4

2160 Words
Sepanjang malam, aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Otak ini terus memikirkan strategi apa yang harus dilakukan untuk eksekusi besok. Sesekali aku mencari informasi lewat mesin pencarian internet, tentang tata cara pembelian bahan kimia. Apakah sianida dijual bebas? Bagaimana cara mendapatkan arsen? Di mana toko kimia yang menjual botulinum toxin tanpa perizinan yang ribet? Scene film-film thriller mulai memenuhi angan. Mulai dari menuang racun ke dalam minuman, menyeret mayat ke dalam gudang, hingga memotong jari-jari manusia dengan gunting rumput, atau mencongkel matanya dengan garpu makan sampai cairan bola mata memercik ke tubuh, seluruhnya tergambar jelas di benak. Ah, sepertinya aku sudah gila. Penyiksaan batin yang telah dilakukan Mas Irsyad, membuat jiwa psikopat dalam diriku tiba-tiba muncul. Segera aku bangkit dari tidur. Menggelengkan kepala beberapa kali, lalu duduk meringkuk memeluk lutut dalam selimut tebal. Aku melirik Mas Irsyad yang sedang tertidur pulas. Suara ngoroknya begitu mengganggu dan bikin muak. Rasanya, ingin sekali aku membekap kepala lelaki itu dengan bantal. Hingga dia lemas. Kemudian menjerat lehernya dengan kabel charger hingga pria kasar itu mengembuskan napas terakhir. Namun, di mana aku akan mengubur tubuh besarnya? Siapa yang dapat menolong untuk mengangkut tumpukan daging berlemak itu? Ah, Vana, sepertinya kamu benar-benar sudah gila! Aku kembali berbaring dengan hati gelisah. Mencoba menutup mata dan tertidur sambil menghitung jumlah domba hayalan. Sampai hitungan ke dua ratus tiga belas, ternyata aku benar-benar tidak dapat terlelap nyenyak. Akhirnya, kuputuskan untuk bangun saja. Pergi ke dapur, membuat adonan cheese cake kesukaan Mas Irsyad. *** Sejak pukul dua dini hari aku berkutat di dapur. Membuat adonan, memanggang kue, lalu menghiasnya dengan whipped cream dan potongan buah segar. Tenang saja, cheese cake ini sama sekali tidak mengandung sianida, arsen, cairan pembersih toilet, obat nyamuk, apalagi botulinum toxin. Aku belum menjelma jadi pembunuh berdarah dingin. Keberanian itu nyatanya hanya sebatas hayalan liar saja. Ternyata seorang Livana adalah perempuan lemah yang sama sekali tidak berani untuk sekadar menuangkan obat nyamuk cair atau bubuk obat pencahar ke dalam adonan cheese cake buatannya. Ya, ternyata aku sepengecut itu. Pukul lima pagi semuanya selesai. Aku cepat-cepat membersihkan dapur dan mencuci perkakas. Untuk sarapan, aku memasak hal yang sederhana. Nasi putih, omelet, dan cah brokoli kegemaran Adiva. Mas Irsyad rupanya sudah bangun. Dia menghampiriku ke dapur dengan rambut yang berantakan dan mata sembab yang sedikit berkotoran. “Pagi, Vana. Apa yang kamu lakukan sepagi ini?” Dia bertanya sembari berusaha membuka lebar matanya. “Harum banget. Masak apa?” Mas Irsyad melanjutkan. Dia berjalan semakin dekat dengan aku yang sedang menuang cah brokoli ke dalam waduh kaca. “Omelet dan cah brokoli. Aku buatkan cheesecake untukmu. Bawa saja ke kantor, bagi-bagikan pada kawan-kawan.” Aku menjawab sambil sekilas menatapnya. Sungguh mati, aku jijik melihat lelaki itu. Rasa cinta yang dulu ada, kini hilang entah ke mana. Mas Irsyad terdiam sesaat. Tanpa terduga, dia memeluk pinggangku. Hal yang telah lama tak pernah dilakukannya. Terakhir kali, saat kami masih pengantin baru lah kami bermesraan di dapur saat aku memasak. Aku tertegun. Jantung ini tiba-tiba berdetak kuat. Namun, cepat-cepat aku menguasai diri. Dengan gerakan halus, berusaha untuk lepas dari dekapannya. Entah mengapa, saat ingat bahwa dia telah berselingkuh dengan Clara, aku jadi enggan mendapat sentuhan Mas Irsyad. Jijik, muak, dan merasa najis. Ah, pokoknya begitu lah! “Aku bau masakan, Mas.” Aku