meralat ucapannya, setelah melihat tatapan tajam dari mata Roman dan Garry. “Sudah,sudah! Keluar deh kalian, saya pusing lama-lama ngurusin mahaiswa kaya kalian.” Pekik Bu Rumi, dengan tangan bergerak mengusir mereka.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD