Dara sampai di rumah dalam keadaan lampu sudah padam, tapi samar-samar ia mendengar suara orang berbincang-bincang. Itu dari kamar mamanya! Iya, benar. Namun, Dara tak ingin ambil pusing. Baru satu langkah ia berjalan terdengar suara seperti orang ... mendesah. Apa Dara tidak salah dengar?
Ah, mungkin saja Mama sedang mengigau, pikirnya.
Namun, detik berikutnya terdengar pintu kamar Mama dibuka dari dalam, mendengar hal itu Dara buru-buru masuk ke kamar dan mengunci pintu.
"Oke, besok aku kesini lagi." Terdengar suara laki-laki.
"Iya, sayang. Good bye." Itu suara Mama, suaranya sangat berbeda ketika berbicara dengan Dara. Kali ini suaranya sangat lembut dan manja.
Setelah itu yang Dara dengar hanya ucapan selamat malam diantara Mama dan laki-laki itu.
Tok tok tok ....
Dara yang sedang menggunakan masker wajah terkejut mendengar suara ketukan yang sangat familiar.
"Buka pintunya!"
Dara membuka pintu dengan tangan gemetar, berhadapan dengan Mama membuat rasa takutnya tidak hilang.
"Masih inget jalan pulang ternyata, ya kamu?! Oh, saya lupa kamu kan wanita bayaran!"
Hati Dara semakin sakit ketika Mama mengatakan itu, lagi. Ia menunduk dan tak berani menatap Mama.
"Kamu dan ibu kamu itu sama. Pelacur!"
***
"Hai, bunda ...." Gadis yang memakai hoodie putih abu itu berjongkok disamping makam bertuliskan nama "Berlian Adiwijaya". Ia mencium lama nisan milik sang bunda.
"Bunda apa, kabar? Bun, aku kangeeeen banget tau gak sih? Aku kesepian, bund."
Dara tak kuasa menahan tangis, ia menumpahkan segala keluh kesahnya dimakam Bunda, masalahnya dengan Maya, tidak ada kata selesai. Kalo saja waktu bisa diputar Dara hanya ingin Bunda serta Papa bisa kembali ke dunia ini. Namun, itu hanya ilusi semata.
"Kakak."
Tiba-tiba seorang anak kecil menghampirinya, membuat Dara otomatis mendekat dan menyapa anak itu, "hey," sapanya.
"Ini buat kakak," kata anak itu seraya memberikan coklat kepada Dara.
"Makasih, nama kamu siapa, dek?" tanyanya ramah.
"Kevin, kak. Kata kakak yang disana-" Kevin menunjuk ke arah pepohonan yang dekat dari makam Bunda, setelah Dara ikut mendongak, ternyata di sana ada Rafael yang melambaikan tangan kearah Dara dan Kevin.
"Kakak jangan nangis nanti cantiknya hilang."
Mendengar hal itu Dara tertawa karena cara bicara Kevin yang terlalu polos.
****
"Kamu gapapa, kan?" tanya Rafael.
Mereka kini berada disebuah restoran yang tak jauh dari makam, Rafael tau gadis disebelahnya ini pasti belum makan, maka dari itu ia mengajak-lebih tepatnya memaksa Dara agar mau ia ajak makan.
"Gapapa, kok. Cuma kangen Papa sama Bunda aja," Dara berusaha tersenyum.
"Kalo ada masalah cerita sama aku, oke?"
Dara hanya mengangguk, ia menyeruput mie yang asapnya mengepul, sesekali anak rambut gadis itu jatuh ke depan membuat ia kesusahan, Rafael melihat sedari tadi tanpa aba-aba ia menggulung rambut Dara dengan sangat hati-hati. Dara yang melihat itu tersipu malu, kemudian melanjutkan acara makan yang sempat tertunda tadi.
"Abis ini mau kemana, by?"
Dara mengambil tisu dan mengusap mulutnya, ia menyeruput esnya sebentar kemudian menatap Rafael.
"Pulang. Gak tau kenapa semenjak perutku kambuh lagi, aku gampang capek, Raf," keluhnya.
"Emang kamu jarang makan? Sampe lambung kamu kumat lagi?"
Dara menghela napas pelan, memang benar semenjak naik kelas akhir ini ia jadi sering terlambat bahkan sampe melewatkan jam makan siang ataupun malam. Namun, ia terpaksa berbohong kepada Rafael karena tak ingin cowok itu khawatir.