berkilah. Mencoba untuk agak menjauh dari Mas Irsyad. Namun, pria berpiyama biru dongker itu mengejar dan memeluk semakin erat. “Kamu mau ke mana? Jangan lari.” Tubuh Mas Irsyad melekap dari arah belakang. Tangan besarnya melingkar di perut dan dadaku. Hangat embusan napasnya menyapu leher, membuatku merinding dan merasa geli. “Kamu nggak kangen sama aku, Van?” Mas Irsyad mengecup leherku. Aroma mulut khas orang baru bangun tidur menyeruak, mengganggu penciumanku. Dulu, itu sama sekali tidak masalah. Karena aku Cinta padanya. Namun, sekarang, apa saja yang ada pada Mas Irsyad rasanya selalu membuat muak. Aku rindu dengan sosokmu yang sabar, penyayang, dan begitu lembut saat awal pacaran dan pengantin baru. Namun, tidak untuk sekarang, lelaki kardus! “Hm, tentu saja.” Aku berdusta. Tentu saja tidak sama sekali! “Aku juga. Kita terlalu lama ribut dan membahas hal-hal nggak penting. Sampai lupa untuk saling bermesraan.” Mas Irsyad berkata dengan lembut. Bibirnya tak henti mengecup kepalaku. Kita ribut karena keluarga besarmu dan kamu dengan tidak tegasnya selalu menyudutkanku. Apa kamu lupa, wahai wajan gosong? Dan sekarang kau sedang berselingkuh, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Dasar kolor bolong. Penghianat dan pembohong! “Aku minta maaf.” Nada bicaraku datar. “Aku juga. Van, mau kah kamu berjanji?” Mas Irsyad melepas pelukannya. Dia bergerak ke depan, lalu memegang erat kedua bahuku. Matanya menatap dengan penuh keseriusan. “Janji apa?” Mataku menyipit. “Tolong mengalah saja dengan Mama dan adik-adikku. Nggak usah bermasalah lagi dengan mereka. Aku nggak suka.” Aku tersenyum kecil. Membuang muka. Menatap ke arah depan sana. Membayangkan kata-kata apa yang pas untuk menjawab Mas Irsyad dengan telak. “Kalau aku mau melakukannya, apakah kamu juga mau berjanji Mas?” Aku beralih pada Mas Irsyad. Bersitatap dengan lelaki yang tingginya jauh di atasku. “Apa?” Wajah Mas Irsyad penuh tanya. “Maukah dua kupingmu kuiris dengan pisau dapur, jika seandainya kamu ketahuan berselingkuh?” Bibirku tersenyum manis. Mas Irsyad tertawa. Dia menggelengkan kepala beberapa kali. “Potong aja! Emangnya aku selingkuh ama siapa? Kamu lucu, Van. Aneh. Menuduh suami yang bukan-bukan.” Nada bicara Mas Irsyad terdengar santai. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa berdosa sedikit pun. “Ini kan misalnya. Oke ya, kalau kamu sampai ketahuan selingkuh, maka dua kupingmu akan kupotong. Lalu kublender untuk dijadikan bakso. Kasih ke kucing di jalanan sana biar mereka kenyang. Setuju?” “Vana, kamu terlalu banyak nonton film pembunuhan. Hati-hati, lama-lama kamu bisa jadi psikopat.” Mas Irsyad membelai rambutku dengan lembut. Dia tersenyum dan mendaratkan sebuah kecupan di kening. Ternyata, kamu pandai bersandiwara, Mas. Harusnya kamu jadi aktor. Pasti sudah menang piala Oscar. Sayangnya, aktingmu itu malah untuk mengelabui istri sendiri. Sesungguhnya, kamu tidak ubahnya seekor tikus got busuk. Mengganggu dan menjijikan. *** “Eh, Jeng Vana. Ternyata masih mau, ya, belanja di tukang sayur!” Bu Nani menyapa dengan lisan setajam silit, eh silet, maksudku. Aku yang berjalan kaki dari rumah sembari menggendong si kecil, hanya tersenyum kecil saja pada gerombolan ibu-ibu pengangguran yang sibuk belanja di tukang sayur keliling. “Ya masih mau, dong, Bu Nani. Kalau ke pasar modern atau hypermarket kejauhan. Mending nitip Bang Usman aja. Lengkap dan hemat waktu. Ya kan, Bang?” jawabku sembari tersenyum ke arah tukang sayur, Bang Usman. Lelaki bertopi hitam itu mengangguk. Senyum ramah dari wajah sederhananya mengembang. “Bu Vana, titipannya saya bawakan semua. Bumbu halus, rempah-rempah, bebek dua ekor, daging sapi sekilo, sama sayurnya lengkap semua!” Bang