DARA : Dara dan lukanya
Tahun 2000
Pada salah satu ruangan rumah sakit, terdengar suara bayi yang menangis begitu kencang. Dokter yang melihatnya tersenyum, kemudian menyerahkan bayi itu ke laki laki yang berdiri disamping brankar seorang wanita.
"Ini, Pak. Perempuan. Cantik seperti ibunya," ucap dokter itu sambil tersenyum.
Laki laki ber name tag Adriansyah itu menerimanya, ia menatap mata anak perempuan itu sembari menangis, lalu beralih melihat wanita yang menjadi orang ketiga diantara hubungan ia dengan Maya, istrinya yang saat ini juga tengah hamil tua.
"Aku harus pulang, Maya bisa curiga nanti."
Berlian, wanita yang baru saja melahirkan itu tersenyum kecut, "Mas, kamu rela ninggalin aku sama anak kita, aku baru aja ngelahirin loh."
Adriansyah menyerahkan banyinya kepada suster kemudian mendekati Berlian.
"Aku bakal kesini lagi, tapi aku harus pulang dulu, Lian," jawabnya memberi pengertian namun, dasarnya wanita itu keras kepala Berlian tetap tidak mau ditinggal.
Hingga dering telfon membuat Adriansyah langsung panik, nama Maya tertera di ponselnya. Istrinya sedang memvideo call dirinya, Berlian yang melihat itu langsung merebut ponsel andrian dan mengangkatnya.
"Loh, ini siapa kok pegang handphone suami saya?" Dahi Maya mengkerut tak suka, Berlian menanggapi sambil tersenyum.
"Aku pacarnya suami kamu, Mbak. Aku baru aja ngelahirin anaknya. Perempuan lo." Berlian menekan setiap kata yang ia ucapkan, sementara Adrian terpaku ditempat.
***
Ingatan masa lalu itu memenuhi pikiran mayang sudah 17 tahun yang lalu tapi ia tidak bisa begitu mudah melupakan semua begitu saja, terlebih sekarang ada Dara anak yang dari hasil perselingkuhan suaminya dahulu dengan seorang wanita. Dan sialnya dia yang harus merawat juga membesarkan.
Ibunya Dara, Berlian sudah meninggal beberapa hari sesudah melahirkan. Dan suaminya menyusul satu tahun setelah itu karena penyakit paru-paru yang diderita. Maya saat ini bekerja meneruskan bisnis suaminya untuk menghidupi anak yang bukan darah dagingnya. Maya sangat membenci Dara.
"Dimana anak haram itu?" tanyanya pada pembantu yang sedang membersihkan halaman rumah.
Bi inah, wanita yang bekerja sebagai pembantu itu sudah terbiasa mendengarkan nyonya memanggil Dara dengan sebutan 'anak haram' jadi ia tak terkejut lagi.
"Tadi sih izin sama saya mau pergi sama Rafael, nyonya."
Maya berdecih, "masih bau bawang udah pacaran."
***
Dara menyesap es krim ditangannya sampai habis tak tersisa, hari ini sekolah cukup melelahkan begitu banyak tugas yang harus dikerjakan dan apalagi ia ikut organisasi osis yang bulan depan akan mengadakan pameran, jadi ia harus ikut serta menyiapkan beberapa hal.
Disampingnya, ada laki laki yang selama ini selalu ada untuk ia kapanpun dibutuhkan. Selalu menjadi tempat curhat, tempat bersandar setelah tuhan pastinya.
"Pulang, yuk," ajak Rafael sahabat sekaligus pacar untuk Dara.
Dara menggeleng, dirinya enggan beranjak. Hari ini ia ingin menghindari mama takut jadi bahan pelampiasan kemarahan.
"Nanti aja, kamu tau sendiri sebenarnya aku ngajak kesini kenapa."
Rafael mengerti Dara hanya butuh beberapa jam lagi untuk menenangkan diri, setelah kejadian kemarin ia sempat melihat Maya ingin menusuk perut Dara menggunakan pisau, makanya cewek itu kelihatan takut sampe detik ini.
"Kenapa, ya, Mama selalu marah meskipun aku gak buat kesalahan? Aku diem aja Mama marah, aku harus gimana supaya Mama gak marah lagi sama aku, Raf?" tanyanya dengan mata berkaca.
