***
Gama terbengong cukup lama saat pertama kali Giana masuk. Ia berdehem dengan sendirinya agar sadar dari keterpanaan itu. Bukan seperti yang dibayangkan, hanya saja Gama merasa pernah melihat Giana sebelum ini.
"Ada apa, Gama?" pertanyaan Farel menyadarkan Gama dari sikap anehnya.
"Leherku agak sakit," Gama memberi alasan kenapa sejak tadi ia menggelengkan kepala.
Jawaban itu membuat Farel mengangguk singkat. Ia meminta Gama untuk duduk.
"Gi?" tegur Farel karena Giana tak juga mendudukan dirinya.
"Ahh Rel, Ay, aku izin pulang dulu. nenek Rahma pingsan!"
"Apa? Kamu serius Gi?" Aya yang tadinya duduk, kini berdiri. Ia menghampiri Giana yang sejak tadi tidak mengalihkan perhatiannya pada Gama.
Aya menyentuh lengan Giana hingga gadis dua puluh lima tahun itu menoleh padanya. Alih-alih wajah memelas dan lelah, Giana justru tersenyum menenangkan. "Nggak apa-apa, hari ini Gufta libur, Nenek sudah dibawa ke rumah sakit sama dia," terangnya.
"Syukurlah. Kamu pulang aja dulu, biar aku yang bicara sama klien kita," ucap Aya sambil melirik Gama sekilas.
Giana mengangguk singkat. "Thanks, Ay. Aku izin dulu ya, nanti aku balik lagi," Giana meminta pada Gama juga. Ia merasa tidak enak sebenarnya, tapi neneknya pingsan lagi. Tak mungkin Giana membiarkan Gufta mengurusnya sendiri.
Melihat Giana menoleh padanya, Gama merasa tidak tahu harus merespon seperti apa. Ia hanya mengedikan bahunya saja. Sedikit tak suka sebenarnya, tetapi jika berhubungan dengan orang sakit, Gama enggan menghalangi.
Merasa tidak ada yang harus dibicarakan lagi, Giana membalikan badannya. Meninggalkan ruang segiempat itu. Menyisakan tatapan sendu Aya dan Farel.
"Ehem," Gama mengerjapkan matanya melihat bagaimana pemilik Layanan Siap Bantu menatap sedih kepergian Giana.
Farel yang pertama megalihkan perhatiannya pada Gama. Lalu Aya mengikuti. "Ahh sorry. Jadi kapan kamu mau mulai sandiwara ini?" tanya Farel.
"Secepat yang kalian bisa," jawaban Gama membuat Aya dan Farel saling menatap.
Aya tersenyum simpul. "Hari ini pun sebenarnya bisa, tapi Giana harus menjenguk neneknya dulu...," Aya menjeda ucapannya. "Kami minta maaf soal itu," lanjutnya. Rekasi Gama adalah mengedikan bahu.
"Kamu tenang aja Ga, Giana orang yang terampil. Dia pintar menangani berbagai situasi," sahut Farel. "Tapi tetap saja kalian harus berlatih dulu. Giana profesional dalam pekerjaan ini," Farel menelisik Gama. "Tapi aku nggak yakin kamu nggak canggung sama dia," ucapnya.
Bukan meremehkan, tetapi Farel masih ingat seperti apa sikap Gama bila berhadapan dengan orang asing. Gama bukan lelaki yang bisa membuka diri pada setiap gadis yang ia temui. Gama terkesan menyebalkan.
"Baiklah," balas Gama menolak pusing dengan semua rencana Farel dan Aya. "Gue...," Gama menghentikan ucapannya. "Aku hanya terima semua beres!" ia mengganti caranya bicara.
Farel dan Aya menganggukan kepala mereka.
"Ngomong-ngomong kenapa sih nyokab kamu nggak setuju sama gadis pilihanmu itu?" Farel penasaran. Ia pikir Gama akan menjawab pertanyaannya, tapi tidak. Gama bahkan berdecak sebal padanya. "Bukan urusan kalian. Tugas gadis itu... Maksudku Giana, tugasnya hanya harus pura-pura jadi saudara perempuanku," ucap Gama.