Usman yang sudah ngider selama lima tahun di komplek sini, langsung mengambil sebuah bungkusan besar dari dalam gerobak. “Wah, masak besar, nih!” celetuk Bu Anggi. Wanita empat puluhan dengan badan segede gaban itu tersenyum keki. “Iya, Bu. Mau makan malam spesial sama suami.” Aku menjawab sambil mengulas senyum jemawa. “Oh iya, Van. Dua hari yang lalu, aku lihat lho, suamimu pulang tengah malam. Jalannya sempoyongan kaya orang mabuk. Terus yang ngantar sampai pintu itu perempuan cantik pakai mobil sedan hitam. Itu siapa? Jangan-jangan selingkuhan suamimu!” Lisda berucap dengan lantangnya. Perempuan itu seakan ingin membuatku malu di hadapan khalayak ramai. “Oh, itu. Suamiku baru pulang meeting di kantor. Itu yang nganter namanya Clara, teman kantor Mas Irsyad. Ya, kalau selingkuh aku juga nggak ngerti, ya. Biarkan aja. Toh, aku ini sebentar lagi resmi jadi CPNS, kok. Tahun depan diangkat jadi PNS. Jadi, nggak takut sama sekali kalau suami selingkuh. Wong aku bisa kok cari makan sendiri kalau pun ke depannya bakal ditinggal. Kecuali, kalau aku pengangguran. Yang Cuma bisa nerima uang dari suami. Kalau ditinggal, ya jadi janda melarat.” Setenang mungkin aku menjawab. Tanpa ada rasa takut dan gentar. Sontak, tiga ibu-ibu kurang kerjaan itu terdiam. Saling pandang, lalu mencibir. Satu per satu memasang wajah jengkel. Rasakan! “Oh iya, Lis. Tiga hari yang lalu kudengar kamu dan suamimu bertengkar hebat, ya? Sampai anak-anakmu nangis jejeritan. Suamimu selingkuh ternyata? Sama siapa? Aduh, kasihan. Mana kamu cuma ibu rumah tangga. Nggak punya penghasilan. Kalau suamimu kawin sama selingkuhannya, terus kamu dicerai, bakal makan apa kalian? Miris sekali. Aku ikut simpati, ya.” Sebuah senyuman penuh kemenangan kuberikan pada Lisda yang melongo. Wajahnya bingung sembari memerah, mungkin menahan malu. “Waduh, suamimu selingkuh sama siapa, Jeng Lisda? Ya ampun, kok bisa-bisanya!” Bu Nani terdengar syok. Namun, dapat dipastikan perempuan yang usianya hampir empat puluh tahun itu, pasti sedang tertawa di dalam hati. Maklum, Bu Nani kan tukang gosip paling sip satu komplek. Pasti berita ini akan jadi bahan gunjingannya ke tetangga lain. “Oke, ini uangnya Bang Usman. Kembaliannya buang Abang aja.” Aku menyodorkan beberapa lembar uang kertas merah. Bang Usman menatap dengan wajah yang gembira. Matanya berbinar penuh suka cita. “Makasih, Bu. Semoga rejekinya lancar, ya. Jangan kapok pesan sama saya.” Aku mengangguk. Menenteng belanjaan yang lumayan berat sambil menggendong Raina dengan gendongan kangguru yang kokoh. Kami berdua berlalu meninggalkan tiga ibu-ibu yang sedang teraduk-aduk perasaannya akibat omongan tadi. Terlihat olehku sekilas, bahkan Lisda sampai terlihat marah sekaligus malu. Salah tingkah. Lisda, jangan kamu pikir aku akan diam saja dengan lidah busukmu itu. Siapa pun yang mengganggu kehidupanku, maka balasan yang setimpal adalah hadiahnya. *** Sore hari tiba. Tepat pukul lima sore, Mas Irsyad dan Clara datang. Keduanya terlihat memasang wajah cerah ceria saat masuk menyapa aku yang sedang berkutat di dapur. Jangan ditanya betapa hancurnya perasaan ini. Sudah pasti remuk berkeping-keping. Namun, sekuat tenaga aku berusaha tegar dan tampak biasa saja. “Halo, Say! Aduh, sudah lama nggak ketemu.” Cepat-cepat aku mencuci tangan di wastafel, lalu menghampiri Clara yang masih lengkap dengan stelan blazer hitam dan rok selututnya. Penampilan gadis berambut pirang sebahu itu tampak begitu sensual dan anggun. Warna bibirnya merah menggoda. Wanginya seharum bunga baru mekar. Pantas jika Mas Irsyad tergoda. Beda sekali dengan istrinya yang Cuma pakai daster dan bau asap dapur ini. “Halo, Mbak Vana. Aduh, aku juga rindu.” Clara memeluk tubuhku tanpa