"Engga oke, aku gak pernah telat."
"Yakin?"
"Heem."
****
Banyak orang berlalu lalang ditaman sore itu, setelah selesai makan Rafael sengaja mengajak Dara untuk menyegarkan pikiran agar tidak stress. Dan taman menjadi tujuan mereka.
"Bentar, ya. Aku beli permen kapas di sana dulu?"
Sepeninggal Rafael, Dara mulai mengeluarkan Diary miliknya, gadis itu sangat senang hari ini. Pertama, ia bisa bertemu dengan Papa dan Bunda, kedua karena anak kecil dimakam tadi. Fyi, Dara teramat suka dengan anak kecil, menurutnya anak kecil itu manusia paling gemas yang tidak boleh diabaikan, dan ketiga karena hari ini ia berada didekat Rafael, rasanya nyaman.
Dara's diary
Tuhan, terima kasih untuk hari ini. Semoga selalu seperti ini dulu, ya. Gak tau kenapa aku capek, tuhan. Semoga selamanya Rafael tetap bersamaku, aku sayang dia. Dan untuk mama semoga pas aku pulang nanti mama gak marah.
****
Rafael menatap lamat-lamat gadis yang sedang tidur disampingnya, hari ini Dara tampak kelelahan, oleh karena itu sehabis dari taman, Rafael memutuskan membawa Dara ke rumahnya, karena tidak mungkin ia membawa Dara pulang, nanti malah Maya semakin marah. Setelah selesai makan bersama Ibu, Rafael langsung izin membawa Dara ke kamarnya, sedang laki-laki itu tidur di kamar tamu.
Jangan langsung GR kalian nyangka mereka tidur bareng- otor gemes?
Dia sangat ini tengah mengecek keadaan Dara, ternyata gadis itu masih tidur.
"By, semoga aku bisa terus disamping kamu, ya." Ada sesuatu yang membuat Rafael mengatakan itu, setelah kejadian beberapa hari yang lalu mengharuskan ia tabah dan sabar akan ujian yang sedang ia alami saat ini. Namun, Dara tidak boleh tahu. Gadis itu harus bahagia jika disamping dirinya, harus!
"Enghh ...."
Suara dengkuran halus dari Dara terdengar, gadis itu menyipitkan mata dan begitu membuka mata yang ia lihat adalah muka Rafael.
"Raf, ngapain kamu? Nggak tidur, ya?"
Dara berusaha duduk ditepian ranjang, Rafael pun membantunya.
"Lagi ngecek kamu aja, aku ganggu kamu, ya?"
"Engga."
Dara mengamati wajah Rafael, kemudian gadis itu menemukan keanehan, "kamu nangis?" tunjuknya pada pipi Rafael yang basah.
"Engga, by. Mana ada aku nangis," elaknya.
"Raf, jangan boong itu apa— orang pipi kamu basah, mata kamu merah? Kamu kasian sama aku? Plis, jangan kasihan sama aku, cukup temenin aku aja, ya. Aku cuma—"
Omongan Dara berhenti karena Rafael ....
Menciumnya.
****
Bi Inah membereskan piring-piring kotor begitu Maya selesai makan, perempuan itu masih asik dengan handphone dan senyum-senyum tidak jelas seperti remaja baru pacaran. Bi Inah sesekali melirik ke arah Maya sambil waspada, takut perempuan itu marah karena ia kepo.
"Bi!"
"Iya, nyonya." Bi Inah mendekat ke arah Maya.
"Anak haram itu mana?" Fokus Maya masih terhadap handphone, setelah beberapa detik baru ia melirik, "tumben biasanya dia udah berisiiiik banget bikin kepala saya pusing karena acara senam dia yang gak jelas itu."
Bi Inah meneguk ludah kasar, tadi malam ia sempat dikabari oleh Risma— ibu Rafael, kalo Dara menginap di sana. Ia ingin menjelaskan tapi takut Maya akan marah.
"Bi, saya nanya loh ini kemana dia?"
"Em ... Itu nyonya."
"Itu apa?!" Maya bertanya setengah berteriak, karena Bi Inah menjawab hanya setengah-setengah.
"Em ... Non nginep di rumah Den Rafa tadi malem."
Mendengar itu Reflek Maya melempar Handphonenya sampai retak tak berbentuk lagi
****
Menurut kalian Maya kenapa, ya?
Enjoy, bunny ?
Salam dari aku yang masih menanti baby ??