Rafael tidak menjawab apapun, ia langsung memeluk Dara, menenangkannya. Selalu seperti itu hampir tiap hari Dara menangis hanya karena sang Mama.
***
Dara membuka pintu belakang dengan sangat pelan berharap Mama sudah tidur, kemudian ia berjalan mengendap-endap menuju kamarnya yang berada dilantai dua, baru sampai pada anak tangga pertama suara melengking sudah memenuhi gendang telinga cewek itu.
"BAGUS YA, KAMU. GAK TAU DIRI. CEWEK APA KAMU TENGAH MALEM BARU PULANG!"
lampu tengah dinyalakan oleh Maya, membuat kepala Dara tertunduk dan tidak berani menjawab.
"Ngapain kamu diem kaya patung begitu. Asal kamu tau, ya. Gak bisa seenaknya kamu pergi lalu pulang. Mau jadi pelacur kamu pulang tengah malem begini!"
"Ma ...." Air mata Dara kembali menetes ketika mendengar kata 'pelacur'.
"Kenapa? Saya bener kan? Habis dibayar berapa juta kamu?"
"Ma, aku gak kaya gitu, plis jangan gini ke aku, Ma." Dengan air mata berlinang Dara berusaha meraih tangan Maya namun, ditepis.
"Jangan pegang-pegang. Saya jijik!"
Plak!
Plak!
Plak!
Srettt!
Tamparan serta jambakan diperoleh Dara, tangan Maya seakan begitu lihai.
"Ini ganjaran buat kamu karena buat saya marah!"
Bugh!
Maya menendang perut Dara, membuat Dara merintih kesakitan.
"Ini semua belum impas sama kelahiran kamu ke dunia ini!" teriaknya kesetanan.
***
Dara berjalan tertatih-tatih menuju kasur kecil yang berada dikamarnya, ia kemudian mengambil sebuah obat didalam laci dan perlahan meminumnya. Setelah itu ia bernafas lega, kemudian menidurkan diri karena tubuh gadis itu sangat lelah belakangan ini. Rasa nyeri pada perut tak kunjung hilang, ia segera menyambar handphone dan menelfon seseorang.
"Aku udah gak kuat," lirihnya.
Rafael yang berada diseberang tampak gusar. Namun, cowok itu mencoba tetap tenang. "Obatnya udah diminum?"
"Udah."
"Oke. 5 menit lagi baru bereaksi, kamu sabar,ya?"
"Heem. Yaudah, aku istirahat dulu."
Baru ingin mematikan sambungan, suara Rafael membuat Dara mengurungkan niatnya.
"Jangan dulu. Cerita, kenapa?"
Seolah tahu apa yang menimpa Dara, cowok itu meminta Dara untuk bercerita.
"Mama, Raf."
Isakan Dara yang terdengar dipendengan Rafael membuat cowok itu berdecak, merasa gagal dalam menjaga cewek itu.
"Tadi pas aku sampe rumah aku lewat pintu belakang supaya gak ketemu Mama, eh pas sampe anak tangga mau ke kamar ternyata Mama tau aku pulang, terus dia marah dan nampar aku, nendang perut aku, sakit Raf rasanya. Aku—"
Dara tidak melanjutkan berbicara, karena dari cara ia menjelaskan dari sebrang sana Rafael tahu hati gadis itu sangat rapuh, sakit dan mungkin tak berbentuk. Rafael mencoba menenangkan seperti biasa ketika Dara sudah menangis seperti saat ini, karena hanya itu yang ia bisa.
"Udah, ya kamu tenang, oke? Aku mungkin gak bisa bantu banyak, sayang. Aku cuma bisa nenangin kamu. Kamu dinginin pikiran kamu, ya. Aku tau jauh dihati Tante maya dia pasti sayang banget sama kamu, tapi mungkin dia gengsi. Udah sekarang kamu tidur, hm?"
"Iya, aku mau istirahat dulu. Capek."
Sambungan telfon diputus oleh Dara, cewek itu beranjak dari kasur dan mulai mencuci muka, benar kata Rafael rasa sakit diperutnya mulai hilang setelah 5 menit.
"Pa, Bund. Semoga aku kuat, ya." Ia tersenyum menatap deretan foto Papa dan sang bunda dimasa lalu yang sedang tersenyum bahagia.
****