sungakan. Kami bahkan saling cipika-cipiki, walau mukaku berminyak dan berbau rempah. “Cla, kamu mau banget meluk nyium aku. Bau gini!” Aku berkata sambil melepas pelukannya. “Ah, nggak kok, Mbak. Mbak Vana Wangi gini kok.” Clara tersenyum manis. Gigi kelinci ber-veneer miliknya terlihat berjejer rapi. Bak artis sinetron. Cantik tak tertandingi. Luar biasa selera Mas Irsyad. “Kalian masak-masak aja, ya. Aku mau main sama Adiva dan Raina.” Mas Irsyad langsung undur diri. Dia melambaikan tangannya pada kami berdua—Clara tepatnya. “Mbak Vana, aku mau ganti baju, dong. Numpang kamar mandi, ya?” Clara berkata sembari membenarkan letak tas cangklong gembungnya. Mungkin penuh terisi barang. Aku mempersilahkan Clara untuk bertukar pakaian di toilet yang tak jauh dari dapur. Perempuan itu pun pergi dan tak lama dia kembali dengan mengenakan sebuah daster selutut yang cantik. Clara, pakai daster pun tetap seperti artis! Kami pun asyik masak bersama. Clara cukup mahir saat membantuku menghaluskan bumbu untuk rawon. Kemampuannya dalam mengolah kuliner ternyata telah melesat jauh ketimbang setahun yang lalu saat dia sering kemari untuk belajar padaku. “Cla, kamu makin pinter masak, Say. Udah cocok jadi istri dan ibu.” Aku menggoda perempuan yang kini mengikat rambutnya ke belakang. Kami sudah selesai memasak. Sekarang tinggal menyajikannya saja ke meja makan. “Masa sih, Mbak? Hehe makasih, ya. Aku belum nemu calonnya tapi.” Ekspresi Clara tiba-tiba terlihat lesu. Pembawaannya yang selalu ceria dan ramah berubah jadi murung. “Lho, pacar yang kemarin itu mana? Yang kerja di tambang batu bara.” Aku mulai berusaha mengorek informasi. Clara menggeleng. Dia menggigit bibir bawahnya. “Aku ditinggal nikah, Mbak.” Mulutku membulat. Pura-pura syok. “Astaga, maafkan aku, Say. Ikutan sedih.” Clara mengangguk. Gadis itu lalu menceritakan panjang lebar tentang kisah memilukannya. Namun, tentu saja dalam hati aku sama sekali tak simpati. Siapa yang peduli? Jelas-jelas perempuan gatal ini telah bermain dengan Mas Irsyad di belakangku. “Jangan sedih, Cla. Menikah itu nggak selalu bahagia, kok. Buktinya aku. Ah, panjang kalau diceritain.” Clara terlihat kaget. Air mukanya tampak berubah. Cepat-cepat dia bertanya, “Ada apa, Mbak? Kalian lagi ribut?” “Ya, begitu lah. Mas Irsyad berubah akhir-akhir ini. Kasar. Bahkan kemarin mukul aku. Pulang larut malam dan mabuk. Selain itu, aku juga slek sama mertua dan ipar. Mama mertuaku jahat banget. Kejam. Dia selalu menyalahkanku tanpa sebab. Kamu tahan tidak, Cla, kalau punya mertua seperti itu?” Wajah Clara terlihat resah. Sesekali dia meremas jari-jemarinya. Entah apa yang membuatnya tampak gelisah. “Oh, ya? Aku turut sedih mendengarnya, Mbak. Aku juga pasti nggak tahan kalau punya mertua kaya gitu.” Clara menjawab dengan wajah yang pias. Keringat tampak membasahi dahinya. Aku mendekat ke arah Clara, berbisik pelan ke telinga gadis itu. “Cla, sepertinya Mas Irsyad juga lagi selingkuh.” Mata Clara langsung membelalak lebar. Dia terlihat sangat syok. Mulutnya menganga, tapi buru-buru ditutupnya dengan telapak tangan. Sialan, akting perempuan jalang ini sama bagus dengan partner selingkuhnya. “Ya Tuhan. Masa orang sebaik Mas Irsyad selingkuh?” Baik biji matamu! “Iya, Cla. Aku belum tahu dengan siapa dia main gila. Namun, kelakuannya mengarah ke sana. Jangan khawatir. Aku akan segera mengungkap kasus ini. Perempuan itu, tentu saja akan celaka dan menerima segala ganjarannya.” Aku mengepalkan sebuah tinju lalu mengacungkannya ke hadapan Clara. Perempuan itu sangat kaget luar biasa. Wajahnya pucat pasi. Jantungnya pasti saja sedang berdetak kencang. Semoga dia kena serangan jantung setelah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD