“Hei, Cla, kenapa diam? Kok mukanya jadi pucet gitu, sih?” Aku mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah Clara, membuatnya kembali sadar dari lamunan.
“Eh, nggak, Mbak. Cuma heran aja. Nggak nyangka kalo Mas Irsyad selingkuh. Di kantor dia kayaknya biasa aja. Nggak menunjukkan ada gelagat main serong.” Clara menjawab seakan tak mengetahui apa-apa. Lagaknya sudah seperti ikan berkulit buaya. Dasar botol miras oplosan! Bisa-bisanya kamu terus bersandiwara, Cla!
“Lagipula, pelakor itu kok nggak takut, ya? Dia cari masalah ke orang yang salah. Aku benar-benar nggak segan untuk mematahkan batang lehernya atau mengirim orang untuk mencelakainya, lho, Cla. Bisa aja dia lagi nongkrong di cafe, terus minumannya kukasih sianida. Namun, yang lebih sadis, aku bisa saja menjebak dia untuk datang ke rumah ini, lalu makan bersama dan meracuninya. Ah, itu gampang. Bahkan dalam satu malam pun, aku sanggup menghabisi nyawanya seorang diri.” Aku tersenyum lebar, menampakkan geligi pada Clara yang semakin terlihat ciut. Tergambar rasa ngeri dari sorot matanya.
“Mbak, aku boleh numpang mandi? Rasanya badanku lengket setelah seharian kerja dan langsung masak.” Clara mengalihkan pembicaraan, dia seakan ingin lari dariku. Melihat ke arah toilet di belakang, lalu beringsut perlahan.
“Eh, Cla.” Aku mencegat langkahnya. Mencengkeram lengan mulus milik perempuan yang ngakunya masih perawan tapi sangat kusangsikan tersebut.
“Ya, Mbak?” Bibir Clara terlihat bergetar. Suaranya lirih. Ketakutan tampak jelas dari air mukanya.
Aku mendekat ke arahnya, berbisik tepat di depan daun telinga milik Clara. “Hati-hati. Kalau malam di toilet itu—”
Clara bergidik, melepaskan tanganku, kemudian menepisnya dan menjauh.
“Mbak, ada apa? Jangan buat akut takut!” Clara setengah berteriak. Dia panik luar biasa.
“Banyak tikus. Belum selesai aku ngomong. Hahaha kamu kok penakut sih, Say!” Lepas sekali tawaku. Hingga perut ini rasanya berguncang. Mampus, kamu Clara! Rasakan shock teraphy itu.
Clara mengembuskan napas lega. Tangannya menyapu peluh yang menetes di dahi. Lalu dia menepuk-nepuk d**a, seakan ingin berkata bahwa aku telah sukses membuatnya bergidik ngeri.
“Aku mandi dulu, ya Mbak.” Clara pamit. Dia menuju ke nakas kecil dekat dispenser, mengambil peralatan mandinya di dalam tas kerja.
“Cla, dandan yang cantik, ya. Mas Irsyad bisa kecewa kalau tamunya tampil biasa saja.”
Mendengar itu, Clara terlihat tertegun sesaat. Dia diam, tanpa dapat menjawab. Langkahnya buru-buru masuk ke toilet. Sama sekali tak menoleh ke arahku.
***
Aku pun tak mau kalah dengan pelakor manis itu. Jelas saja aku langsung mandi dan berdandan dengan maksimal. Menyapukan body butter beraroma pisang pada sekujur tubuh, lalu mengenakan foundation di wajah. Bedak tabur warna kuning, blush on, lipstick, maskara, dan eye shadow, semua nangkring di mukaku yang terlihat begitu berbeda saat bercermin. Mungkin, Mas Irsyad berpaling pada Clara karena selama ini aku terlalu sibuk mengurus rumah tangga hingga lupa berdandan cantik di depannya. Namun, Mas Irsyad lupa, kalau aku bisa begitu karena harus membuat perutnya kenyang dan pakaiannya bersih rapi. Begitulah kelakuan lelaki tempe, langsung berpaling saat istri tak lagi cantik, padahal gimana mau cantik, kalau waktu untuk berdandan saja tidak ada? Benar-benar geblek maksimal.
Setelah semua dirasa selesai, aku keluar kamar dan menghampiri Mas Irsyad yang tengah bermain dengan anak-anak di ruang televisi. Ketiganya tampak asyik memainkan ular tangga.
“Halo semuanya. Ayo, kita makan malam bersama.” Suaraku lembut menyapa suami dan anak-anak. Ketiganya langsung menoleh. Telihat takjub saat memandang istri dan mamanya.
“Ma, cantik banget! Tumben pakai mini dress?” Mas Irsyad bangkit. Dia begitu sangat terpukau melihat tubuhku yang berbalut gaun selutut dengan kedua lengan yang terbuka. Bahan satin berwarna hijau zamrud ini, memang sangat pas di tubuhku yang sudah turun tiga kilogram dalam dua minggu.
Sebenarnya, nurani sebagai seorang ibu membuatku enggan memakai pakaian yang menjijikan ini. Aku takut kalau Adiva dan Raina mencontoh. Namun, tuntutan peran memaksa untuk mengenakannya. Cukup untuk malam ini saja. Setelahnya, baju yang pernah kubeli tujuh tahun yang lalu ini akau dimuseumkan untuk selamanya.
“Mama pake seksi. Katanya nggak boleh kalau pakai baju yang keteknya keliatan.” Adiva mulai protes. Dia menarik-narik ujung gaunku.
“Kan dipakainya hanya di dalam rumah, Kak. Lagian nggak ada cowok lain di sini. Jadi boleh.” Aku mencoba menjelaskan sambil jongkok di hadapannya.
“Kalo di rumah nggak apa-apa, Kak. Kan Papa aja yang lihat. Hehehe.” Mas Irsyad terkekeh. Dia melirikku sembari mengedipkan sebelah mata.
“Ayo, kita ke ruang makan.” Aku langsung menggendong Raina dan memimpin tangan Adiva menuju dapur. Mas Irsyad mengikuti, sembari sesekali menyolek pinggangku. Senangkah aku mendapat perlakuan demikian darinya? Oh, tidak sama sekali, Fernando! Rasa jijay bajay itu tetap ada dan bertahan dalam relung hati terdalam.
Kami tiba di ruang makan. Ternyata, Clara juga sudah duduk di kursi paling pojok. Mataku membelalak melihat tampilannya. Wajahnya pucat, tanpa sapuan make up. Alisnya gundul tanpa sentuhan pensil. Bibirnya tampak kering saat telanjang tak mengenakan lippen. Rambut pirangnya pun tampak lepek dan basah. Clara saat itu tengah melamun.
“Hei, Cla. Kok nggak dandan? Gih, ke kamar Mbak. Alat make up-nya lengkap di sana. Maklum, persiapan masuk kerja nanti.” Aku menepuk pundak wanita yang mengenakan stelan kantor yang tadi sore dipakainya.
Clara menggeleng, senyumannya seperti tertahan. “Nggak, Mbak. Gini aja.”
Aku melirik ke arah Mas Irsyad. Entah mengapa, pria itu terlihat salah tingkah. Seperti enggan melihat ke arah Clara.
“Eh, ayo duduk semuanya. Yang rapi, ya.” Aku mengalihkan topik pembicaraan. Mulai mengatur posisi duduk Adiva dan Raina.
Mas Irsyad menepati posisinya di kursi yang terletak di bagian depan kepala meja. Adiva duduk di sebelah kanan papanya, sementara aku duduk di tengah antara si sulung dan si bungsu.
“Cla, jangan duduk di ujung, Say. Maju sini. Duduk di samping Mas Irsyad.” Aku melambaikan tangan pada Clara.
Perempuan itu menoleh dan terlihat ragu. Dia bangkit dan berjalan perlahan.
“Mas, aku duduk di sini,” ucapnya lirih sambil menunduk.
“Hm.” Mas Irsyad hanya menjawab singkat sambil membuang muka.
Aku jelas saja heran melihatnya. Kenapa dua orang yang tadi sore terlihat begitu ceria, kini berubah jadi dingin dan tengang? Mas Irsyad juga telihat cuek. Harusnya kan dia senang bukan kepalang bisa duduk berdekatan dengan pujaan hati tercinta?
“Ayo, sebelum makan kita berdoa, ya. Papa yang pimpin.” Kedua tangan kuangkat untuk memberi contoh pada Adiva dan Raina.
Mas Irsyad mulai melantunkan doa sebelum makan. Kemudian menyuruh Adiva untuk membacakan artinya. Si sulung dengan senang hati melakukannya. Di saat-saat seperti ini, aku merasa sangat sedih. Haruskah semua kebahagiaan masa kecil Adiva dan Raina hilang hanya karena ego orangtuanya?
Kami berlima mulai makan. Supaya suasana tak canggung, aku mulai membuka percakapan.
“Mas, gimana? Enak nggak bebeknya?” Dengan penasaran aku menunggu jawaban dari Mas Irsyad.
Lelaki itu tampak makan dengan lahap. Tangan besarnya tak henti mengayunkan sendok ke mulut. Dia benar-benar sangat berselera.
“Enak banget. Pas!” Mas Irsyad mengacungkan satu jempolnya padaku.
“Siapa dulu yang masak. Clara! Spesial buat Mas katanya.” Aku melengkungkan senyum termanis. Memandang Mas Irsyad dan Clara secara bergantian. Menunggu reaksi keduanya. Apakah akan ada kejutan?
“Oh, ya? Makasih, Cla. Namun, kayanya ini masakan Vana, deh. Aku hapal soalnya.” Mas Irsyad tersenyum. Dia terlihat mantap dengan jawabannya.
“Iya. Aku memang nggak sehebat Mbak Vana.” Clara tersenyum kecut. Memandang sinis pada Mas Irsyad. Raut kecewa terlihat dari pancaran matanya.