Sekali lagi Farel dan Aya saling melempar tatapan. Farel tidak terlalu terkejut sebenarnya mendengar penolakan Gama yang tidak ingin berbagi, tetapi ia sempat berharap Gama sedikit terbuka demi lancarnya rencana mereka.
Sementara Aya, dalam benaknya, Gama bukan lelaki yang mudah untuk ditaklukan. Tak hanya suaranya yang tegas, ekspresi di wajahnya pun tampak konsisten. Sekalipun tidak menunjukan senyumnya.
Aya mengambil alih obrolan. Ia menjelaskan detail rencana mereka setelah Giana setuju untuk menerima tawaran ini. Seperti yang Gama minta, Giana hanya akan berperan sebagai kakak perempuannya saat acara lamaran itu berlangsung. Setelahnya urusan mereka selesai. Gama tidak ingin berhubungan lagi dengan Giana.
"Jadi ngerti, kan?" Aya bertanya setelah beberapa menit ia menjelaskan rencana mereka. Gama menganggukan kepalanya. Setuju dengan apa yang akan mereka lakukan. Tidak banyak permintaan Gama, ia hanya meminta agar Giana membantunya. Itu saja.
"Oya Ga, profesi Kakakmu apa?" tanya Farel. Setahunya, Gama memang memiliki satu kakak perempuan. Profesi tentu berperan penting di sini agar nanti jika calon mertua Gama bertanya ini dan itu, Giana siap menjawabnya.
"Dokter," Gama tidak berbohong. Kakak perempuannya memang seorang dokter.
Aya meringis mendengar itu. Sejujurnya, Aya tahu Giana pernah ingin menjadi dokter dulu sekali. Namun, sejak kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan sepuluh tahun yang lalu, Giana mengubur dalam-dalam mimpinya. Aya memikirkan perasaan Giana, pura-pura menjadi dokter untuk melengkapi perannya pasti tidak mudah di saat Giana pernah sangat ingin mengenakan jas putih kebanggaan itu.
"Kenapa?" tanya Gama saat melihat ekspresi Aya yang tampak khawatir. Aya menggeleng lemah. Namun, ia tersenyum agar terlihat baik-baik saja.
"Ay, Giana bisa, kan?" Farel juga sedikit khawatir sebenarnya.
"Dia profesional," Aya mengangguk yakin.
Pergerakan Gama yang mendadak berdiri, membuat Aya dan Farel kembali memfokuskan perhatian padanya. Gama tampak tidak peduli dengan masalah yang pernah Giana hadapi. "Kalau gitu aku pulang dulu," katanya.
"Kabari aku kalau temanmu sudah siap untuk berlatih." Tanpa menunggu balasan, Gama meninggalkan Aya dan Farel begitu saja.
Tck.
"Salut sama temanmu, Rel. Nggak ada ramah-ramahnya sama sekali," komentar Aya atas sikap Gama.
Farel mengedikan bahunya. Gama memang seperti itu sedari dulu. Farel terbiasa dengan sikap acuhnya. "Lebih baik kabarin Gia, bilang besok saja ke sini," ucapnya.
"Siap. Kita ke rumah sakit ya, jenguk neneknya Gia,"
"Iya, kabarin aja dulu si Gia." Aya mengangguk, mengiyakan permintaan Farel.
***
Kedatangan Aya dan Farel bertepatan dengan keluarnya nenek Rahma dari rumah sakit. Betapa Giana bersyukur karena dokter sudah memperbolehkan neneknya untuk pulang.
Sejak Aya mengabari untuk tidak datang ke kantor lagi, Giana sibuk menjaga neneknya. Kini, mereka sudah bersiap untuk kembali ke rumah mungil yang menjadi tempat tinggal mereka selama sepuluh tahun ini.
"Tunggu di sini, Farel lagi ambil mobil," ucap Aya.
"Aya, terima kasih ya sudah jemput Nenek," Rahma mengucapkan rasa terima kasihnya pada Aya.
"Sama-sama, Nek. Jangan sakit lagi ya, Nek, kasihan Gia," balas Aya sambil tersenyum. Nenek Rahma menganggukan kepalanya, sejujurnya daripada terus menerus merepotkan Giana dan Gufta, Rahma lebih suka Tuhan memanggilnya. Rahma sadar, hidup Giana menderita sejak anak dan menantunya meninggalkan mereka sepuluh tahun yang lalu. Cucunya itu semakin menderita saat mengetahui penyakitnya. Namun, Giana masih saja tampak ceria.
Jarang sekali Rahma melihat cucunya menangis, menyesali hidup seperti ini. Giana gadis tangguh kebanggaannya. Rela berkorban demi dirinya juga Gufta.
"Maafin Nenek ya Gia," Rahma beralih menatap Giana. Ia mengusap lengan cucunya itu dengan sayang. Sungguh menyesal karena telah ikut menjadi beban bagi Giana.
"Giana nggak apa-apa, Nek. Jangan merasa bersalah," seolah mengerti apa yang Rahma pikirkan, Giana berucap demikian. Giana memeluk Neneknya dengan tulus. Tidak ada yang lebih disyukuri Gia selain kesehatan Neneknya, juga keberadaan Gufta.
Entah apa yang akan terjadi bila Nenek dan adiknya itu tidak berada di sisinya seperti saat ini. Giana mungkin akan mati bunuh diri karena kesepian.
"Sudah, jangan baper lagi. Itu mobil Kak Farel sudah datang," Gufta memisahkan pelukan antara Giana dan Neneknya. Hal itu membuat Giana mendelik sebal padanya. "Iri bilang!" ujar Giana.
Gufta pun mencebikan bibir. "Siapa bilang aku iri? Kak Gia tuh yang terlalu manja sama Nenek," balasnya.
Diam-diam Rahma bersyukur memiliki Gufta dan Giana di sisinya. Gufta sangat dewasa di umurnya yang masih Lima belas tahun. Andai Gia tidak melarang, Gufta pasti memilih bekerja daripada belajar. Namun, Giana melarangnya dengan keras. Cukup mimpinya saja yang kandas sebelum memulai, Gufta jangan. Itulah kenapa Giana bekerja keras disaat ia hanya memiliki ijazah SMA untuk diandalkan.
Rahma mengusap punggung Gufta sekaligus membiarkan Giana bersender di bahunya.
"Aku juga mau dipeluk, Nek!" ujar Aya yang sejak tadi melihat kedekatan mereka. Aya pun ikut memeluk nenek Rahma meski terhalang tubuh Gia.
Suitan mengganggu mereka. "Kalian kayak film yang dulu pernah aku tonton, yang mataharinya bisa ngomong," Keempat orang yang sedang berpelukan itu menoleh serempak ke arah yang sama. Farel terkekeh membalas pelototan Aya, Giana dan Gufta. Mereka pasti tahu film apa yang dirinya maksud.
"Ayo pulang! Kasihan Nenek, dia butuh istirahat," yang lain mengiyakan ajakan Farel. Mereka masuk ke dalam kendaraan roda empat itu. Lalu perlahan meninggalkan rumah sakit. Tanpa mereka ketahui seorang perempuan menatap dari kejauhan.
Perempuan itu mengenakan jas berwarna putih layaknya dokter. Ia mungkin tidak mengenal Giana secara langsung, tapi dia mengingat dengan baik kejadian sepuluh tahun yang lalu. Kejadian yang membuat gadis remaja yang kini tumbuh dewasa itu kehilangan masa depannya.
Menghela napas dengan berat, perempuan berjas putih membalikan badannya, melangkah berlawanan arah dengan Giana dan yang lainnya. Ia juga masih ingat dengan jelas bagaimana Giana menolak berhubungan dengan segala hal tentang kecelakaan yang menimpa kedua orangtuanya. Sementara dia juga bagian dari masa lalu itu. Dirinya yang telah gagal menyelamatkan kedua orangtua Giana sempat merasa bersalah, apalagi saat mengingat kecelakaan itu juga berkaitan erat dengan keluarganya.
.
.
To be continued.
Jangan lupa TAP LOVE sekali saja ya. Terimakasih :)