“Ah, nggak kok, Cla. Kamu yang lebih hebat. Buktinya, saat mabuk kemarin, Mas Irsyad malah menyebut namamu.” Akhirnya, apa yang kutahan keluar juga. Tak dapat terelakkan lagi. Iblis seperti menggedor pita suaraku untuk mengatakan hal laknat tersebut. Seketika, aku sangat menyesal mengatakan hal barusan. Ya Tuhan, semoga saja Adiva dan Raina tidak mendengarkannya.
Mas Irsyad terhenyak. Makannya langsung berhenti. Jelas saja wajah lelaki itu merah padam. Dia terlihat menarik napas dalam sambil mengepal tangan kanan. Apalagi Clara. Perempuan itu langsung tersedak. Dia kaget setengah mati. Tangannya cepat meraih air putih dan minum dengan terburu-buru.
“Ma, bisakah kita bahas yang lain?” Mas Irsyad berkata lirih. Dia tersenyum sinis ke arahku.
Adiva dan Raina langsung menatap tepat pada wajahku. Keduanya bingung, apalagi Adiva yang sudah mengerti.
“Ma, mabuk itu apa?” Mata Adiva penuh dengan tanda tanya. Dia berkali-kali menarik bajuku untuk mendapat jawaban.
“Engg, sakit perut. Mual muntah. Iya, itu artinya.” Aku menjawab cepat.
“Adiva, Raina, kalian ke kamar, ya. Nonton Little Pony sebentar. Mama dan Papa mau bicara penting.” Buru-buru aku membawa kedua anak kami ke kamar kemudian menyetelkan kartun kesuakannya.
Setelah menguncikan Adiva dan Raina, aku kembali dengan tergesa ke meja makan. Mas Irsyad dan Clara tampak duduk mematung diam seribu bahasa.
“Sorry kalau aku merusak acara makan malam ini.” Aku mendesah risau. Menatap ke arah Mas Irsyad yang tampak kecewa.
“Vana, apa maksudmu?” Mas Irsyad bangkit. Lelaki itu gusar. Dia membanting keras kursi yang terbuat dari jati.
“Aku yang ingin bertanya pada kalian. Apa maksud dari malam itu? Tetangga bahkan melihat Clara mengantarmu tengah malam. Kau mabuk, Mas. Menyebut nama Clara dengan ucapan sayang. Apa itu normal? Dan kau Clara, bisa-bisanya berakting seolah tak terjadi apa pun?” Aku menuding wajah Mas Irsyad dan Clara secara bergantian. Rasa muak menyeruak. Atmosfer tegang langsung menyelimuti kami bertiga.
“Semua hanya salah paham, Mbak. Kami berdua nggak ada hubungan apa-apa.” Clara menjawab cepat. Mengelak untuk membela diri.
“Oh, ya? Kapan kalian berzina? Ceritakan saja, Cla. Aku akan mendengarnya.” Aku maju ke arah Clara. Menantangnya untuk buka mulut. Perempuan itu ragu. Melihat ke arah Mas Irsyad berkali-kali.
“Vana, kamu sudah keterlaluan!” Mas Irsyad menarik tanganku dengan kasar. Dia mendorong tubuh kecilku ke lantai, lalu menghujaninya dengan pukulan.
“b******n kamu, Mas! Kamu malah membela perempuan tidak tahu malu itu!” Aku berteriak kencang. Berusaha bangkit, lalu berlari ke arah Clara. Perempuan laknat itu harus mendapatkan balasan yang sama.
Dengan serta merta aku menjambak rambutnya, menendang muka dengan lutut kerasku. Dressku sampai koyak karena gerakan yang cepat.
“Lepaskan aku!” Clara berteriak keras. Namun, aku tak mau peduli. Pukulan, jambakan, serta serangan terus kulancarkan. Clara tak boleh lepas.
“Vana, lepaskan Clara!” Mas Irsyad menarikku. Dia menampar wajahku dengan kencang hingga bagian dalam pipiku rasanya pecah dan berdarah. Rasa asin menyeruak dari dalam mulut. Aku meludah. Benar saja, darah segar keluar dan jatuh mengotori lantai.
Belum puas menampar, Mas Irsyad juga menendang perutku. Nyeri luar biasa. Seketika napasku sesak. Jelas saja aku terpental di lantai. Menahan rasa nyeri yang luar biasa. Tulang dadaku seakan patah berkeping, menusuk organ dalam. Sakit tak terkira.
Tanpa diduga, Mas Irsyad langsung menarik tangan Clara, membawanya pergi meninggalkan aku yang sekarat. Mataku hanya dapat menatap punggung keduanya yang melesat jauh.
“b*****h kalian! Laknat!” Lirih bibirku berucap. Sambil memegang perut, aku terkulai lemas di lantai. Menangis pilu sembari menahan rasa sakit yang tak terperi. Harga diriku tandas di tangan suami sendiri. Hancur tak berbekas.